KERAMAIAN Jalan Raya Bubutan, Surabaya, menjadi pemandangan biasa saat senja. Di saat seperti itu, lalu lintas di kota metropolitan terbesar di Provinsi Jawa Timur tersebut memang padat. Namun, ketika saya menapaki Jalan Bubutan V, Jumat (11/9) sore, semua keriuhan itu serasa teredam. Seolah seketika saya terhantar ke penggalan masa silam yang tenang. Di sanalah Muhammad Sofa Manan, 58, seorang pensiunan Dinas Pemadam Kebakaran, tinggal bersama istrinya Ani Setianingsih, 58, beserta anak dan cucu-cucu mereka. Saat memasuki gang kecil lingkungan tempat tinggal mereka, suasana Surabaya tempo dulu terasa betul. Itu disebabkan rumah peninggalan buyut Sofa, demikian kakek satu itu akrab disapa, berada di Kelurahan Alon-Alon Contong, Kecamatan Bubutan, yang tergolong kawasan cagar budaya.
Di sana, banyak bangunan dengan arsitektur bergaya paduan Belanda, Tionghoa, Arab, dan Jawa. Memang ada juga rumah yang kehilangan sentuhan arsitektur aslinya, tapi tidak demikian rumahnya. Dikabarkan, Alon-Alon Contong merupakan cikal bakal Kota Surabaya. Terletak tidak jauh dari Tugu Pahlawan, di sana alun-alun Kota Pahlawan yang pertama sebelum dipindah. "Nama Alon-Alon dipertahankan karena dahulu ketika ada Kerajaan Surabaya, daerah sini memang alun-alun. Kemudian Belanda masuk, lahan beralih fungsi jadi permukiman mereka dan alun-alun dipindah," kisah Aloysius Ricky Kapiworoseto, 49, Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Alon-Alon Contong. Karena dipenuhi perumahan Belanda, akhirnya lahan alun-alun yang tersisa menjadi sangat sedikit, hanya taman tak seberapa luas yang berbentuk serupa 'contong' mengerucut.
Berada di bagian pusat Kota Pahlawan, dari dulu daerah itu bukanlah kawasan elite bagi orang Belanda, melainkan kalangan pekerja Belanda. Tak mengherankan jika perumahan tua itu kondisi aslinya masih terjaga, ukurannya relatif kecil. Demikian pula dengan rumah Sofa yang di dinding depan rumahnya tertulis nama Wed H Idris, kakek buyutnya. Dia merupakan penghuni generasi ketiga dari rumah di Jalan Bubutan Gang V No 17 yang diyakini sudah berdiri sejak sebelum 1906-an itu. Ruang tamunya hanya sekitar 3 x 6 meter. Rumah dengan empat kamar tidur itu juga tidak seberapa luas.
Meskipun begitu, langit-langitnya tinggi khas rumah Belanda. Dindingnya pun tebal, sekitar 30 sentimeter, tak seperti rumah zaman sekarang. Dari luar, sepintas rumahnya menyerupai rumah khas Betawi. Hal ini tidaklah mengherankan karena rumah Betawi pun banyak mendapat pengaruh Belanda, Tionghoa, dan Arab. Bentuknya serupa rumah panggung dengan lantai rumah yang dibuat lebih tinggi dari tanah. Selain itu, ada banyak elemen kayu yang diaplikasikan dan dipadukan dengan dinding tembok. Di bawah atapnya, ada fasad kayu berukir. Bedanya, tak ada teras luas di bagian depan rumah Sofa sebagaimana yang lazim ditemukan di rumah tradisional Betawi yang dilengkapi kursi dan dipan kayu.
Perawatan ekstra Tegel rumah itu tampak unik dengan berbagai bermotif, menunjukkan ciri khas rumah pada zaman Belanda. Berbeda dengan kebanyakan ubin zaman sekarang yang motifnya biasa dibuat relatif datar, semua tegel di rumahnya itu timbul. Tegel tua, demikian menurut Ani, memerlukan sedikit perawatan ekstra. "Debu masuk ke celah-celah tegel, jadi harus lebih sering disapu dan dipel, biasanya tiap pagi dan sore," ujarnya. Ada pula tegel polos berwarna merah. Orang dahulu biasanya mengelapnya dengan minyak kelapa agar terlihat mengilap. Demikian pula dengan liuk-liuk detail yang tampak pada teralis besi tiap jendela, juga ukiran kusen pintu dan jendela, perlu dibersihkan dengan cekatan.
Meski tergolong mungil, rumah tua ini kaya akan detail ukiran. Sebagaimana pintu utama yang terbuat dari kayu dengan kombinasi kaca, pintu kamar pun desainnya demikian, ventilasi di bagian atasnya berteralis. Pembatas ruangan keluarga dengan dapur pun berupa pintu kayu dengan ventilasi berukir. Lantaran terbuat dari kayu jati tua, semua elemen kayu di rumah itu sangat kuat dan masih terjaga. Bahkan, kayu di langit-langitnya terbuat dari jati kualitas bagus. Kalaupun yang paling sering harus diperbaiki, Sofa menyebut cat dinding rumah tuanya yang sering mengelupas di tengah hawa panas Surabaya. Bagi Sofa, cat mengelupas tak mengapa. Namun, pantang baginya mengubah bentuk asli rumah tua yang ditinggalinya itu karena mengikis warisan sejarah yang tersisa sedikit saja.