Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
BANYAK pemerhati maritim berpendapat Indonesia adalah bangsa yang tengah mengalami sindrom kerancuan identitas, bangsa maritim dengan paradigma berpikir kedaratan. Padahal Indonesia berdiri di tengah hamparan laut dengan hiasan pulau-pulau. Itulah setidaknya yang bisa ditangkap dari pameran Nautika Rasa; Seni Rupa & Imaji Bahari di Galeri Nasional Indonesia pada 13-25 September 2016. Sebanyak 120 pelukis mencoba berkelindan dengan ide dan gagasan mereka tentang kebaharian Indonesia. Pameran ini diselenggarakan Bale Seni Barli Kota Baru Parahyangan yang bekerja sama dengan Ikatan Wanita Pelukis Indonesia (IPWI).
Berbagai rupa laut ditampilkan dalam pameran ini. Mereka memperhatikan segala kemungkinan yang ada pada bidang permukaan laut dan mengenai segala hal yang ada di bagian bawahnya. Mereka menempatkan citra tentang bahari sebagai suatu bingkai kesatuan alam secara keseluruhan. Para seniman tentu punya cara untuk memahami realitas. Biasanya, mereka melaluinya dengan nilai sensasi pengalaman yang dihadapi. Mereka kemudian menyatakan realitas tersebut sebagai kenyataan yang khas. Tentu lewat cara ala seniman. Hasilnya, lukisan, patung, seni video, dan instalasi.
"Keadaan atau kenyataan yang sebenarnya bisa menjadi sumber gagasan artistik yang tidak biasa bahkan luar biasa, yang mungkin tak pernah terpikirkan para seniman yang bekerja di pusat-pusat seni rupa dunia: di New York atau Paris," terang kurator pameran Rizki A Zaelani. Jika saja setiap seorang punya kesempatan menjelajahi luasnya wilayah maritim Indonesia, ia tentu bersedia menjadi saksi betapa luar biasanya Indonesia. Boleh jadi, seorang itu merasakan seperti halnya kebanyakan para seniman dan masyarakat di kota-kota besar yang tak pernah akrab mengenal Indonesia melalui bentangan wilayah laut yang sangat luas. Akibatnya, mereka seakan terpisah dari realitas.
Tidak semua seniman punya cukup kesempatan mengenal realitas dan budaya bahari secara dekat dan akrab. Lebih banyak justru hanya membayangkannya. Namun, kini, para seniman punya kesempatan untuk menjadikan itu menjadi wujud gagasan melalui berbagai imaji tentang bahari. 'Pameran ini hendak menyusuri luasnya lautan perasaan yang seolah tak bertepi itu melalui cermin tentang bahari (laut), atau melalui cermin tentang dimensi perasaan itu sendiri', tulis Rizki dalam kuratorial.
Nautika Rasa, judul pameran ini, menyiratkan hal tentang maritim. Nautika berarti hal yang berhubungan dengan laut, sedangkan rasa bisa dimaknai sebagai salah satu medium dalam diri untuk mencerap dan memahami realitas sehingga jalinan dua kata tersebut menjadi makna baru yang dalam. Mencerap dan memahami segala sesuatu yang berkenaan dengan laut melalui rasa. Tentu rasa dalam pemaknaan ini punya maksud yang lebih dalam daripada rasa lapar, kenyang, pusing, ataupun mulas. Rasa ini lebih berupa upaya melihat ke dalam diri, lebih menimbang-nimbang, lebih merenungkan, dan lebih mengontemplasikan karena rasa punya dimensi tersendiri.
Imaji bahari
Karya-karya yang dipamerkan tentu saja berbeda dengan maksud sebagai gambaran mengenai ilustrasi pengetahuan tentang dunia kelautan kita dengan khazanah flora dan fauna yang kaya. Imaji bahari pada karya-karya ini semacam alur pengungkapan pengetahuan yang khas. Alur itu punya keterkaitan secara langsung dengan diri sang seniman melalui dimensi perasaan.
Itulah juga yang diungkap Rizki dalam kuratorialnya. 'Imaji tentang bahari dalam pemeran ini bisa muncul sebagai bentuk-bentuk yang langsung bisa dikenali (bersifat ikonis), tapi juga bisa dinyatakan secara tersirat sebagai inspirasi gagasan', tulisnya. Pada akhirnya, olah rasa dalam diri setiap seniman dibawa keluar dan diwujudkan dalam bentuk karya. Itulah sebabnya, 120 seniman berpamer dengan konsep dan ide masing-masing. Tentu juga kekhasan metode dan cara wujud yang boleh jadi menjadi pembeda antara seniman satu dan lainnya.
Rasa dan imaji. Dua itulah yang menjadikan banyak corak dalam karya yang dipamerkan. Misalnya rasa dan imaji tentang keindahan pada lukisan Senandung Lembah Karang (2016) karya Nakis Barli, Panorama Bawah Laut (2016) karya Emmyria Noer, Deep Ocean (2016) karya R Yadi Cahyadi, Warni Warni Dalam Laut (2016) karya Yetti Ahmad, dan Biota Laut di Kepulauan Bunaken (2016) karya Ida Andayani.
Begitu pun rasa dan imaji tentang pencemaran bahari juga mewujud dalam lukisan bertajuk Terkontaminasi (2016) karya Syafari Abdul Rachman, dan Memory tak Terlupakan (2016) karya Riyono. Begitu pun rasa dan imaji tentang kehidupan nelayan, perahu, ombak dan segala sesuatu tentang bahari diungkapkan para seniman menurut gaya masing-masing. Karya Men Sagan misalnya dalam lukisan berjudul Kegiatan Nelayan (2016). Ia mengurat warna di atas kanvas dengan gaya lukis yang lekat dengan Affandi, ataupun Gemuruh Samudra (2016) karya Gina Santoso dan Yoce Wiriadi (2016) yang banyak bermain dengan sapuan warna yang menutup hampir sebagian besar kanvas. Sebagai penutup, cukup menarik untuk memperhatikan potongan kuratorial. 'Pameran ini, sekali lagi, menunjukkan semacam tugas kepada para seniman, yaitu kewajiban yang sebenarnya bersumber pada diri seni itu sendiri'. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved