Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
“HOO…hooiiiii…iiiiiiiiiiii!” Tukang koba (orang yang menyanyikan koba) mengalunkan tohai (pembuka koba) pertanda dimulainya bukoba (ber-koba), dengan suara
tinggi dan napas panjang. Setelah dua kali ber-tohai, ia mulai menyanyikan kisah yang di-koba-kan, sembari tangannya melakukan pukulan pertama pada babano
(gendang sejenis kompang). Kisah pun lalu mengalir dalam alunan irama yang ditingkah tabuhan babano.
Taslim bin Fohom, 70 tahun, mengenakan baju kurung cekak musang dan berkopiah hitam. Ia bersila di atas panggung kecil. Tangan kirinya memeluk babano. Jari-jemari, kanan dan kiri, bergerak lincah memukul-mukul babano. Bunyi bertalu-talu ditingkahi bunyi gong yang menggema. Seorang lelaki muda yang duduk di sampingnya, ‘memainkan’ gong itu. Pertunjukan tradisional yang sudah ada sejak zaman dahulu ini berhasil mengikat perhatian audiens masa kini.
Koba Panglimo Awang mengalun dalam bahasa Melayu Riau dialek Rokan Hulu. Kisah perjuangan dan pelayaran Panglimo Awang dibumbui cerita cinta mendapatkan gadis pujaannya Anggun Cik Suri. Taslim bertutur dengan untaian kata yang dihiasi puisi tradisional dalam nyanyian yang diiringi pukulan gendang dan gong. Penonton pun terkesima dengan tatapan tertuju pada tukang koba.
Kisah yang sering dibawakan dalam bukoba tidak hanya kisah Panglimo Awang. Kisah lainnya, antara lain Bungu Sikuali, Siti Jailun, Puti Siindong Bulan (Dorajo), Panglimu Nayan, Ratok Si Bonsu, dan Bujang Jauh.
Kisah yang di-koba-kan merupakan cerminan sosial budaya komunitas Melayu Rokan Hulu dari zaman dahulu. Koba menjadi wadah untuk menghadirkan kehidupan
nyata dalam bentuk karya seni yang bersifat simbolik. Meskipun bersifat simbolik, masyarakat pendukung tradisi lisan ini memahami makna yang disampaikan dan merasakan fungsi tertentu dalam setiap pertunjukan koba.
Dalam kehidupan masyarakat Rokan Hulu, tradisi lisan koba berfungsi pada ranah pribadi, sosial, dan budaya. Sebagai tradisi lisan yang didengar dan dilihat oleh penonton secara bersama-sama, koba bersifat mempersatukan seluruh partisipan sehingga terbina ikatan sosial. Suasana kebersamaan yang dihasilkan dari tradisi lisan ini berdampak positif pada menguatnya ikatan batin di antara anggota masyarakat.
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa koba dijadikan sebagai sumber pengetahuan dan kebijaksanaan yang dipetik dari amanat atau pesan moral kisah-kisah yang diceritakan. Artinya, koba memiliki peran penting dalam mendidik anggota masyarakat pendukungnya untuk menjadi manusia yang lebih beradab dan berbudaya.
Secara pragmatis koba juga berfungsi sebagai wadah yang mempersatukan anggota komunitas dalam suatu ikatan emosional, yaitu ikatan budaya. Koba adalah budaya mereka yang diwarisi dari generasi ke generasi dari masa ke masa.
Persyaratan tukang koba
Siapakah yang boleh menjadi tukang koba? Pada dasarnya tidak ada larangan ataupun pantangan untuk menjadi tukang koba. Laki-laki atau perempuan diperbolehkan menjadi tukang koba, artinya tidak ada persyaratan gender. Tidak ada juga persyaratan status sosial, strata ekonomi, ataupun garis keturunan. Menurut Junaidi Syam (2011), peneliti anak jati Rokan Hulu yang memiliki ketertarikan pada kesenian koba, tukang koba harus memiliki keahlian dan kepiawaian bercerita tingkat tinggi, kemampuan berbahasa Melayu yang baik, mempunyai khazanah ilmu tentang kebudayaan Melayu dan sastra tradisional Melayu semisal pantun-pantun, nyanyian,
petatah-petitih, kekuatan ingatan, dan kecerdasan.
Mengacu pada pendapat ini dapat dikatakan bahwa persyaratan menjadi tukang koba lebih ditekankan pada kompetensi individu. Keahlian atau kepiawaian bercerita
tingkat tinggi memang harus dimiliki oleh tukang koba. Bayangkan saja, selama pertunjukan ia menjadi sentral perhatian seluruh orang yang menyaksikan pertunjukan
itu.Tentu ia harus mampu menarik dan mempertahankan perhatian audiens selama ia melakukan pertunjukan. Cerita yang hebat tidak akan berhasil mengikat
perhatian dan emosi audiens jika tukang koba tidak mampu menceritakannya dengan penuh pesona.
Kemampuan bercerita yang harus dimiliki oleh tukang koba berada pada level sangat tinggi. Kemampuan berbahasa daerah sangat signifikan dalam sebuah pertunjukan
tradisi lisan yang berpusar pada bahasa. Sebuah tradisi lisan memang tidak terlepas dari bahasa daerah yang menjadi modal utamanya. Tukang koba di Rokan Hulu harus memiliki kemampuan berbahasa Melayu yang baik. Tukang koba dituntut untuk memiliki kekayaan perbendaharaan kosakata bahasa Melayu, baik yang digunakan pada masa sekarang maupun yang arkaik. Selain itu, tentu saja ia juga diharuskan untuk mahir menyusun kata-kata menjadi kalimat yang indah, berirama, dan menarik, tetapi mudah dipahami oleh audiens.
Tukang koba mesti mempunyai khazanah ilmu tentang kebudayaan Melayu dan sastra tradisional Melayu semisal pantun-pantun, nyanyian, petatah-petitih, dan lain-lain. Satu di antara beberapa keistimewaan tradisi lisan Melayu ialah mengandung sastra tradisional yang dikemas dalam bentuk prosa atau puisi.
Hal ini menghadirkan estetika berbahasa yang tinggi dan khas Melayu. Sebagai seorang pencerita, tukang koba dihadapkan pada keharusan menguasai ilmu
pengetahuan tentang kebudayaan Melayu karena di dalam cerita itu terkandung unsur-unsur kebudayaan. Agar apa yang disampaikannya tidak tercerabut
dari latar belakangnya, tukang koba mesti memahami konteks budaya, sosial, ekonomi, dan ideologi masyarakat pendukung koba.
Hal penting lainnya yang harus dimiliki tukang koba ialah kekuatan ingatan. Kisah yang di-koba-kan biasanya sangat panjang, membutuhkan waktu yang lama
untuk menceritakannya. Taslim pernah bukoba dengan mengangkat kisah Panglimo Awang selama delapan malam. Bayangkan selama delapan malam beliau
bercerita. Tentu saja dibutuhkan ingatan yang sangat kuat untuk menghapal seluruh rangkaian cerita dan mengingat setiap detail cerita.
Persyaratan selanjutnya yang harus dimiliki oleh tukang koba ialah kecerdasan. Sebuah pertunjukan koba membutuhkan beberapa kemahiran yang secara bersamaan
difungsikan oleh tukang koba. Ia harus mengingat jalan cerita yang panjang, nama tokoh, nama tempat, dialog, petatah-petitih, ungkapan tradisional, pantun, dan lain-lain. Apalagi penceritaan itu dilakukan sambil memainkan alat musik yang mengiringi cerita, tentu saja tukang koba harus mengatur irama pukulan yang disesuaikan dengan jalan cerita. Kesulitan menjadi tukang koba ditambah dengan keharusan menguasai panggung, ‘menghipnotis’ audiens, dan mengendalikan emosi dirinya sendiri.
Ini membutuhkan tingkat kecerdasan yang tinggi.
Tukang koba memiliki kemampuan yang luar biasa. Tidak semua orang mampu menjadi seorang tukang koba. Intinya, bukan perkara mudah menjadi tukang koba. Mungkin banyak orang yang bisa melantunkan koba, tetapi belum tentu ia mampu mementaskannya dengan baik. Ada kepercayaan dalam masyarakat yang mengatakan bahwa tukang koba adalah orang pilihan yang mendapatkan anugerah kelebihan khusus yang tidak hanya semata-mata berdasarkan bakat lahir semata.
Bicara mengenai koba pasti tidak lepas dari sosok seniman sejati di Kabupaten Rokan Hulu, yaitu Taslim bin Fohom. Namanya mengangkasa ke tingkat nasional
ketika ia berhasil meraih penghargaan Maestro Seni Tradisi Indonesia Tahun 2014. Junaidi Syam mencatat tiga pementasan besar koba yang dilakoni Taslim. Pertama, tahun 1989 yang difasilitasi oleh seorang peneliti Belanda, Will Derks, di Kampung Kubumanggis. Koba Panglimo Awang pun dinyanyikan selama tiga malam atas permintaan Derks dan almarhum Al azhar (perintis Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan pernah menjadi ketua Asosiasi Tradisi Lisan Riau, Ketua Lembaga Adat Melayu Riau, dan Ketua Majelis Kerapatan Adat LAM Riau).
Sebagai peneliti Derks tidak hanya menjadi penonton setia selama tiga malam, tetapi ia mengamati, mencatat, merekam, dan juga mentranskripsikan koba yang
dinyanyikan Taslim. Setelah tiga hari pementasan koba Panglimo Awang, Taslim mengakhirinya dengan menyembelih seekor kambing sebagai syarat yang harus
dilakukan apabila telah menamatkan Panglimo Awang.
Ritual penyembelihan kambing itu disaksikan langsung oleh Derks dan masyarakat Kampung Kubumanggis. Dia sangat terkesan dengan penampilan Taslim. Ia juga sangat tertarik pada kisah yang diceritakan.
Derks pun menulis buku yang diterbitkan di Leiden pada 1994 dalam bentuk proofscript oleh Wilhemus Anna Gerardus Derks dengan judul The Feast of Story Telling (on Malay Oral Traditions). Buku setebal 737 halaman diserahkan Derks kepada Taslim di Pasirpengarayan pada 14 Januari 1994. Sebuah apresiasi yang tinggi dari seorang peneliti mancanegara kepada pelaku seni tradisi dan tukang koba.
Sejarah perjalanan koba mencapai titik tertinggi ketika dipentaskan selama delapan malam. Pementasan kali ini diser tai beberapa ritual yang diwujudkan dengan memadamkan pelita, menyembelih kambing, dan menghanyutkan balai mukun.
Pementasan malam pertama diadakan pada 9 Desember 2007 di Kampung Kubumanggis. Pementasan malam kedua dilaksanakan pada 13 Desember 2007 di Simpang Tangun. Pementasan malam ketiga pada 16 Desember 2007 di Kampungbukit, malam keempat 20 Desember 2007 di Kampung Sawah, malam kelima 23 Desember 2007 di Kampungbukit, malam keenam 27 Desember 2007 di Desa Pematangberangan, dan malam ketujuh 30 Desember 2007 di kediaman Taslim.
Rencananya, pada malam ketujuh koba Panglimo Awang ditamatkan. Akan tetapi, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, Taslim mengalami radang mulut
sehingga tidak bisa menamatkan cerita itu. Untuk menamatkan koba diperlukan tambahan satu malam lagi. Malam kedelapan dilaksanakan pada malam pergantian tahun, 31 Desember 2007, di Kampung Nogori. Dengan demikian, dibutuhkan waktu delapan malam untuk menamatkan koba Panglimo Awang yang dilaksanakan pada akhir tahun 2007 itu.
Keesokan harinya, 1 Januari 2008, menjelang subuh koba pun ditamatkan. Taslim mengeluarkan pelita yang sebelumnya diletakkan di dalam balai mukun untuk dipadamkan. Di hadapannya, kain tiga warna (hitam, merah, dan kuning) dijadikan sebagai alas pelita. Pemadaman pelita merupakan pertanda bahwa koba telah ditamatkan dengan sempurna. Ritual mengakhiri pementasan koba tidak cukup sampai di situ. Pagi hari pada 1 Januari 2008 dilangsungkan upacara menamatkan koba di tepi Sungai Batanglubuh.
Taslim dan rombongan melakukan upacara penyembelihan kambing, lalu menghanyutkan balai mukun di Sungai Batanglubuh. Dengan berbantal lima gelondong batang pisang, balai mukun dihanyutkan diiringi koba Panglimo Awang yang dinyanyikan Taslim di pinggir sungai. Sebuah ritual tradisional yang sarat pengetahuan lokal. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved