Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
BARU saja umat Islam merampungkan puasa Ramadan. Akhir dari ‘tapa brata’ selama satu bulan penuh tersebut dipuncaki dengan merayakan Idul Fitri. Hari besar yang dimaknai pula sebagai hari mencapai kemenangan setelah paripurna dan lulus mengendalikan hawa nafsu. Prinsip dan nilai dalam ibadah puasa sebenarnya adalah pada pengendalian nafsu itu. Berjibaku mengandangkan atau mematikan nafsu buruk dan sebaliknya memenangkan atau menyuburkan nafsu-nafsu baik.
Dari perspektif dunia wayang, siapa pun yang sedang berpuasa, dalam dirinya sedang terjadi perang Bharatayuda. Dalam pakeliran, Bharatayuda adalah peperangan antarkeluarga sedarah, sesama trah pendiri Astina Prabu Bharata, yakni Pandawa melawan Kurawa. Pertanyaannya, bagaimana nalarnya berpuasa ibarat perang Bharatayuda? Sejatinya, pesan dalam Bharatayuda bisa dimaknai sebagai perangnya antara nafsu baik dan nafsu buruk. Nafsu baik dilambangkan Pandawa, sedangkan nafsu buruk disimbolkan Kurawa. Kisahnya, Pandawa unggul sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan abadi. Sesungguhnya, itu terjadi bukan saat berpuasa saja. Selama hidup, dalam jiwa setiap orang akan mengalami perang Bharatayuda. Nafsu baik dan buruk, yang kodratnya bersemayam dalam jiwa setiap orang, akan saling mengalahkan. Di sinilah setiap ‘dalang’ (orang) dihadapkan pada pilihan, memenangkan yang baik atau membiarkan yang buruk berkuasa.
Kitab Jitabsara
Syahdan, kekuasaan zalim Kurawa atas Astina semakin mengkhawatirkan. Sang raja, Duryudana, terus memperkuat cengkeraman kekuasaannya atas Astina dan Indraprastha serta negara-negara jajahannya. Sepertinya, zaman ‘jahiliah’ akan semakin menjadi-jadi. Zaman yang ditandai dengan rusaknya tatanan karena dibelenggu nafsu buruk. Situasi memiriskan itu membuat Kresna, botoh Pandawa, risau. Sebagai titisan Bethara Wisnu, Kresna berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan jagat. Era ‘jahiliah’ Kurawa harus segera diakhiri.
Peradaban jagat mesti dikembalikan sesuai kodratnya, bahwa yang baik dan benar yang mesti menang dan abadi. Bukan yang jahat dan buruk yang menguasai. Ini hanya bisa tercipta bila rezim Kurawa tumbang. Takdirnya, lewat Bharatayuda yang pernah dijanjikan dewa. Maka, untuk menyegerakan perang Bharatayuda, Kresna melakukan aksi unjuk rasa ke Kahyangan Jonggring Saloka. Mediumnya ia menjalani tapa di Balekambang. Kasatmata Kresna seperti tidur. Tapi sejatinya ia ngraga sukma, roh sejatinya meninggalkan wadaknya.
Misi aksi Kresna itu diketahui Kurawa. Duryudana bersama seluruh nayaka praja beramai-ramai datang ke Balekambang untuk menggugah Kresna. Mereka yakin bila itu berhasil, maka Bharatayuda bisa digagalkan. Di balik itu, Kurawa khawatir bila Bharatayuda terjadi, pihaknya yang akan kalah alias hancur. Dalam seni pedalangan, kisah Kurawa menggugah Kresna itu merupakan upaya membujuk Raja Dwarawati tersebut agar bersedia bergabung dengan kelompoknya karena siapa yang ‘memiliki’ Kresna yang bakal memenangkan perang Bharatayuda.
Namun, upaya Kurawa membangunkan Kresna gagal total. Satu per satu, mulai Duryudana kemudian Durna (paranpara), Sengkuni (patih), Karna Basusena (senapati), serta anggota Kurawa lainnya yang mencoba menggugah Kresna kandas. Bahkan, Raja Mandura Prabu Baladewa, kakak Kresna, yang dimintai tolong Kurawa untuk menyiumankan adiknya itu pun tidak membuahkan hasil. Pada bagian lain, sebelum roh sejati Kresna sampai di Kahyangan, para dewa sedang rapat untuk memfinalisasi skenario perang Bharatayuda yang tertuang dalam Kitab Jitabsara. Kitab itu berisi rincian pertempuran, siapa (senapati) melawan siapa dari kedua belah pihak. Selain itu, juga tentang siapa yang unggul dan siapa yang kalah.
Bertindak sebagai ketua rapat Raja Kahyangan Jonggring Saloka, Bethara Manikmaya. Tidak ketinggalan hadir warangka dalem, Bethara Narada. Yang didapuk sebagai penulisnya adalah Bethara Panyarikan. Semua penghuni Kahyangan datang sekaligus menjadi saksi. Ketika skenario sampai pada peperangan yang akan mempertemukan Baladewa dengan Antareja, roh sejati Kresna tiba dengan menyamar sebagai lanceng. Binatang sejenis lebah itu kemudian menyambar alat tulis Panyarikan sehingga jatuh dan tintanya menimpa kedua nama yang telah ditulis tersebut.
Peristiwa itu membuat Manikmaya gusar. Ia lalu memerintahkan prajurit dorandara (pasukan Kahyangan) menangkap lanceng yang lancang itu. Lalu, terkuaklah sejatinya lanceng adalah roh Kresna. Manikmaya bertanya apa maksud Kresna datang ke Kahyangan tanpa dipangggil. Kresna matur dengan memohon kepada dewa bahwa dirinya menghadap semata-mata untuk mendapatkan Kitab Jitabsara yang berisi ‘panduan’ Bharatayuda. Selain itu, ia berharap Baladewa dan Antareja tidak dimasukkan dalam skenario perang dalam kitab tersebut.
Tuntunan hidup
Singkat cerita, Manikmaya mengabulkan keinginan Kresna. Namun, Kresna mesti mengembalikan senjatanya yang berupa Kembang Wijayakusuma. Pusaka milik dewa itu memiliki kesaktian bisa untuk menghidupkan kembali semua makhluk yang meninggal tapi belum waktunya. Kresna lalu pamit dan turun ke marcapada. Di tengah perjalanan, ia bertemu roh sejati Arjuna, yang semula berniat menyusulnya ke Kahyangan. Keduanya lalu bersama-sama kembali masuk ke wadaknya masing-masing yang teronggok di Balekambang.
Setelah itu pecahlah perang Bharatayuda yang sebelumnya diawali dengan lakon Kresna Duta. Sebagai utusan Pandawa, Kresna menghadap Duryudana agar mengembalikan kekuasaan Astina dan Indraprastha kepada yang berhak, yakni Pandawa. Namun, Duryudana menolak dan memilih jalan perang. Siapa yang menang yang berkuasa. Ceritanya, Bharatayuda di padang Kurusetra berlangsung selama 18 hari. Pada hari pertama diawali dengan gugurnya senapati Astina, Bhisma, ketika melawan Srikandi, senapati Pandawa. Perang suci ini diakhiri dengan tewasnya Duryudana di tangan Werkudara.
Sirnanya Kurawa merupakan simbol hilangnya zaman ‘jahiliah’, era berkuasanya nafsu buruk. Dengan demikian, berakhir sudah darma Kresna menegakkan hukum jagat bahwa kebaikan yang menang. Hikmahnya, kisah tersebut merupakan tuntunan hidup. Bahwa nafsu buruk akan selalu berusaha mengalahkan nafsu baik. Dan sang dalang (setiap orang) harus mampu memenangkan nafsu baik untuk mendapatkan kebahagiaan abadi. Tentu, ini perjuangan tidak gampang. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved