ALADIN duduk di kursi kayu. Ia memandang seorang gadis yang ada di sebelahnya. Dia tampak membawa kendi di tangan kirinya, sedangkan tangan kanan hendak merangkul gadis itu. Ada kotak perhiasan tergeletak di samping kursi. Mungkin saja, itu hadiah terindah Aladin baginya. Latar belakang gedung beratap bundar begitu jelas terlihat. Ada unsur warna primer, menandaskan kawasan tersebut berada di Timur Tengah. Ada semacam degradasi cahaya nan terang benderang. Gambaran itu terlihat pada karya berjudul Aladin and The Princes (akrilik di atas kanvas, 147 x 197 cm). Pelukis Edi Mulyo menyajikan karya dengan perspektif multibudaya di Duta Fine Arts Gallery, Kemang Utara, Jakarta, 9-29 September ini.
Pada pameran tersebut, Edi memamerkan puluhan karya. Lelaki kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, 18 Agustus 1966, itu menyajikan tema romantis. Edi datang dari keluarga sederhana. Tak begitu tertarik dalam seni rupa. Namun, bukan berarti dia awam. Saat kecil, Edi sudah membaca kisah seniman Affandi (1907-1990) dan Pablo Picasso (1881-1973) dari surat kabar. Pada pameran kali ini, Edi menghadirkan objek tematis. Seperti wajah orang dan gedung. Ia masih bermain dengan gaya kubisme. Itu bisa kita lihat pada wajah perempuan yang penuh kisah.
Pada 1987, Edi mendaftar di jurusan hukum di sebuah universitas di Tegal. Namun, studi ini tidak sesuai dengan perasaannya. Dua tahun berjalan, ia lantas mengundurkan diri dan masuk ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (kini; Institut Seni Indonesia Surakarta). Selama lima tahun di sana, ia belajar dengan bimbingan I Gusti Nengah Nurata dan Bonyong Muni Ardi. Ia akhirnya lulus pada 1994 dan pergi melukis di Bali selama satu tahun. Tak mengherankan, pengaruh Bali dalam karya-karyanya begitu kuat.
Terutama, tentang unsur surealisme. Terlepas dari itu, Edi menjadi pelukis bertalenta. Itu membuat karya-karyanya ibarat melihat kesunyian dan kegundahan. "Edi memang orang yang suka menyendiri. Semua karya ia buat dengan kesunyian. Ini membuat semuanya lebih berarti dan bermakna. Ada surealisme di sini," tutur kurator ameran Didier Hamel, pertengahan pekan ini. Tentu saja, lukisan-lukisan Edi kali ini mengandung makna. Ia menunjukkan ada kegembiraan dan keisengan sehingga memberikan warna kecerahan yang kuat.
Energi vital Pada 1996, Edi memutuskan kembali ke Surakarta. Di saat itulah, ia bekerja sebagai pelukis dekoratif untuk sebuah perusahaan mebel milik Joko Widodo, Presiden Indonesia saat ini. Edi bekerja sama dengan rekanan seniman Enggar Yuwono dan Agung Prabasmoro. "Edi tetap idealis melukis sehingga ia juga membuat galeri di Pemalang. Baginya, melukis itu sebagai panggilan. Ia tidak begitu melejit, tapi karya-karyanya kuat pada konteks kekinian," jelas Didier. Saat melihat karya Edi, kita dapat menemukan komposisi yang hampir naif.
Ada perasaan imajinasi liar. Ia suguhkan lewat permainan komposisi warna. Warna-warni begitu kuat. Itu menunjukkan energi vital. Edi mampu membaca dongeng dan ia sajikan ke dalam karya-karyanya. Ia sudah berpartisipasi sejak 1982 dalam pelbagai pameran kelompok di Indonesia. Eksistensi Edi dalam seni rupa pun membawa sebuah perspektif. Bagi finalis 100 Artis Terbaik di Philip Morris Award 2000 ini, seni bukan lagi sebagai barang mewah. Di pameran tanpa judul kali ini, Edi ingin menyampaikan pesan. Terutama, tentang kesederhanaan dan kesetiaan pada warna. Tak mengherankan jika melihat pameran Edi, penikmat seni pun langsung bisa mengingat sejarah seni rupa. Khususnya, pada gerakan avant-garde abad ke-20 yang dirintis Picasso. Terlepas dari kesuksesan Edi kali ini, ada beberapa catatan tentang pameran. Pertama, tidak adanya unsur lokal. Mayoritas karya seakan lebih mengedepankan unsur legenda Timur Tengah. Kedua, Edi belum menyajikan ledakan. Karya-karyanya lebih bersifat dekoratif. Tentu saja, lebih cocok dipajang di ruangan makan atau ruangan keluarga.