MESKI masih ada yang memandang sebelah mata, peran ibu rumah tangga sesungguhnya amat penting. Bahkan peran itu bukan hanya untuk keluarganya sendiri melainkan juga untuk komunitas dan lingkungannya.
Ibu rumah tangga sebenarnya dapat menjadi penyelamat bumi dengan cara meminimalisir sampah. Merujuk pada data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2022 limbah rumah tangga menyumbang 42,23 persen terhadap total sampah nasional.
Peran ibu rumah tangga sebagai penyelamat bumi inilah yang sedang diperjuangkan lewat komunitas Peri Bumi. Digagas tahun 2021 oleh Yasmina Hasni, gerakan ini menggelar sejumlah program lokakarya terkait pengetahuan sampah dan pengelolaan lingkungan yang diberi nama Ibu Asaka (Atasi Sampah Keluarga).
“Ibu adalah sosok yang punya potensi besar dalam menekan jumlah sampah. Seorang Ibu yang mengambil kebijakan utama tentang urusan domestik, ibu juga orang yang bisa memilih menggunakan bahan plastik atau non plastik, ibu juga orang yang bisa memutuskan jenis limbah rumah tangga apa yang mau dikelola dan berapa banyak jumlah limbah yang dihasilkan,” jelas Yasmina saat dihubungi Media Indonesia lewat sambungan telepon pada Rabu (1/3).
Tidak hanya untuk diri sendiri, para ibu juga berperan penting mengubah perilaku anggota keluarga untuk sadar terhadap sampah dan pentingnya tidak membuang-buang makanan.
“Terbukti dalam sampah rumah tangga, yang paling tinggi adalah jenis sampah makanan. Artinya perilaku kita terhadap makanan masih harus diperbaiki, pola pikir kita terhadap makanan harus diedukasi lagi bahwa di saat kondisi kita sedang menghadapi stunting justru perilaku food waste kita juga tinggi, peranan Ibu sangat penting untuk bisa menyebarkan nilai-nilai penting lingkungan dari dalam keluarga,” ujarnya.
Sayangnya, menurut Yasmina, hingga saat ini jarang sekali ada gerakan penyelamatan lingkungan yang dimulai dari ibu di tatanan rumah tangga. Kebanyakan berpusat di anak muda.
Kini komunitas Peri Bumi mengundang para ibu lainnya untuk menjadi agen perubahan lingkungan. Nantinya, sebanyak 250 orang ibu dari berbagai wilayah di Indonesia terpilih akan mengikuti pelatihan daring secara berkala hingga mendapatkan bimbingan terkait proyek lingkungan.
“Kami mencari Ibu-ibu yang berminat menjadi agen perubahan lingkungan, kami tidak hanya menjadikan Ibu-Ibu ini sebagai pengikut melainkan sebagai change makers bagi para Ibu-Ibu lain di luar sana, maka itu kami mencari ibu-ibu yang sudah cukup berdaya dalam arti sudah selesai dengan urusan perut lapar, sehingga mereka bisa memberdayakan keluarga dan orang lain di wilayahnya,” jelas Yasmina.
Target yang dicari untuk menjadi duta ibu ini berusia antara 25 hingga 50 tahun dan memiliki anak berusia 0-12 tahun. Pada pelatihan tersebut, para ibu dilatih untuk mengkomunikasikan pentingnya mengatasi perubahan iklim, dan mencontohkan sejumlah aksi kecil sehari-hari yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan bumi.
“Kita mencari perwakilan dari berbagai wilayah. Setiap Sabtu atau Minggu akan ada satu kelas, nantinya pelatihan yang mereka dapatkan ini akan menjadi project base para peserta, mereka akan membuat project di wilayahnya masing-masing sesuai dengan topik yang diminati. Tahun ini kami mewajibkan para peserta untuk menghasilkan outcomes yang nantinya bermanfaat dan bernilai guna untuk peserta maupun orang-orang di lingkungannya,” jelas perempuan penerima The Climate Parent Fellowship 2022 itu.
Program lokakarya ini akan dilakukan secara daring selama 4 bulan dalam satu rangkaian selama 4 bulan sebanyak 15 kelas. Program ini gratis tanpa pungutan biaya apa pun. Bagi para ibu Nusantara yang tertarik mengikuti program ini, pendaftaran masih dibuka hingga 19 Maret 2023,
“Untuk jumlah peserta tahun ini kami membuk untuk 250 Ibu, rencananya mereka akan dimentori oleh 50 fasilitator dari berbagai praktisi lingkungan dan pendidikan,” jelasnya.
Yasmin juga mengungkapkan bahwa tahun ini pihaknya akan mempublikasi hasil proyek para Ibu di website. Sistem tersebut bagi Yasmina, bisa membuka peluang untuk mengundang para perusahaan atau NGO yang ingin menjalankan CSR, sehingga gerakan Ibu-Ibu tersebut bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak dan berpotensi memiliki dampak yang lebih besar.
“Semakin banyak kolaborasi akan semakin bagus, tahun lalu memang pendaftar banyak dari pulau Jawa, tahun ini kami harap Ibu-Ibu di luar Pulau Jawa bisa banyak yang berpartisipasi, karena kita daring jadi memang kesetaraan akses internet tidak bisa kita hindari juga menjadi tantangan bagi program ini,” jelas Ibu dua anak itu. (M-1)