Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Atik, Senandung Jiwa yang Luhur

Syaiful Anuar
21/5/2023 05:30
Atik, Senandung Jiwa yang Luhur
Ilong Ina mendendangkan atik.( DOK SYAIFUL ANUAR)

RATIB dalam bahasa lisan masyarakat Melayu di hulu Sungai Jantan biasanya dilafalkan menjadi ghatik. Telah menjadi kebiasaan lisan orang Melayu mengganti bunyi huruf ‘r’ —dalam bahasa formal kerajaan dan naskah-naskah di Riau dan Kepulauan Riau— menjadi ‘ghim.’ Misalnya, rimba menjadi ghimba, risau jadi ghisau, rasa menjadi ghasa, ramai jadi ghamai, dan sebagainya. Pula bila diucapkan dalam tempo cepat, bunyi huruf ‘r’ atau ‘ghim’ akan terdengar samar, dan bahkan hilang atau tak terdengar sama sekali. Seperti ghimba menjadi imba, ghisau jadi isau, ghasa menjadi asa, ghamai jadi amai, dan sebagainya.

Ratib, ghatik, atau atik berakar pada kata rataba, yartabu, ratban dalam bahasa Arab. Dimaknai sebagai mengatur, teratur, rutin dilakukan secara terjadwal —selanjutnya ratib atau ghatik ditulis atik. Kandungan atik berlafaz keagungan dan puji-pujian kepada Allah SWT, seperti la ilaha illallah, dan Allahu Akbar. Namun, tak serta-merta kandungan tersebut dikatakan sebagai atik. Ucapan keagungan dan puji-pujian kepada Allah SWT itu disebut atik apabila dilakukan secara terus-menerus, rutin, berulang-ulang, konsisten, dan terjadwal.

Kata atik sering juga digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan kebiasaan seseorang. Seperti atik yang disematkan pada kata-kata berulang dari lisan seseorang yang latah —melafazkan kata-kata berulang, tetapi tidak berarti apa-apa. Ada juga pengistilahan atik untuk perbuatan seseorang yang melakukan gerakan kepala ke kiri dan kanan ketika duduk bermenung di tepi jalan sambil melihat kendaraan lalu-lalang.

Kedua istilah atik dalam hal latah atau duduk bermenung itu bermakna kurang elok. Tentu, atik dalam istilah demikian tak patut diamalkan dalam kehidupan. Dalam istilah lain, kata atik juga digunakan sebagai nama sastra lisan di negeri-negeri hulu Sungai Jantan. Berbeda dengan atik pada keterangan di atas —hanya melafazkan keagungan dan puji-pujian kepada Allah SWT,— kandungan atik dalam bentuk itu lebih cenderung berbentuk hikmah yang terhimpun dalam kata-kata nasihat dan tunjuk ajar Melayu. Penyajiannya berwujud nyanyian yang didendangkan dalam tradisi menidurkan kanak-kanak, dilisankan secara spontanitas, atau tidak dikonsep sedemikian rupa. Lalu, apa dasar penamaan atik untuk sastra lisan tersebut?

Penamaan atik untuk sastra lisan nyanyian pengantar tidur itu lebih kepada sifatnya yang teratur, konsisten, dan terjadwal (dilakukan setiap kali menidurkan kanak-kanak). Jika melihat pada lirik nyanyiannya, mungkin penamaan atik tak sesuai sebab lafaz la ilaha illallah hanya pada lirik awal nyanyian, selanjutnya diisi dengan kata-kata nasihat dan tunjuk ajar. Dengan demikian, penamaan atik bukan dari sisi kandungan liriknya.

Setiap hari atik diperdengarkan selama saya berada di kampung Melayu hulu Sungai Jantan itu. Ada tiga rumah berdekatan yang mendendangkan atik ketika menidurkan anak mereka siang itu. Dendangan atik terdengar riuh rendah, sahut-menyahut dari satu rumah ke rumah lainnya. Namun, tak ada kesamaan lirik antara satu atik dan yang lainnya, hanya temanya yang sama-sama berwujud nasihat dan tunjuk ajar. Namun, bentuknya terdengar serupa, seperti pantun padat makna. Persajakannya variatif, ada yang bersajak a-a-a-a dan ada pula yang a-b-a-b.

Hebatnya, saya tak mendengar ada pengulangan lirik ke awal atau sebagian atik seperti kebanyakan lagu yang biasa kita dengar. Kita tak akan menemukan intro, verse, reff, interlude, hingga outro seperti lagu-lagu umumnya. Lirik atik terus berjalan maju seperti pengisahan cerita, tetapi dalam berbentuk pantun atau syair.

Tak banyak ragam irama dan nada atik. Semua atik yang saya dengar berirama hampir selaras di telinga dan cenderung monoton bila didengar sepintas lalu. Kita hanya akan dapat menikmati irama atik yang syahdu ketika dalam keadaan khusyuk. Kontemplasi magisnya terasa masyuk melenakan diri.

Semakin lama mendengar, lamunnya kian melarat masuk ke ceruk-ceruk bawah lena, merengat ke ruang ketenangan jiwa paling damai. Mungkin hal itu pulalah yang menyebabkan kanak-kanak lebih tenang lalu segera terbenam ke dalam lelap tidurnya.

Kreativitas dan kepiawaian

Manusia terlahir dari keagungan kreativitas Allah SWT, dan Tuhan membekali setiap individu dengan potensi-potensi kreativitas yang dapat saja muncul bila diasah dengan baik. Kelahiran sastra lisan pula selalu natural, kontekstual, dan spontan —berkait kelindan dengan kebudayaan serta lingkungan alam sekitar. Jika kreativitas dihadap-hadapkan dengan konsep sastra lisan, tentu pelakunya harus piawai agar kreativitas dalam penciptaan karya dapat berlangsung.

Dalam penciptaan karya sastra lisan atik, pelakunya berproses berdasarkan pengalaman empiris atau pun estetis versinya karena setiap orang dihadapkan pada pengalaman berbeda dengan orang lainnya. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan lirik atik banyak versi. Juga, kemungkinan keberagaman tidak hanya terjadi antarpelaku, bahkan pada seorang pelaku pun akan mendendangkan atik yang berbeda di setiap harinya berdasarkan konteks.

Taum (2011:24) menjelaskan bahwa sastra lisan hadir dengan beragam versi sebab bergantung pada konteks ketika sastra dilisankan. Misalnya, atik dalam suasana hujan akan berbeda dengan atik dalam keadaan panas terik, begitu pula atik dalam suasana hati riang tentu berbeda dengan keadaan bersedih. Mengabstraksikan pengalaman ke dalam karya sastra secara spontan tak mungkin dilakukan seseorang yang tidak terlatih. Memilih kata-kata yang sesuai konteks, bersajak, dan berirama tentu memerlukan proses dan waktu. Apalagi kata-kata yang dipilih itu harus pula mengandung nilai-nilai kebaikan dan pengajaran dalam berkehidupan, tentulah lebih rumit.

Dapat dibayangkan jika pelaku hanya mengandalkan kreativitas tanpa adanya kepiawaian, atik tentu tak dapat diciptakan seketika. Akan berbeda jika atik diwariskan sebagai sastra tulisan yang kemudian dilisankan, pertunjukan atik tidak akan terlalu menuntut kepiawaian pelakunya. Teks atik telah disusun sedemikian rupa dalam tulisan. Kreativitas yang dituntut dari pelakunya hanyalah cara membaca dan menyanyikannya.

Biarkanlah karya sastra atik tetap dikandung rahim kelisanannya sebab kepiawaian kreativitas hanya akan bertumbuh ketika kelisanannya terpelihara. Proses kreativitas dan penempaan diri akan terus berlangsung bagi pelaku atik, hingga mereka sampai pada tahap piawai. Kemudian, mereka wariskan pada generasi baru, begitulah seharusnya dan seterusnya.

Namun, sebagian besar pelaku atik selalu kehilangan kepiawaianya jika dihadapkan dengan perlengkapan rekam (kamera video dan foto atau perekam suara). Bahkan, mereka dapat kehilangan kata untuk mengawali atik bagi anak-anak mereka. Hal itu wajar terjadi sebab mereka hanya terbiasa mendendangkan atik secara natural, tanpa ada benda-benda asing yang dapat mengganggu fokus pikiran mereka.

Menanamkan nilai

Di Riau, terdapat beragam nyanyian pengantar tidur, baik dari sisi kandungan isi, cara penyajian, maupun penamaannya. Orang Melayu di Rokan menyebut nyanyian pengantar tidur sebagai onduo, Melayu di kawasan Kampar bagian hulu menyebutnya ghandu, Melayu Kuantan memberi nama sebagai nandong, dan Indragiri di hilirnya menyebut nandung. Namun, esensi keseluruhan nyanyian pengantar tidur itu ialah nilai-nilai kebaikan yang berpangkal pada nasihat dan tunjuk ajar.

Tunjuk ajar sampai saat ini masih hidup di alam Melayu, terutama di kawasan Riau dan Kepulauan Riau. Tak ada aktivitas keseharian yang berlalu tanpa tunjuk ajar. Misalnya, ketika seorang anak berbuat hal-hal yang kurang tepat atau salah menurut sistem nilai tempatan, ia akan ditunjuk ajar orangtua atau orang-orang di sekitarnya —ada upaya kolaborasi pendidikan kemelayuan secara masif.

Tersebab nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, maka wujud atik tak hanya terlihat sebagai sastra lisan. Ada wujud lain yang segak tampak, rupanya semacam media yang digunakan untuk mendidik anak di lingkungan keluarga. Mereka memanfaatkan magis kata-kata yang terhimpun dalam atik untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan. Agaknya, itulah sebabnya lirik atik berfokus pada muatan nasihat dan tunjuk ajar. Tujuannya agar segala kebaikan yang ada di dalamnya dapat terekam di benak kanak-kanak.

Kepiawaian lokal

Pengetahuan menanamkan nilai-nilai sejak masa kanak-kanak yang dilakukan orang Melayu tak mungkin tanpa dasar atau muncul tiba-tiba. Kecerdasan lokal (local genius) dan pengetahuan local (local knowledge) orang Melayu terlahir dari rahim pengalaman hidup yang panjang. Kelahirannya kemudian bertumbuh menjadi sumber kearifan bagi kebudayaan Melayu. Mungmachon (2012:174) menjelaskan bahwa kearifan lokal menjadi pengetahuan dasar dari kehidupan yang didapatkan dari pengalaman ataupun kebenaran dalam hidup, bisa bersifat abstrak atau pula konkret, kemudian diseimbangkan dengan alam dan juga kultur masyarakat.

Melalui kajian-kajian Ibnu Sina, ilmu kedokteran modern berkembang sejak 6-10 Masehi —kitab Ibnu Sina dijadikan standar rujukan ilmu kedokteran di Eropa. Namun, baru pada abad kontemporer ini (abad ke-20), kajian-kajian tentang perkembangan otak dan psikologi kognitif berkembang pesat. Sementara itu, sastra lisan atik lahir seiring dengan masuknya Islam ke tanah Melayu sejak abad ke-7 sampai 14 Masehi —ditemukannya perkampungan Islam di sekitar Selat Malaka. Artinya, kecerdasan dan pengetahuan lokal orang Melayu telah terbentuk jauh sebelum perkembangan pengetahuan di abad kontemporer.

Orang Melayu telah selesai menelaah berbagai metode dalam mendidik kanak-kanak sehingga sampai pada sastra lisan atik yang diyakini mustajab dalam merenda perkembangan otak pada kanak-kanak. Atas dasar itu, sastra lisan atik dapat dimaknai sebagai penanda kepiawaian orang Melayu dalam mengabstraksikan pengetahuan dan kearifan mereka ke dalam sastra. Ditambah pula dengan kepiawaian penciptaan sastra lisan —yang memang spontanitas dan kontekstual. Tak banyak orang yang mampu menyusun kalimat sebentuk pantun atau syair yang sarat nilai-nilai dalam waktu singkat. Maka, patutlah kiranya jika sastra lisan menjadi pancang penanda kepiawaian orang Melayu dalam mengolah kata-kata.

Di alam Melayu, kecerdasan lokal (local genius) dan pengetahuan lokal (local knowledge) tentang pendidikan kanak-kanak melalui sastra lisan tampak pepak merata di Riau. Setidaknya, setiap puak Melayu memiliki genre sastra lisan yang difungsikan untuk menidurkan kanak-kanak. Keseluruhan genre sastra lisan itu masih dilakukan dan diwariskan hingga saat ini.

Fakta kecenderungan akhir-akhir ini, selain pendidikan, sastra dan kesenian menjadi jalan terakhir dalam upaya memelihara dan merawat nilai-nilai. Patut kiranya sastra lisan yang masih hidup dalam tradisi masyarakat Melayu tetap dipelihara untuk pembangunan kebudayaan berkelanjutan. Dengan demikian, pancang nilai-nilai kemelayuan akan tetap kukuh. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik