Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
SONSANG adalah sebuah kampung yang teronggok dan berpagar bukit-bukit gunduk. Tempat itu terkurung. Namun, Sonsang sesungguhnya adalah seonggok surga yang menggoda, masih jarang dijamah. Banyak jalan untuk menyongsong Sonsang, kampung di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Dari Bukittinggi, kota yang berjarak 17 kilometer di bagian selatan Padang, Sonsang bisa digapai dengan menggunakan oplet, istilah untuk menyebut angkutan umum di sana. Ongkosnya Rp5.000. Namun, akan lebih efektif jika sepeda motor yang digunakan karena oplet tidak langsung ke Sonsang, tetapi melintasi Jalan Gadut-Tilatang Kamang. Tiba di Sonsang sudah terasa dalam dekapan karena jaraknya hanya 850 meter. Hamparan sawah langsung menyapa, dan di kejauhan bukit-bukit ikut semarak. Tirta Alami merupakan tujuan awal dari kelana ini.
Tirta Alami
Akhirnya kaki menyentuh tepian Tirta Alami. Genangan air seluas 3,5 hektare di kaki bukit ini adalah representasi Sonsang yang dikenal luas oleh negeri tetangga. Tirta Alami dulunya rawa. Lalu, pada 1959, daerah itu digali untuk tujuan rekreasi. Salah seorang tokoh masyarakat Sonsang, Malin Batuah, mengatakan Tirta Alami dibangun di masa kepemimpinan Camat Tilatang Kamang Asrul Dt Rangkayo Basa. Dia mengerahkan masyarakat dari 7 jorong untuk menggali rawa-rawa sehingga membentuk embung atau danau.
"Saya waktu itu kelas 3 SD. Saya masih ingat Tirta Alami dibangun setelah PRRI selesai. Dekat rumpun bambu di kaki Bukit Manggong, juga dibangun tempat bermain randai. Kadang juga digelar pertunjukan tari dan silat," kenang Malin Batuah. Dia juga ingat, saat selesai dibangun hingga akhir 1960, Tirta Alami ramai dikunjungi orang terutama di akhir pekan. "Pengunjung Tirta Alami, pada 1960-an banyak, bahkan dari berbagai daerah di Sumbar. Masyarakat jualan makanan dan minuman. Dulu pakai gerbang. Ada tiket masuk. Orang-orang bisa menonton randai, tari, silat," kisahnya. Namun, itu hanya berlangsung sekitar setahun. Tirta Alami pada akhirnya mati suri setelah ada insiden yang menelan korban pada 1960-an.
Hari ini, Tirta Alami kembali dibangkitkan dari tidur panjang. Bunga-bunga teratai mengambang di permukaan seperti mengisyaratkan ingin selalu disentuh. Rakit-rakit berbaris di ujung timur, menunggu siapa pun untuk diajak berkeliling embung. Di ujung barat, dua mainan berbentuk bebek siaga untuk dikayuh anak-anak.
Wisata agar masyarakat berdaya
Sawah tadah hujan merupakan gantungan hidup bagi sekitar 85% penduduk Sonsang yang mencapai 800 jiwa. "Sebanyak 85% dari sekitar 800 jiwa penduduk Sonsang ialah petani," ujar Yul Maison. Untuk kelancaran tumbuh kembang padi dua bulan setelah tanam, masyarakat Sonsang menggelar ritual Kiramaik. Ritual doa ini dipimpin guru Tarekat Naqsyabandiyah Muhammad Rusdi Dt Mareko. Saat Kiramaik, semua masyarakat, bukan hanya petani, turun ke sawah. Di sebuah padang nan lapang bernama Gurun Tengah mereka berdoa dan makan bersama. Peristiwa sakral ini bisa disaksikan hampir tiap tahun pada waktu yang selalu berubah.
Bersawah, membordir, dan kerajinan ikat cincin perak ialah tiga pekerjaan utama di Sonsang. Setali tiga uang, bordir dan ikat cincin perak juga punya dinamika sendiri-sendiri. Sore itu, saya mendatangi sebuah rumah sederhana yang tidak jauh dari lapangan bola di kampung tersebut. Rumah tersebut dihuni Jon Kennedi dan Nurlela. Saya dapat informasi, Nurlela memproduksi mukena dan jilbab di rumahnya, sedangkan Jon Kennedi bekerja sebagai perajin ikat perak di bengkel milik orang lain.
Hari ini, Nurlela, masih bergelut dengan mesin jahit tanpa menafikan peran sebagai ibu rumah tangga. Namun, di saat bersamaan, dia sebetulnya tulang punggung keluarga karena suaminya, Jon Kennedi, yang merupakan perajin perak, terbawa aliran penjualan ikat cincin perak yang sedang lesu. Jon Kennedi bertutur booming batu akik sekitar 2014 tidak mengikat ikat cincin perak. Justru, serbuan ikat cincin pabrik seperti titanium menghantam ikat cincin perak sonsang. Para perajin pun harus berpandai-pandai dengan toke di Bukittinggi agar karya mereka ditampung. Bagi saya penting melihat kehidupan masyarakat untuk menakar kesiapan kampung ini demi menjadi desa wisata seperti tengah didorong perantau dengan menggelar Festival Sonsang 2016.
Festival Sonsang
Wisata ialah masa depan Sonsang kala ekonomi tradisional semakin buram. Kala ekonomi tradisional sulit di pasar, wisata tentu menjadi asa untuk pasar alternatif. Kedatangan banyak orang ke Sonsang ialah pasar potensial. Minggu pengujung Agustus, Sonsang menyongsong wisata. Festival Sonsang perdana digelar. Tujuannya memperkenalkan keindahan dan kekayaan alam Sonsang yang belum terlalu dijamah selama ini. Festival Sonsang diinisiasi para perantau, seperti Akmal Yusmar, Kasmen. Secara kolektif, itu dikerjakan bersama, antara perantau dan yang mereka di ranah.
Ada banyak alasan sebenarnya mengapa Sonsang pantas untuk tujuan wisata. Sonsang dianugerahi lanskap yang mempesona. Tirta Alami yang selalu berseri, rimbun padi yang membentang luas. Bila Anda naik ke perbukitan, keanggunan Gunung Marapi dan Gunung Singgalang terasa dalam pelukan. Modal besar lain yang dimiliki Sonsang ialah keramahan penduduk. "Makan dulu.. makan dulu, beko wawancaranyo. Ko lah tahidang. Yen, tambah samba, kalau kurang nasi, katangahan teklai, untuk adiak-adiak tu... (Harus makan dulu. Nanti wawancaranya. Yen tambah lauknya, kalau kurang nasi diketengahkan lagi)," sapa Kasmen saat menyambangi rumahnya di hari kedua di Sonsang.
Tak berselang lama, itiak lado ijau, randang itiak, baluik goreng ijau, dan sambal buruak seperti goreng jengkol cabai hijau sudah terhidang di hadapan saya. Menu tersebut kuliner khas Sonsang. Saya kemudian menyalin nasi yang masih beruap ke piring dan mengambil sedikit. Sembari makan, saya berbincang-bincang dengan perantau yang kebetulan sedang berkumpul di rumah Kasmen. Kasmen seperti halnya Akmal ialah perantau Sonsang di Jakarta. Keduanya bersama ratusan perantau dari berbagai penjuru Nusantara menyempatkan diri pulang kampung di akhir pekan pengujung Agustus lalu. Perantau yang bernaung dalam Ikatan Keluarga Sonsang (IKS) sengaja pulang demi satu tujuan, yaitu menyukseskan Festival Sonsang. Bersama anak-anak Sonsang di ranah, perantau bahu-membahu menggeber acara Festival Sonsang 2016.
Keindahan mengalirkan kemakmuran
Gagasan Festival Sonsang berhulu dari rantau dengan harapan mengalirkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Sonsang di kampung agar bermuara pada kemakmuran. Ketua Panitia Festival Sonsang 2016, Akmal Yusmar, mengatakan ide Festival Sonsang berangkat dari kenyataan ekonomi masyarakat Sonsang yang gersang selama setahun terakhir. "Sonsang, emosional saya di sini. Ada kawan seiring dan adik-adik yang dulunya makmur. Survive hidup dari industri kecil seperti kerajinan perak. Bisa dikatakan hidup layak. Tapi saya kaget, lebaran kemarin pulang kampung, mereka hancur," jelasnya.
Kondisi demikian merangsang Akmal untuk berbuat sesuatu. Gayung bersambut, perantau lain seperti Kasmen juga merasakan hal serupa. "Komunikasi dengan perantau lain, kata sepakat kita harus melakukan sesuatu," ujarnya. Puncak Festival Sonsang 2016 dilaksanakan Minggu, pengujung Agustus. Namun, hawanya sudah terasa sejak empat hari sebelumnya. Masyarakat berduyun-duyun datang ke Tirta Alami, episentrumnya acara. Di hari puncak, ribuan orang dari daerah sekitar memadati Tirta Alami. Hari itu pula, pedagang menggelar lapak, menjualkan dagangan. "Tirta Alami dalam festival ini lebih kita kenalkan lagi sebagai tempat wisata keluarga dan kelompok," tandas Akmal. Akmal mengatakan Festival Sonsang bertujuan memperkenalkan daerah Sonsang kepada dunia internasional.
Ada banyak kegiatan yang digelar pada festival tersebut, antara lain, pacu rakik internasional di Tirta Alami, penampilan randai, Musabaqah Syahril Quran (MSQ) tingkat pelajar SD, SLTP, dan SLTA se-Sumatra Barat, dan Sonsang International Trail Running Membelah Bukit Barisan 2016. Di Tirta Alami, pacu rakik tradisional digelar. Pinggir Tirta Alami dipenuhi umat manusia. Jumlahnya mungkin ribuan. Penonton juga bisa langsung memberi ikan nila makan yang dibudidayakan di sana. Untuk memberikan makan, pengunjung tidak usah pusing, sebab banyak yang menjual pakan di sekitar embung. Sehabis pacu rakik tradisional, di pinggir embung Tirta Alami, pertunjukan randai dan tari digelar. Kala itu, randai si Gadih Rantih kembali ditampilkan. Randai ini cukup legendaris di Kamang dan sudah setengah abad jarang ditampilkan.
Trail running
Di hari puncak tersebut, trail running international dengan tema Membelah BUKIT BARISAN digelar. Lomba ini bersamaan dengan sepeda santai yang diikuti sebanyak 215 peserta, jalan santai sebanyak 420 peserta. Trail running diikuti sebanyak 61 peserta yang berasal dari perantau dan atlet profesional. Mengambil start di pelataran Jam Gadang Bukittinggi, trail running membelah gugusan Bukit Barisan sepanjang 19 km lebih, dengan finis di gerbang Tirta Alami.
Sepanjang jalur, lanskap menawan kawasan Tilatang Kamang bisa dinikmati. Peserta naik bukit turun lembah, keluar masuk kampung, menaiki jalur menanjak, melewati pinggang bukit, dan pematang sawah. Ada sekitar 6 kilometer rute yang melewati hutan. Sepanjang pemandangan, deretan perbukitan hijau dengan sawah berjejer rapi mendominasi. Sekali-kali, tampak pucuk-pucuk gonjong rumah gadang yang menjulang dan surau-surau tua yang masih bertahan.
Di titik yang menanjak, peserta trail running bisa melihat langsung keanggunan Gunung Marapi dan Gunung Singgalang yang digores awan tipis pada cahaya pagi. Akhirnya, dua peserta yang berasal dari Bandung menjuarai dua kategori. Untuk kategori umum, Asep Saefuddin berhasil keluar sebagai juara dengan catatan waktu 1 jam 15 menit. Sementara itu, di kategori veteran, umur 40 tahun ke atas, Kholil keluar sebagai pemuncak. "Ke sini pertama kali dan dengan biaya sendiri. Ingin tahu seperti apa Bukittinggi, seperti apa Sonsang," ujar Asep.
Menurutnya, rute Trail Running Sonsang lebih menantang ketimbang rute Trail Running Tahura Bandung. Dia berharap kejuaraan ini digelar tiap tahun dan dengan peserta lebih banyak lagi terutama luar negeri. Pada acara trail running, kebersamaan antara perantau dan mereka yang di ranah nyata terlihat. Untuk titik-titik yang ditentukan, pemuda Sonsang mengisinya sebagai penuntun jalur. Total ada sekitar 60 orang yang terlibat. "Sebelum trail running ini dimulai, sebelum puasa kita terlebih dahulu membuka jalur. Diangsur-angsur hingga lomba. Jadi sebelum dimulai, tinggal membersihkan saja," ujar Koordinator Lapangan trail running Hendra Efendi, 34. Akmal mengatakan Trail Running Sonsang akan menjadi kegiatan rutin tahunan. Dia berharap kejuaraan ini menjadi magnet untuk mempercepat Sonsang menjadi destinasi wisata.
Kapasitas masyarakat
Langkah selanjutnya, kata Akmal, ialah peningkatan kapasitas masyarakat terutama yang berpotensi menjadi guide, pelatihan mengelola home stay, dan pelatihan travel guide. "Lokasi yang jadi objek ini akan dibikin paket. Misal tiap minggu ada pertunjukan randai dan tari. Melihat randai live di alam," ujarnya. Dia bersama inisiator lainnya menargetkan Sonsang sudah menjadi desa wisata dua tahun mendatang. Selain dengan menggelar Festival Sonsang, perantau juga mendorong program kemasyarakatan melalui Yayasan Al Azhar Peduli Umat. Di samping itu, ada pula program Desa Gemilang, dengan tujuan menggerakkan potensi-potensi yang ada di tengah masyarakat supaya bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Empat hari di Sonsang terasa begitu cepat, tapi hati ini sudah terkunci di kedalaman Tirta Alami, digembok bukit-bukit hijau yang berdiri kukuh. Suatu hari kami ingin kembali menyongsong Sonsang, menyongsong desa wisata yang nyata. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved