EMPAT belas penari berlari masuk menuju lapangan tanpa panggung. Dengan kaki telanjang, mereka berpasangan. Dua buah tiang bambu tertancap. Di atasnya terdapat sebatang bambu memanjang sebagai penyangga ikatan tali.
Para penari pun langsung memegang tali-tali yang menjulur kaku ke bawah. Setiap pasangan hanya diperbolehkan mengambil satu tali. Mereka apik membentuk pola silang. Itu terlihat sangat khas dan unik.
Suguhan itu tersaji pada pementasan Tari Katreji suguhan Sanggar Wairanang Negeri Soya di Pattimura Park, Ambon, Maluku, akhir pekan lalu. Delapan pasangan menari di bawah temarang rembulan.
Di sekitar arena, tak ada lampu-lampu yang dipasang, sebagaimana untuk mendukung pencahayaan koreografi. Hanya alunan tifa totobuang, seperangkat instrumen khas Maluku, yang mengalun rancak mengiringi para penari beraksi di lapangan terbuka, malam itu. "Ini tarian pergaulan muda-mudi. Setiap penari selalu berpasangan untuk menunjukkan kekompakan," ujar Carolis Rehatta, pemimpin Sanggar Wairanang Negeri Soya, seusai pentas.
Dua puluh menit menari memberikan bukti para penari memang sudah terlatih. Saat pentas, Carolis terus memberikan aba-aba. Pola itu sebagai tanda. Para penari akan melilitkan tali ke tali lainnya tanpa salah. Mereka sangat berhati-hati. Bila tidak beraturan, talinya akan sulit dibuka kembali.
Semua aba-aba Carolis diucapkan dalam bahasa Portugis dan Belanda. Maklum, Tari Katreji merupakan warisan peninggalan kolonial. Bedanya, Tari Katreji yang bertumbuh sekarang masih menggunakan instrumen lokal. Hal itu yang memberikan perbedaan dalam segi alunan musiknya. Sebagai tari pergaulan, Tari Katreji pun sempat mengalami mati suri pada era 1960-1970-an. Minimnya anggaran membuat para penari pun meninggalkan tarian tersebut. Untunglah, beberapa korografer lokal masih menaruh hati. Hingga akhirnya, tarian itu pun muncul kembali di tengah masyarakat.
"Sekarang sudah ada pembinaan. Tari ini memang pengaruh Eropa. Tapi, sentuhan musiknya masih lokal. Penari-penari di sanggar kami juga bisa membawakan tari khas (tradisional) di sini," papar Carolis.
Tari Katreji yang berkembang sekarang memang sudah mengalami perubahan. Gerakannya pun kerap digabungkan dengan tari-tarian tradisional lainnya. Sebut saja Tari Lenso atau Bambu Gila.
Tari-tari kreasi juga berkembang pesat. Sebut saja Tari Hela Rotan yang juga dipentaskan malam itu. Berbeda dengan Tari Katreji, Tari Hela Rotan mayoritas dibawakan pelajar dan mahasiswa. Mereka terdiri atas 12 penari perempuan.
Perdamaian Perhelatan pentas tari dan musik itu bertema Perdamaian Ambon. Para seniman lokal menggelar acara budaya itu guna menjaga hubungan antaragama. Mereka tak mau tragedi 1999 terulang kembali. Untuk itulah, suguhan seni menjadi perekat demi menjaga tali persaudaraan.
Pementasan pun kian memanas saat penampilan 12 penari laki-laki dari Sirimau. Mereka mementaskan Tari Cakalele. Tarian itu menggambarkan suasana peperangan dan menjadi ciri khas di Ambon. Para penari membawa parang dan perisai.
Sambil berteriak-teriak dengan suara keras, empat penari berlari ke depan. Mereka menundukkan kepala, sedangkan tangan kanan mengacungkan parang. Para penari lincah dan gesit memberikan suguhan Tari Cakalele yang heroik.
Tidak hanya suguhan tari sebagai ikatan menjaga persaudaraan, tetapi uga anak-anak muda yang tergabung lewat komunitas-komunitas juga aktif. Mereka ikut menjaga perdamaian lewat aksi seni. Mereka tampak hadir sebagai bagian untuk mengampanyekan perdamaian.
"Ikatan persaudaraan yang ada di Ambon memang penting. Seniman berkumpul untuk mengajak agar kedamaian itu selalu ada. Tarian, sastra, dan musik menjadi wadah yang kuat untuk menyampaikan pesan perdamaian," tutur Ketua Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Tonny D Pariela.
Malam itu, sedikitnya 10 kelompok tari ikut meramaikan. Semuanya berakar dari tradisi, kreasi, dan tarian yang diwariskan para pendatang dari Eropa. Para seniman menjadikan momen itu bagian untuk menghidupi kehidupan berkesenian di Ambon.
"Kami menari karena sudah terbiasa. Menari di mana pun kami bisa. Baik di lapangan terbuka maupun panggung. Lokasi tak kami hiraukan. Asalkan bisa menghibur," tutur Margareta, 18, salah satu penari Hela Rotan.
Di ujung acara, gerimis perlahan turun. Satu per satu penari dan penonton pun berlari mencari tempat berteduh. Begitulah suasana malam itu di Pattimura Park. Para seniman berkumpul untuk menunjukkan bahwa seni harus dipertunjukkan bagi rakyat Ambon.
Meski tidak menari di atas panggung, itu bukanlah masalah. Para penari percaya tarian telah mengakar dan melekat erat dalam kehidupan sosial masyarakat. Siapa pun bisa menari dan menyanyi sebagai bagian untuk ikut menjaga perdamaian di 'Ambon Manise'. (M-6)