Minggu 02 April 2023, 05:05 WIB

Pancung Alas, Hukum Adat Hak Ulayat

Fatmawati Adnan, Firdaus, Derichard H Putra | Weekend
Pancung Alas, Hukum Adat Hak Ulayat

ANTARA/WAHDI SEPTIAWAN
Warga suku Talang Mamak bersiap melakukan panen bersama di Dusun Semerantihan, Suo-suo, Sumay, Tebo, Jambi, Minggu, 2020.

 


FRASA pancung alas dikenal di beberapa wilayah di Sumatra, seperti Riau, Sumatra Selatan, dan Jambi. Secara umum frasa ini didefi nisikan sebagai pajak terhadap hasil hutan yang diambil oleh pendatang. Pajak itu sendiri dimaknai sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh satu pihak kepada pihak lainnya akibat hubungan tertentu.

Terminologi lokal pancung alas berasal dari kata pancung dan alas. Secara leksikal kata pancung sebagai nomina bermakna punca (ujung, penjuru) kain dan sebagainya. Makna lainnya ialah bersegi runcing. Kata pancung sebagai verba bermakna penggal atau potong, sedangkan kata alas bermakna dasar atau fondasi, lapik, hutan, rimba, dan struktur yang menjadi tumpuan bagi struktur lain di atasnya.

Makna awal frasa pancung alas memiliki beberapa versi. Ada yang memaknainya sebagai menandai pohon dengan memancung bagian ujung sebagai tanda batas tanah yang diberikan kepada pihak yang mengelola tanah. Ada juga yang memaknainya sebagai tanda terhadap pembukaan hutan untuk dijadikan kebun, tanda itu berupa pohon yang dipotong/ditakuk dengan menggunakan kapak.

Secara konotatif makna pancung alas yang digunakan masyarakat adat ialah memancung atau memenggal punca (pucuk) dari hasil hutan. Artinya, masyarakat pemilik hutan (sebagai pihak pertama) mengambil sekian persen dari hasil hutan yang diperoleh pihak kedua yang mengelola hutan.

Pada zaman dahulu, istilah pancung alas juga digunakan untuk sumbangan rakyat kepada kerajaan berupa hasil pertanian atau perkebunan dan pemanfaatan hasil hutan serta hasil laut yang dikelola rakyat atas imbauan atau izin sultan (Ghalib, 1994). Budayawan Riau, Datuk Seri Alazhar, mengatakan bahwa pancung alas adalah bagi hasil dalam persentase tertentu yang menjadi kewajiban pengelola tanah (tanah adat) atau sumber daya alam yang digunakan untuk kesejahteraan komunal yang diatur oleh ketentuan-ketentuan adat setempat.

Pancung alas mengacu pada hukum adat setempat. Setiap kelompok masyarakat adat memiliki ketentuan dan aturan yang berbeda. Praktik pancung alas sudah lama diterapkan dalam kehidupan masyarakat Melayu di Riau. Pada masa Kerajaan Siak Sri Indrapura, rakyat diberi hak seluas-luasnya untuk memanfaatkan hutan-tanah di daerah kepenghuluan masing-masing. Akan tetapi, jika yang memanfaatkan hutan-tanah itu seorang pendatang, ia akan dikenai tapak lawang sebesar 10 gantang untuk setiap ladang, sedangkan hasil hutan yang dipungutnya dikenai pancung alas sebesar 10%.

Nathan Porath (2003), antropolog dari Inggris menulis bahwa berlaku 1/10 bagi pemanfaatan kawasan hutan-tanah suku Sakai di Riau. Artinya, 10% dari apa-apa yang diolah di lahan mereka, diberikan kepada masyarakat Sakai, inilah yang disebut pancung alas. Porath melakukan penelitian untuk disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul When the Bird Flies: Shamanic Therapy and The Maintenance of Worldly, Boundaries Among Indigenous of Riau (Sumatra).

Jauh sebelum itu, Van Rijn Alkemade, antropolog Belanda menulis hal serupa pada tahun 1885. Max Moszkowski dalam Forschungstreisen in Ostund Zentral Sumatra (1907) juga menulis tentang pemberlakuan hukum adat dalam pengelolaan hutan di Sumatra.Hal ini berarti, penerapan pancung alas di Sumatra sudah pernah dikaji dan dipublikasikan secara internasional.

Pancung alas di Sumatra merupakan satu di antara aturan-aturan pengelolaan tanah adat di seluruh dunia. Masalah pengelolaan tanah adat bukanlah perkara ringan yang hanya dipandang sebelah mata. Bahkan, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) turut mengatur pengelolaan tanah adat dengan mengeluarkan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang disahkan pada 13 September 2007. Sebanyak 144 negara mendukung deklarasi itu. Deklarasi ini menetapkan hak individu dan kolektif masyarakat adat, serta hak mereka atas budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, dan masalah lainnya.

Selain itu, deklarasi yang diresmikan di markas PBB di New York itu juga meyakini bahwa kontrol masyarakat adat terhadap pembangunan yang berdampak pada mereka dan tanah-tanah mereka, wilayah dan sumber daya alam mereka, akan memungkinkan masyarakat adat untuk menjaga dan memperkuat lembaga-lembaga, budaya-budaya dan tradisi-tradisi mereka, dan untuk memajukan pembangunan selaras dengan aspirasi-aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan mereka.

Mengacu pada deklarasi itu dapat dikemukakan bahwa masyarakat adat ‘sebaiknya’ mengontrol pembangunan yang dilakukan di atas tanah-tanah mereka. Salah satu bentuk kontrol itu ialah penarikan pancung alas dari pihak pengelola tanah-tanah mereka.

Hak Ulayat

Di Riau terdapat beberapa masyarakat adat yang masih kuat memegang adat tradisi mereka. Suku Sakai, Bonai, dan Talang Mamak merupakan masyarakat adat yang bermukim di hutan-hutan yang ada di Riau. Mereka diyakini merupakan bagian dari Proto Melayu (Melayu Tua) yang diperkirakan datang ke Nusantara sekitar 2500-1500 SM. Mereka bermigrasi dari daratan Asia dengan evolusi menyusuri sungai dan berdiam di muara-muara anak sungai yang dilalui.

Kedatangan Deutro Melayu (Melayu Muda) pada sekitar 300-250 SM membuat mereka terdesak dan akhirnya menyingkir hingga masuk ke daerah pedalaman. Deutro Melayu yang berada di pesisir berasimilasi dengan kebudayaan lain, sedangkan ketiga suku proto Melayu itu tetap mempertahanakan adat tradisinya (Rahman, 2009). Suku Sakai, Bonai, dan Talang Mamak disebut dengan istilah masyarakat asli (sebagai kelompok yang pertama datang) atau masyarakat adat (kelompok yang masih kuat menggunakan adat tradisi).

Dalam kehidupan suku Sakai, Bonai, dan Talang Mamak; pancung alas dipraktikkan sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagai masyarakat yang menduduki tanah tempat mereka berdiam, terdapat hubungan yang bersifat religio-magis antara penduduk dan hutan-tanah. Hubungan yang erat ini menyebabkan masyarakat memeroleh hak untuk menguasai, memanfaatkan, dan memungut hasilnya, termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan buruan. Hak mereka yang bertolak dari hukum adat atas tanah ini disebut hak ulayat.

Pengakuan keberadaan tanah ulayat atau tanah adat di Indonesia termaktub dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, Keputusan Mahkamah Agung No.35 Tahun 2012 tentang hutan ulayat, dan Peraturan Presiden No.86 Tahun 2018 tentang reforma agraria. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa negara mengakui keberadaan tanah adat yang dimiliki kelompok-kelompok masyarakat adat.

Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Dalam konsep masyarakat adat, hak ulayat mengandung nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah secara individual dan hak-hak yang bersifat pribadi.

Akan tetapi, hak ulayat bukan hak orang-perorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak ulayat bersifat komunal karena merupakan hak bersama anggota masyarakat adat atas tanah yang bersangkutan.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur penggunaan hak ulayat mengandung kearifan lokal yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mengutamakan kebersamaan. Kearifan lokal dalam aturan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan terlihat pada ketentuan pengelolaan tanah. Masyarakat adat membagi kawasan mereka menjadi empat kategori, yaitu tanah perkampungan, rimba, tanah peladangan,
dan kawasan perairan.

Pertama, tanah perkampungan, yaitu hutan-tanah yang dijadikan sebagai tempat untuk bermukim. Perkampungan di alam Melayu merupakan wilayah kultural geografi s yang berkembang secara evolusi. Lingkup alamnya dapat dikenali dengan ketersediaan wilayah yang dimanfaatkan oleh masyarakatnya untuk menjalankan aktivitas sosial budaya. Dalam wilayah perkampungan terdapat ruang-ruang lain saling berkaitan yang meliputi tanah pekarangan, teratak, dusun, tanah koto, tanah pekuburan, padang penggembalaan dan tanah kandang.

Kedua, rimba diklasifi kasikan dalam tiga bagian, yaitu rimba larangan, rimba cadangan, dan rimba kepungan sialang. Rimba larangan merupakan rimba yang dilindungi secara adat sebagai tempat simpanan air, fl ora, dan fauna. Hasil-hasil hutan di rimba larangan seperti rotan, damar, getah jelutung, berbagai jenis kayu dan hewan buruan, dimanfaatkan secara ekonomi untuk kebutuhan masyarakat adat. Rimba cadangan merupakan rimba yang diperbolehkan dibuka untuk tanah peladangan dan perkebunan, sedangkan rimba kepungan sialang merupakan rimba tempat tumbuh batang sialang yang diperuntukkan sebagai tempat lebah bersarang. Pohon-pohon yang berada di rimba kepungan sialang menjadi tempat bermain bagi lebah untuk mengumpulkan sari-sari bunga dalam proses pembentukan madu.

Ketiga, tanah peladangan, adalah tanah untuk berladang dan berkebun. Tanah peladangan ditanami berbagai tanaman yang berkaitan dengan pencarian utama seperti padi dan karet. Tanah peladangan dibuka dari rimba cadangan, menjadi milik pribadi yang bisa diwariskan kepada anak cucu.

Keempat, kawasan perairan. Di kawasan perairan terbentuk sistem khusus yang mengatur pemanfaatannya yang bertujuan mendukung aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi yang lestari dan berkelanjutan. Laut, sungai, danau, dan bencah sebagai komponen kawasan perairan memiliki peran dan fungsi masingmasing.

Sungai, selain sumber ekonomi penghasil ikan, juga berfungsi sebagai penghubung ekonomi dalam lalu lintas transportasi antarkampung dan mengangkut hasil alam serta pertanian. Danau menghasilkan ikan selain sungai, sedangkan bencah adalah lahan cadangan pertanian terutama dalam menanam padi basah.

Hutan-tanah yang diperbolehkan untuk dikelola hanya yang berstatus tanah produksi (hutan cadangan), sedangkan hutan-tanah rimba larangan dan rimba kepungan sialang tidak diperbolehkan untuk dikelola. Perusakan terhadap rimba larangan dan rimba kepungan sialang akan mendapatkan sanksi adat, sebab dilindungi oleh undang-undang adat.

Kearifan lokal yang menunjukkan sikap mengutamakan kebersamaan ada pada ketentuan kepemilikan, pemanfaatan, dan penggunaan hasil hutan/rimba. Rimba larangan dan rimba kepungan sialang dimiliki secara bersamasama oleh masyarakat adat, dikelola masyarakat di bawah pimpinan batin ataupun pemimpin adat, dan hasilnya untuk kepentingan bersama. Hasil hutan di rimba larangan dan rimba kepungan sialang, seperti rotan, damar, getah jelutung, berbagai jenis kayu, hewan buruan, dan tentunya madu lebah; dimanfaatkan secara bersama-sama untuk keperluan masyarakat, misalnya pemanfaatan kayu untuk pembangunan masjid, balai adat, laman silat, dan lain sebagainya.

Undang-undang adat dan falsafah adat yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan hutan-tanah disebutkan dalam ungkapan sebagai berikut: berladang berbunga padi, mendulang berbunga emas atau ke darat berbunga kayu, ke air berbunga pasir.

Maksud ungkapan ini ialah apabila seseorang memanfaatkan hutan-tanah, misalnya menebang kayu, rotan, damar, getah jelutung, pasir, batu, serta hasil pertambangan dengan tujuan untuk dijual, harus membayar pancung alas kepada adat. Apabila hanya digunakan untuk keperluan sendiri, ia dibebaskan dari pancung alas dan cukup mendapat persetujuan dari pemimpin adat. Apabila yang mengambil hasil hutan, tanah, dan sungai bukan anggota masyarakat adat (pendatang), mereka dikenakan pancung alas.

Besaran nilai pancung alas pada suku Sakai, Bonai, dan Talang Mamak disebutkan dalam istilah sepuluh satu (10:1). Maksud dari sepuluh satu adalah sepuluh persen. Penerapan pancung alas oleh suku Sakai, Bonai, dan Talang Mamak memperlihatkan bahwa mereka mengatur tentang kepemilikan dan pengelolalan hutan-tanah. Mereka memiliki  regulasi yang jelas untuk menata kehidupan sosial ekonomi.

Masa kini

Pancung alas memiliki fungsi dan signifikansi yang kuat pada masa lalu. Suku Sakai, Bonai, dan Talang Mamak yang ada di Riau merasa “aman” dengan adanya regulasi pembagian hasil hutan ini. Sebagai masyarakat yang memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, hasil pancung alas digunakan untuk kepentingan bersama.

Akan tetapi, bagaimanakah eksistensi pancung alas pada beberapa dekade terakhir? Meskipun mengenai tanah adat diperkuat dengan adanya regulasi, baik secara nasional maupun internasional, dewasa ini masalah kepemilikan tanah adat menjadi isu hangat yang menimbulkan konfl ik. Di Riau, masyarakat adat berjuang mempertahankan hukum adat pancung alas atas tanah-tanah mereka yang dikelola oleh perusahaan minyak dan perkebunan kelapa sawit.

Seandainya perusahaan-perusahaan besar itu “mematuhi” hukum adat pancung alas, sepuluh persen yang diperoleh masyarakat adat dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Impian itu terus bergelayut di benak mereka.

Mengacu pada aturan pancung alas yang berfungsi kuat pada masa lalu, terlihat bahwa masyarakat adat memiliki kekuasaan atas tanah mereka. Selain itu, hal lain yang terlihat ialah kekuatan ikatan komunal masyarakat adat karena hasil dari pancung alas itu digunakan sepenuhnya untuk kepentingan bersama.

Tradisi pancung alas yang pada dasarnya menguatkan kepemilikan hak ulayat dan memperkokoh kebersamaan, telah tergerus karena kekuasaan lain yang lebih kuat dan kelemahan masyarakat adat yang cenderung kalah dan mengalah. Akankah pancung alas mampu eksis kembali pada era milenial ini? Meskipun Gusfi eld (1967) mengatakan tradisi dan modernitas merupakan dua kutub yang berseberangan dalam teori perubahan sosial, harapan tradisi pancung alas difungsikan kembali dalam hubungan masyarakat adat dengan perusahaan pengelola tanah ulayat terus
didengungkan. (M-3)

Baca Juga

MI/Fathurrozak

17 Kali Main di BNI Java Jazz Festival, Tony Monaco Merasa Terhormat

👤Fathurrozak 🕔Minggu 04 Juni 2023, 06:00 WIB
“Ini tahun ke-17 saya main di sini. Saya merasa terhormat dan terberkati. Terima kasih semuanya, sudah...
Mi/adiyanto

Bakul Budaya FIB UI Ajak Warga Mencintai Lingkungan Melalui Pendekatan Budaya

👤Adiyanto 🕔Sabtu 03 Juni 2023, 18:15 WIB
Acara diakhiri di dekat Danau Kenanga UI untuk menabur ribuan benih ikan di salah satu dari tujuh danau yang ada di lingkungan kampus...
MI/Nike Amelia Sari

Sejumlah Jenama Lokal Angkat Budaya dan Keseharian Indonesia

👤Nike Amelia Sari 🕔Sabtu 03 Juni 2023, 08:45 WIB
Inspirasi dari setiap motif dari produk fesyennya diambil dari elemen "keseharian" yang disulap menjadi gaya fesyen yang lebih...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya