LIMA penari masuk dari kiri panggung dan menghadirkan unsur gerakan tradisi. Mereka pentas atas nama keetnikan. Ada kritik atas para perantau yang sukses di negeri seberang hingga perantau yang kerap melupakan nilai-nilai adat-istiadat kala pergi jauh. Jemari hingga hentakan kaki para penari begitu apik. Ada penghayatan atas identitas Minangkabau. Cuplikan itu terlihat dalam karya kontemporer Rantau Berbisik suguhan kelompok Nan Jombang (Padang) di Jakarta, pertengahan pekan ini. Rantau Berbisik merupakan karya koreografer Ery Mefri.
Ia mementaskan tarian tersebut dalam rangka Festival Kelola 2015. Ery menghadirkan para penari profesional. Mereka ialah Angga Djamar Mefri, Rio Mefri, Intan Mefri, Ririn Mefri, dan Gitra Miranda. "Ini tentang dunia perantauan. Ada gerakan kontemporer yang kami sajikan," ujar Ery seusai pementasan. Karya tarian Rantau Berbisik tak terpisahkan dari kegiatan merantau. Ini merupakan tradisi yang lekat bagi masyarakat Minangkabau. Kematangan seorang laki-laki dalam perjalanan kehidupan sehari-hari membuat merantau menjadi sebuah perjalanan alami. Lewat suguhan tarian itu, koreografer ingin mengisahkan dinamika, pasang-surut, dan perjuangan para perantau dari Minang di seluruh Nusantara.
Hal itu menarik karena merantau yang notabene perjalanan kultural mampu Ery suguhkan di festival tersebut. Penampilan Nan Jombang memang tak diragukan lagi. Mereka telah mementaskan berbagai karya pada festival dunia. Sebut saja, tampil pada Oz Asia Festival di Australia, Fall for Dance Festival New York di Amerika Serikat dan Festival Asia Pacific di Haus Der Kulturen Der Welt, Berlin, Jerman. Nan Jombang berhasil meraih dua kali Hibah Seni Kelola, yaitu pada 2002 untuk karya Mati Suri dan 2011 untuk karya Rantau Berbisik.
Karya yang mereka bawakan kembali di festival kali ini. Selain suguhan Nan Jombang, Festival Kelola juga menghadirkan Gilang Ramadhan & Komodo (Jakarta), Danang Pamungkas (Solo), dan Yola Yulfianti (Jakarta). Semua pertunjukan digelar di beberapa kampus di Jakarta dan Malang, Jawa Timur. Kehadiran Festival Kelola memang masih jauh dari harapan. Apalagi, tidak ada karya baru yang disajikan pada pementasan tari. Semuanya ialah karya-karya yang pernah seniman/koreografer sajikan di beberapa kesempatan di Taman Ismail Marzuki atau beberapa pusat kebudayaan lainnya.
Di ambang kematian Selain pementasan tarian, ada pemutaran film dan diskusi film pada festival itu. Pada diskusi kecil yang berlangsung di kawasan Cikini, misalnya, sejumlah penari, teaterawan, dan sastrawan pun ikut hadir. Ada hal pesimistis karena Festival Kelola yang baru pertama kali digelar ini mendapatkan nada sinis dari beberapa seniman. Koreografer Hartati menilai keberadaan Kelola di ambang kematian. Hal itu disebabkan Kelola tidak menyajikan program-program yang mampu memberikan sumbangsih penting. "Ya saya kira perlunya Kelola-Kelola lainnya di daerah sehingga bisa menjembatani seniman di sana," tutur perempuan yang juga dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta itu.
Menanggapi itu, Direktur Yayasan Kelola Amna S Kusumo mengakui keberadaan yayasannya memang mengalami kendala. Apalagi, pendanaan yang diterima dari sebuah donatur asing pun tidak cukup untuk mengakomodasi seniman. "Kami mendapatkan dana (tapi bukan dari pemerintah Indonesia). Dengan tim kerja yang ada, kami hanya mau membantu seniman untuk bisa menyajikan karya terbaik. Kami yakin suatu hari akan ada Kelola-Kelola di daerah sehingga bisa menjembatani seniman di kawasan timur Indonesia," jelasnya. Teaterawan asal Bandung, Iman Soleh, pun menilai pelaksanaan festival semacam itu perlu dilakukan di berbagai daerah.
Hal itu berguna agar gaungannya lebih membumi dan memberikan dampak pada masyarakat. "Kami juga pernah mendapatkah hibah dari Kelola untuk mementaskan beberapa pertunjukan dengan tema tanah. Kami siap bila ajang semacam ini digelar di Bandung. Jangan di Jakarta saja," cetus pengajar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, itu. Iman berharap Kelola harus tetap mengambil peran penting di ruang publik. Apalagi, sudah 15 tahun mengabdi di kancah seni. "Saya kira, perlu sekali ada lembaga yang menjembatan antara seniman, penikmat seni, dan komunitas global. Tanpa itu, seniman bukan siapa-siapa," akunya.