Minggu 17 Juli 2022, 05:25 WIB

Wayang Kulit Betawi bukan sekadar Tontonan

BAMBANG WIDIATMOKO | Weekend
Wayang Kulit Betawi bukan sekadar Tontonan

DOK. BAMBANG WIDIATMOKO
Pagelaran wayang kulit Betawi.

 

Di tengah ratusan penonton, tibatiba terlihat permainan cahaya lampu warna-warni menerpa layar kelir atau kain putih untuk menangkap bayangan wayang kulit. Semakin malam, suasana semakin hangat dengan hentakan suara gendang dan irama gamelan mengiringi awal pergelaran wayang kulit Betawi yang dimainkan oleh Dalang Ki Sukarlana. Malam itu dalang berusia 56 tahun beserta Sangggar Mekar Jaya miliknya tampil di sebuah rumah penanggap atau pengundang di kawasan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Permainan cahaya lampu sengaja dibuat oleh kru teknis sanggar itu untuk memberikan kesan berbeda di tengah lesunya pertunjukan wayang kulit Betawi yang kian terpinggirkan. Padahal, wa yang sebagai salah satu bentuk tradisi lisan Indonesia sudah ditetapkan UNESCO pada 2003 sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.

Untuk mengadakan pembaruan agar tampil lebih memikat, Sanggar Mekar Jaya menambah tata panggung menggunakan sinar lampu aneka warna agar menghasilkan efek pencahayaan di kelir. Panggungnya sengaja dibagi menjadi dua bagian. Satu untuk layar dan satu bagian lagi untuk sinden. Sinden yang tampil berjumlah empat orang. Pada bagian tengah pertunjukan, biasanya mereka membuka saweran, layaknya pementasan jaipong.

Pergelaran semalam suntuk wayang kulit Betawi diiringi oleh seni suara para sinden dengan iringan gamelan Sunda yang berlaras selendro, serta ditambah suara terompet, suling, dan rebab.

Cerita dalam pergelaran wayang kulit Betawi oleh Ki Dalang Sukarlana sudah dikembangkan sesuai dengan situasi perkembangan zaman. Bahasa yang dipergunakan bahasa Betawi ‘pinggiran’ dan diselingi dengan bahasa gaul. Ditambah dengan lagu campur sari dan lagu pop yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pertunjukannya menjadikan daya tarik tersendiri bagi penonton. Selama beberapa kali mengikuti pergelarannya, penulis melihat beberapa penonton fanatik yang sudah berusia lanjut tapi selalu hadir menonton pergelaran di berbagai tempat.

Dengan cara-cara itulah pertunjukan wayang kulit Dalang Sukarlana digemari penonton. Dalang ini setiap bulannya selalu penuh menerima undangan, ter utama
saat hari ulang tahun kemerdekaan RI. “Alhamdulillah tanggapan setiap bulannya 5 atau 6 kali dan meningkat pada Agustus dan September,” katanya.

Tarif untuk menanggap pergelaran wayang kulit Betawi jika di sekitar kampung seputar Bekasi Rp7 juta-Rp8 Juta. Jika tampil di Jakarta, tarifnya Rp15 juta. Jumlah itu akan dibagi dengan penabuh gamelan, sinden, dan pekerja yang lain.

Pengaruh Mataram

Menurut Mu’jizah, peneliti utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), wayang dari Jawa masuk dalam kebudayaan Melayu Betawi diperkirakan pada tahun 1628-1629 saat prajurit Mataram datang ke Batavia. Ketika itu, para prajurit Mataram berdiam di daerah pinggiran dan merekalah yang membawa budaya wayang kulit.

Dalam sastra Melayu Betawi, cerita wayang sangat digemari. Pada awal abad ke-19, yang paling terkenal mengarang dan menyalin cerita wayang ialah Muhammad
Bakir. “Pengarang ini mencipta sekitar sembilan cerita, yakni Hikayat Asal Mula Wayang, Hikayat Gelaran Pandu Turunan Pandawa, Sair Cerita Wayang, Hikayat Agung Sakti, Hikayat Maharaja Garebeg Jagad, Lakon Jaka Sukara, Wayang Arjuna Hikayat Purusara, dan Hikayat Sempura Jawa.

“Bahkan, dalam Hikayat Purusara terdapat 30-an ilustrasi wayang kulit. Hal yang sama juga terdapat dalam Hikayat Asal Mula Wayang. Gambar-gambar itu memperlihatkan sosok wayang kulit yang dikreasi sesuai dengan imajinasi pengarang Betawi,” jelasnya.

Melihat pergelaran wayang kulit Betawi pada umumnya hampir serupa dengan wayang kulit Jawa, baik dalam bentuk fi sik maupun adegannya. Bedanya, wayang
kulit Betawi menggunakan bahasa Betawi yang bercampur bahasa Jawa dan Sunda. Hal itu dapat diketahui dari bagian awal dan beberapa bagian lain pertunjukannya. Ciri khas lainnya ialah penggunaan beberapa alat. Misalnya, toya, tongkat kayu panjang yang merupakan senjata tradisional Tiongkok, kadang-kadang muncul dalam wayang Betawi, walaupun yang menggunakan perkakas itu ialah tokoh panakawan. Dalam wayang ini peran serta penonton lebih menonjol. Antara dalang, penabuh
gamelan, dan penonton dapat menyatu menjadi kesatuan pertunjukan.

Cerita yang dilakonkan dalam wayang kulit Betawi ialah lakon carangan, yakni lakon yang dikreasi dengan bebas, tapi masih bersumber pada cerita. Cerita yang diambil ialah yang pokok-pokok saja, misalnya tokoh dan adegan-adegan tertentu. Ki Dalang Sukarlana menguasi sekitar 90 cerita, di antaranya Gatot Kaca Rurubi, Duwala Jadi Raja, dan Duwala Ketemu Jodoh.

Hingga kini wayang kulit di Betawi masih dipakai sebagai sarana ritual untuk upacara khitanan, perkawinan, maulud, bersih desa, kaulan (nazar), dan ruwatan. Dalam setiap pertunjukannya, Sanggar Mekar Jaya selalu bersemboyan ‘tontonan yang menjadi tuntunan’. Dengan cara inilah wayang Betawi mengajarkan masyarakat yang menjadi pengayomnya.

Menurut Ki Dalang Sukarlana, dalam pementasan wayang kulit Betawi ada aturan juga yang harus ditaati jika pementasan ini tidak mau gagal, yakni membuat sajen.
Sajen ini bergantung pada pertunjukannya. Sajen ruwatan lebih lengkap daripada sajen untuk pentas hiburan.

Untuk pementasan hiburan, sajennya lebih sederhana, hanya berupa dupa, kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, limun, dan kue. Namun, jika untuk ruwatan,
sajen yang dibuat harus lengkap. Alat-alat sajen bergantung pada jenis kelamin yang diruwat. Jika perempuan, sajen utamanya kipas, bakul, dandang, peralatan masak, dan seperangkat alatalat kecantikan.

“Kalau laki-laki, perlengkapan ritualnya seperti cangkul, alat-alat tani, dan golok. Sajen wajib lainnya antara lain kelapa muda, telur ayam matang, telur ayam mentah, ayam bekakak, ayam hidup, daging mentah dan matang, panggang lele, panggang gabus, tumpeng, serta bubur merah dan putih.”

Menurut Ki Dalang Sukarlana yang juga koordinator pertunjukan wayang Betawi di Museum Wayang, di Jakarta masih ada sekitar 30-an dalang. Sebagian mereka sudah
lanjut usia. Mereka tinggal di daerah pinggiran atau daerah penyangga Jakarta, seperti Tangerang, Depok, dan yang terbanyak di Bekasi sekitar Tambun. “Di antara
mereka ada Niin, Neran di Cibubur, Oking dan Komplong di Munjul, Asmat di Cijantung, Saan dan Bonang di Jagakarsa, Marzuki dan Rindo di Cakung,” ujarnya
menyebut beberapa nama.

Dalang-dalang ini, menurut Sukarlana, mempunyai keahlian yang diwarisi secara turun-temurun, pengetahuan keluarga yang bisa lebih dari empat generasi. Saat ini Dalang Sukarlana mulai menurunkan keahlian mendalangnya kepada anaknya, Karjan Sukarlana. Cara semacam ini menjadi ciri utama dalam pewarisan pengetahuan tradisional meskipun diragukan efektivitasnya. (M-4)

Baca Juga

123RF

Tips Memilih Tabir Surya Terbaik Untuk Eksim, Menurut Ahli Dermatologi

👤Nike Amelia Sari 🕔Kamis 08 Juni 2023, 22:37 WIB
Memiliki kulit yang rentan terhadap eksim harus berhati-hati memilih produk perawatan kulit agar kondisi eksim tidak semakin...
MI/Fathurrozak

Dunia Alternatif Syakieb Sungkar

👤Fathurrozak 🕔Kamis 08 Juni 2023, 17:00 WIB
Dalam pameran tunggal Syakieb Sungkar bertajuk Dreams, ia banyak menunjukkan potret mimpi tentang dunia baru alternatifnya lewat lukisan...
Dok. Paramount Pictures.

Rivalitas Abadi Kebaikan VS Kejahatan di Dunia Robot

👤Fathurrozak 🕔Kamis 08 Juni 2023, 15:48 WIB
Seteru antara ‘robot baik’ vs ‘robot jahat’ yang telah berlangsung selama berabad-abad itu kembali muncul dan kini...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya