DI antara guyuran musim hujan, Tim Hannigan menginjakkan kakinya ke Indonesia. Sebagaimana kebanyakan turis asing lain, Bali menjadi magnet baginya. Dia memiliki waktu tiga bulan untuk menjelajah dari satu pulau ke pulau lain. Namun, backpacker muda itu tidak puas dengan mengejar hangat matahari dan debur ombak semata, lelaki asal Inggris itu memiliki ketertarikan terhadap sejarah dan berharap bisa membaca buku terkait dengan sejarah Indonesia selama perjalanan. Sebelumnya, dia sering berjalan-jalan India tempat dia menyelami banyak buku soal negara tersebut. Setelah menyusuri jajaran buku di toko, Hannigan menyadari kebanyakan buku sejarah yang dijual di Bali bersifat akademik.
Tidak ia temukan satu pun buku sejarah populer yang bahasannya ringan, tanpa lembar halaman yang penuh catatan kaki. Setelah belasan tahun berlalu dan malang-melintang ke berbagai wilayah di Tanah Air, bahkan menguasai bahasa Indonesia dengan baik, Hannigan akhirnya menulis buku sejarah Indonesia. Itu sesuatu yang diharapkannya bisa ditemukan ketika pertama kali mendarat ke negara ini. Buku berjudul A Brief History of Indonesia mengisahkan banyak hal tentang kerajaan dan para sultan, rempah-rempah, hingga tsunami, kepemimpinan dan pemilihan umum. Novel setebal 288 halaman itu berupaya merangkum momen-momen sejarah yang menentukan bagi Indonesia.
Saat ditemui dalam diskusi buku tersebut di Periplus Plaza Indonesia, Jakarta, Kamis (20/8), Hannigan mengakui merangkum sejarah Indonesia bukanlah hal mudah mengingat luasnya negara ini beserta sejarah panjang yang dimilikinya. "Panjang Indonesia saja itu sama dengan jarak dari Inggris sampai Irak," ujarnya mengambil pembanding. Kendati demikian, tampak lembaran halaman terbatas tidak menjadi kendala baginya untuk menuangkan gaya penulisannya yang amat naratif dan deskriptif. Bab pertamanya soal masa prasejarah mengajak pembaca ke pedalaman Flores. Lebih dari sekadar deskripsi geografis, kita diajak masuk ke alam imajinasinya soal Homo floresiensis yang lebih sering dijuluki sebagai manusia kerdil atau kurcaci.
Keunikan setiap novel Hannigan ada pada caranya menginterpretasi fakta sejarah dan menyajikannya secara sinematografis meski hanya berbekal kata-kata yang tertulis. Dia mampu memainkan teater dalam kepala pembaca. Indonesia sejak dahulu selalu ada dalam peta dunia berkat kekayaan rempah-rempahnya. Negara ini ada di jalur perdagangan dunia hingga relatif tak terjadi isolasi. Kondisi itu pula yang mengantarkan bangsa-bangsa asing ke kepulauan ini dalam hubungan dagang yang pada suatu masa akhirnya berubah menjadi pola kolonial.
Jauh sebelum orang Belanda datang, bangsa-bangsa dari berbagai belahan dunia sudah tercatat berinteraksi di wilayah yang kini bernama Indonesia, baik Arab, Persia, Afrika, Tiongkok, maupun lainnya. Yang terjadi pada bangsa Belanda, sejak awal mereka berniat datang ke Maluku yang dikenal sebagai pulau rempah. Pada 1597, tim ekspedisi Belanda yang pertama kali datang ke Nusantara akhirnya kembali ke Amsterdam. Kala itu hanya 89 pelaut mereka yang tersisa, dari total 249 orang. Menariknya, ekspedisi itu sebenarnya gagal karena mereka sama sekali tidak pernah sampai menginjakkan kaki ke Maluku.
Di musim semi 1602, rumah-rumah dagang Belanda yang tadinya bersaing memutuskan membentuk monopoli dan menyebutnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kegiatan mereka tadinya murni komersial, tetapi perdagangan mulai terkait secara rumit dengan kompleksitas politik di daerah setempat. Hannigan mencatat pola penjajahan mulai berlaku sejak VOC memilih orang yang salah sebagai gubernur jenderal untuk memimpin di kepulauan tersebut. Lelaki berusia 31 tahun bernama Jan Pieterszoon Coen dipilih sebagai gubernur pada 1617.
Dia turut menyaksikan ketika puluhan pedagang Belanda tewas dalam bentrok dengan penduduk di Banda. Sejak saat itu, dia memelihara kebencian terhadap penduduk setempat. Belajar dari sejarah Menarik sekali cara penulis menunjukkan betapa pentingnya mempelajari sejarah. Terbukti banyak 'penyakit lama' yang berulang di Indonesia. Korupsi, misalnya, bukan hanya praktik yang lazim semenjak Indonesia merdeka, melainkan juga ada sejak dahulu ketika VOC masih bercokol. Gratifikasi dan sifat koruptif itu pula yang menggerogoti persekutuan dagang itu hingga tak lagi berdaya.
Demikian pula konflik dengan keturunan Tionghoa sejak dulu sudah ada. Orang Belanda hidup dengan stigma negatif soal penduduk lokal di Jawa. Karakter sebagai pemalas dianggap persoalan merata di bangsa ini. Pemisahan pun dilakukan antara orang Belanda dan lokal. Perlakuan berbeda diberikan kepada orang Tionghoa yang memiliki peran cukup penting dalam perdagangan. Meskipun begitu, kecemburuan juga muncul di kalangan Belanda terhadap orang Tionghoa yang bisa meraup kekayaan. Akhirnya pada 1740, orang Belanda meyakini orang Tionghoa berencana memberontak dan menyingkirkan mereka, sebaliknya orang Tionghoa mendengar kabar soal rencana untuk mendeportasi mereka ke laut.
Ketegangan memuncak ketika dikabarkan seorang Belanda terbunuh, pembantaian orang Tionghoa pun terjadi, tak peduli laki, perempuan, dan anak-anak. Sebagai buku yang banyak menggunakan sumber sejarah sebagai literaturnya, cukup disayangkan penulis tidak selalu menuliskan referensinya ketika mengutip catatan sejarah. Contoh ketika membahas pembantaian etnik Tionghoa 1740 silam, Hannigan mengutip deskripsi Ary Huysers, seorang penduduk asal Belanda.
Namun, tidak disebutkan bahwa catatan Huysers itu bisa ditemukan dalam literatur di mana (hlm 95). Begitu pula ketika mendeskripsikan kondisi Batavia yang buruk, dengan hanya 50% peluang bertahan hidup (hlm 100). Pada referensi soal sejarah yang murni soal Indonesia, tampak Hannigan pun meragu dalam tulisannya. Pada pembahasan soal Wali Songo misalnya (hlm 74-75), berkali-kali dia kembali pada peluang banyak mitos yang membumbui fakta sebenarnya. Dia tak yakin soal jumlah wali yang sembilan karena terkesan banyak dipengaruhi cerita rakyat dan legenda.
Itu layak menjadi bahan introspeksi, soal masih rendahnya budaya mendokumentasikan sejarah untuk bisa dibuktikan secara ilmiah. Berbeda dengan bab-bab awal hingga masa penjajahan, yakni Hannigan terasa santai bercerita, tulisannya di bagian-bagian akhir justru terasa tergesa-gesa. Bagaimana tidak? Dia berusaha merangkum semua era pemerintahan sejak merdeka hingga pemilu terakhir yang memenangkan Joko Widodo, di lembaran yang tak seberapa. Terlepas dari kekurangan itu, dia sukses membuat sejarah Indonesia lebih menarik. Dari pengamatan penyuka sejarah yang juga sempat menjadi jurnalis itu, masa lalu dan masa kini Indonesia nyatanya tidak lebih bagus ataupun lebih buruk secara ekstrem. "Semua prediksi paling ekstrem soal Indonesia tidak pernah terjadi. Ketika dibilang Indonesia akan menjadi negara adikuasa berikutnya, itu tidak terjadi dan sebaliknya, hancur sepenuhnya pun tidak," simpul Hanniga.