Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
TRADISI lisan di Indonesia yang menjadi bagian dari kearifan lokal mempunyai korelasi dengan kerukunan dalam berbangsa. Tradisi itu terbukti mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menjadi perekat kerukunan masyarakat di Indonesia.
Namun sering perkembangan zaman, keaslian tradisi tersebut secara perlahan mulai terancam. Dalam upaya pelestarian maupun revitalisasi dari keaslian dan kearifan budaya lokal warisan leluhur kita ini, ada beragam cara yang bisa dilakukan. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan teknologi modern, dalam bentuk media lain atau media baru audio visual seperti film dokumenter.
Alternatif itu disampaikan oleh Akademisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan praktisi film dokumenter, Gerzon R. Ayawaila dalam diskusi dwi bulanan yang diselenggarakan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bertajuk “Tarawangsa: Tradisi Ngabubur dan Ngalaksa dalam Etno Dokumenter”.
Diskusi yang dimoderatori Madia Patra Ismar selaku dosen Institut Kesenian Jakarta itu diselenggarakan di Auditorium Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (28/7).
"Masyarakat yang belum kokoh identitasnya akan mengalami degradasi budaya, dan hal nyata saat sekarang yang dengan jelas dan kongkrit dapat kita buktikan adalah terjadinya kepanikan moral diantara masyarakat, maka media audiovisual (film/video) setidaknya mampu menjadi media alternatif demi menopang atau mendukung tujuan pelestarian kearifan lokal," jelas Gerzon dalam pemaran hasil penelitian mengenai "Tarawangsa: Tradisi Ngabubur dan Ngalaksa dalam Etno Dokumenter".
Berlokasi, di Desa Pasirbiru, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, terdapat salah satu kesenian Tradisional yang bernama Tarawangsa. Kesenian ini tumbuh dari pola kehidupan bertani masyarakat Rancakalong, Kabupaten Sumedang yang berfungsi sebagai upacara ritual yang berhubungan dengan magis religius untuk menghormati Dewi Sri.
"Tarawangsa adalah salah satu alat musik tradisional masyarakat sunda, yang keberadaannya telah tertulis dalam naskah-naskah sunda kuno sejak masa kerajaan Sunda pajajaran," ungkap Gerzon.
Menurut Gerzon, alat musik ini menjadi sarana terapi untuk meningkatkan spiritualitas masyarakat Sunda. Bentuknya hampir sama dengan kecapi. Namun, alat musik yang sering digunakan untuk mengiringi upacara adat sunda ini dimainkan dengan cara digesek seperti biola.
"Tarawangsa memiliki keunikan tersendiri, baik dalam segi sejarah, fungsi, maupun pertunjukannya. Dari segi fungsi dan pertunjukan, tarawangsa di Rancakalong disajikan dalam konteks upacara ritual, salah satunya dalam upacara adat Ngalaksa," ujar Gerzon.
Upacara adat Ngalaksa ini merupakan upacara ritual yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pasirbiru Rancakalong sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan atas kesuksesan dalam memanen padi. Ritual ini menjadi simbol bentuk penghormatan terhadap padi sebagai bahan pangan utama yang telah memberikan banyak manfaat.
"Hal itu rutin dilakukan satu tahun sekali dan menjadi agenda kegiatan masyarakat. Selain upacara adat ngalaksa ada pula ritual lain yang berkaitan dengan kesenian tarawangsa yang selalu diselenggarakan oleh masyarakat Rancakalong, yaitu ritual peringatan malam satu suro (ngabubur suro)," jelas Gerzon.
Pelaksanaan Ngalaksa dipusatkan di Desa Wisata Rancakalong. Namun, setiap tahunnya dilaksanakan secara bergilir oleh rurukan-rurukan yang ada di desa- desa di Rancakalong.
Gerzon mengatakan ritual ngalaksa diawali dengan prosesi meuseul bakal, yaitu menumbuk padi diiringi pembacaan rajah yang dimulai dari subuh hingga tengah hari. Setelahnya, dilakukan dengan kegiatan mencuci beras dengan air yang ditaburi bunga laja atau combrang yang dikenal dengan acara diibakan atau digeulisan. Beras lalu dibawa dan dimasukkan ke sebuah ruangan panjang yang disebut pangineban.
"Mereka melangsungkan tradisi tersebut secara turun temurun dengan penuh suka cita. Yang menjadi daya tarik dari upacara tersebut adalah proses penghantaran padi ke lumbung oleh warga setempat sembari melakukan tarian rengkong yang diiringan musik dari Tarawangsa," katanya.
Selama 3 tahun, Gerzon melakukan studi penelitian tradisi masyarakat Sunda tersebut dengan merekam aktivitas ritual dengan menggunakan metode Etno Dokumenter. Bagi Gerzon, audiovisual bukan sekedar alat bantu akan tetapi dijadikan media utama untuk merepresentasikan seni tradisi lisan. Baginya, metode dokumenter memiliki tiga tujuan produksi, yaitu sebagai edukasi, instruksional, dan hiburan.
"Saat perekaman kegiatan ritual, saya melakukannya seorginal mungkin, tanpa melibatkan pandangan subjektifitas sebagai seniman film. Sebisa mungkin saya hanya merekam hal-hal yang menurut ketua adat di sana penting," lanjutnya.
Metode Etno Dokumenter di Indonesia telah diperkenalkan oleh Antropolog Margaret Mead bersama Gregory Bateson seorang sineas dokumenter. Keduanya menggunakan media film untuk melakukan penelitian mengenai tradisi lisan Calonarang di Bali, yang menghasilkan karya etno-dokumenter “Trance and Dance” 1942, Mead menggabungkan laporan tekstual dan data visual (foto/film).
Selain itu ada Robert Gardner yang merepresentsikan karya etno-dokumenternya berjudul “Dead Birds” 1963 melaporkan ritual perang suku Dani di Papua. Karya lain Gardner ialah “The Hunters” 1950, disini Gardner berkolaborasi dengan John Marshall, merepresentasikan kehidupan masyarakat Kung Bushmen di jasirah Kalahari, Afrika.
"Hal ini menyiratkan bahwa metodologi ini bukan hal baru bagi kegiatan kajian/penelitian budaya maupun sosial. Meski di Indonesia sendiri bahkan di negara asia tenggara lainnya, metodologi ini belum dikembangkan," jelas Gerzon.
Lebih lanjut, Gerzon berpendapat bahwa kegiatan pelestarian tradisi melalui metode etno dokumenter perlu dilakukan dengan sebuah kesungguhan idealisme. Sebab, apabila hanya mengejar proyek kegiatan budaya saja maka, pada akhirnya, materi visual kearifan lokal ini akan kehilangan makna.
"Dengan adanya metodelogi ini, sekiranya bisa bermanfaat bagi eksistensi seni tradisi sebagai filter untuk mengantisipasi serangan media global, yang terwakili melalui film-film import," pungkasnya. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved