Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Lawang Sewu tidak lagi Suram

Dzulfikri Putra Malawi
09/10/2016 10:13
Lawang Sewu tidak lagi Suram
(MI/Dzulfikri Putra Malawi)

MUSIK keroncong perlahan-lahan semakin terde­ngar dari kejauhan. Setelah membeli tiket di pintu masuk dengan harga Rp10 ribu untuk orang dewasa dan Rp5.000 ribu untuk anak-anak, saya segera diarahkan seorang pemandu wisata untuk masuk melalui bagian tengah ba­ngunan. Satu pemandu wisata dibayar Rp50 ribu untuk memandu 10 wisatawan.

Rupanya dari sana suara musik keroncong berasal, sebuah panggung lengkap dengan tenda penahan panas menampilkan kelompok musik keroncong yang mem­bawakan lagu dengan apik. Tak hanya itu, jajaran makanan juga melengkapi arena panggung, seperti sebuah bazar yang ternyata rutin dilakukan di ­akhir pekan sebagai daya tarik tambahan.

Lawang Sewu yang berada di Kota Semarang memang sedang berbenah mempersolek dirinya. Kesan angker sudah dipastikan tidak akan ditemui, bahkan ketika saya memasuki tiap lorong-lorong yang ada di dalam. Sejak direnovasi pada 2003, dinding-dinding Lawang Sewu terlihat bersih.

Kaca patri istimewa
Sambil menapaki lantai-­lantainya, saya yang ditemani pemandu wisata bersama rombongan dari Media ­Gathering PT Sarana Multigriya Finansial (persero) diberi penjelasan tentang tiap-tiap sudut yang ada.

Salah satunya kaca patri berukuran tinggi lebih dari 2 meter yang telah ada sejak gedung Lawang Sewu diba­ngun dan menurut pemandu wisata tidak pernah pecah. Lokasi kaca patri ini menjadi tempat favorit berfoto para wisatawan karena bentuk arsitekturnya yang menarik yang dilengkapi dengan anak tangga.

Kaca yang terbagi menjadi empat panel besar ini mencerminkan cerita eksploitasi besar-besaran hasil alam Nusantara saat masa penjajahan Belanda. Flora dan fauna bangsa Indonesia diangkut kereta dan dikumpulkan di kota-kota pelabuhan Pulau Jawa sebelum diperdagangkan di dunia untuk memperkaya Belanda dan keluarga kerajaan di bawah perlindungan Dewi Fortuna.

Semua kisah tersebut terpatri dengan gambar-gambar di kaca. Di panel tengah-bawah berjajar Dewi Fortuna, ia dewi keberuntungan yang berbaju merah dan dilengkapi dengan roda bersayap sebagai lambang kereta api. Lalu ada Dewi Sri, sang dewi kemakmuran dari Suku Jawa.

Panel di atasnya adalah tumbuhan dan hewan yang menggambarkan Nusantara sebagai negeri kaya akan hasil bumi sebagai simbol kota-kota dagang Batavia, Surabaya, dan Semarang. Sementara itu, sisi panel kiri menggambarkan simbol kota-kota dagang Belanda, seperti Amsterdam, Rotterdam, dan Den Haag, yang berderet di panel kiri. Lalu panel kanan menampilkan ratu-ratu Belanda.

Kini jadi museum
Setelah asyik berfoto, saya dibawa melihat-lihat koleksi Perkeretaapian Indonesia di museum yang ada pada sisi luar lorong gedung pertama. Berbicara Lawang Sewu memang erat kaitannya dengan sejarah kereta api Indonesia. Di Museum ini pengunjung bisa melihat miniatur kereta berbeda era, peta-peta perjalanan, galeri foto-foto bersejarah.

Setelah itu pengunjung akan dibawa menuju gedung kedua. Kali ini pemandu wisata menjelaskan arsitektur Lawang Sewu, terutama dalam urusan sirkulasi udara. Saya diajak berkeliling mulai lantai satu hingga lantai tiga yang merupakan bagian atap gedung. Atapnya dibuat berbentuk melengkung setengah lingkaran, tiap setengah meter untuk mengurangi tekanan. Struktur atap dari bata ini disusun miring layaknya struktur jembatan.

Purnomo, 36, yang mene­mani kami menjelaskan gedung ini dibangun tanpa menggunakan semen. Mereka menyebutnya adonan bligor atau pese. Adonan bangunan yang terdiri atas campuran pasir, kapur, dan batu bata merah. Oleh karena itu, dinding bangunan tidak mudah retak seperti menggunakan semen. Bligor juga lebih awet dan menye­rap air sehingga ruang dalamnya terasa begitu sejuk. Konstruksinya pun diba­ngun tanpa besi.

Sejarah mencatat pembangunan Lawang Sewu oleh Hindia Belanda berlangsung sepanjang 1904-1907 untuk Het hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor Pusat Administrasi Kereta Api - NIS). NIS menunjuk Prof Jacob F Klinkhamer (TH Delft) dan BJ Quendag dari Amsterdam sebagai arsiteknya.

Bus gratis
Lawang Sewu berdiri berdampingan dengan bangunan-bangunan lama, yakni Gereja Katedral Belanda, Museum Mandala Bhakti (dahulu Pengadilan Hindia Belanda), dan Wisma Perdamaian (dahulu kantor residen). Di tengah-tengah ada Wilhelminaplein (Taman Wilhelmina), tempat berdirinya Tugu Muda.

Sejak 2015 pemerintah Kota Semarang menyediakan sebuah shuttle bus yang berputar setiap 1,5 jam sekali secara gratis. Kendaraan ini mengantar pengunjung yang ingin menikmati objek wisata di sekitar Simpang Lima.

Rutenya dari parkiran Museum Mandala. Kini untuk menuju Lawang Sewu, seluruh pengendara hanya boleh parkir di museum ini. Walaupun letaknya berseberangan, penggunaan shuttle bus menjadi satu pengalaman tersendiri.

Setelah dari museum Mandala, saya menuju Lawang Sewu, Tugu Muda, lalu Pandanaran (pusat oleh-oleh), Batan Selatan (pusat kuliner), dan kembali ke parkiran. Selamat menikmati wisata kota Semarang dalam setengah hari saja! (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya