Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
AWALNYA hening. Kemudian berlahan petikan sape mulai terdengar berdenting. Kancet Menyelama Sakai pun bermula. Sekelompok anak usia belasan berjalan memasuki altar ruang dengan berlahan. Mereka menggunakan busana khas Dayak. Hentakan kaki beritis. Semua bergerak mengikuti irama musik. Denting berpadu dengan lambaian lembut tangan para anak penari. Lemah gemulai mereka bergerak, tetapi tetap anggun dengan hiasan dari bulu burung di tangan. Hentakan
kaki, lambaian tangan, dan goyangan badan. Tiga itulah yang menjadi khas dari tarian Menyelama Sakai.
Mereka berbusana seragam. Tidak ada beda. Motif berlajur dan berjulur menjadi ciri yang mencolok mata. Mereka memakai busana tradisional adat Dayak yang terdiri dari sape kancet dan ta’a. Sape kancet merupakan atasan berbentuk serupa rompi tanpa penutup lengan, sedangkan ta’a adalah semacam rok sebawah lutut. Keduanya memakai dasaran warna hitam dan banyak hiasan manik-manik.
Menyelama Sakai dalam bahasa Dayak Kenyah berarti penyambutan tamu, sedangkan kancet dapat dipahami sebagai tari. Dengan demikian, jalinan arti dari ketiganya ialah tari penyambutan para tamu. Saat itu, tarian itu ditujukan untuk menyambut para tamu yang sedang menghadiri upacara adat uman undrat atau pesta panen di Desa Budaya Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, pada 21 Mei 2016. Tarian tersebut dilakukan segera setelah para tamu memasuki ruang lamin adat.
Lintas generasi
Tari ini boleh dilakukan semua orang. Sebab itulah para penari pun berasal dari ragam usia berbeda. Menariknya, di barisan paling belakang, beberapa anak yang masih usia balita pun berturut menari. Gerakan anakanak balita itu hanya terkesan ala kadarnya. Tidak seperti senior mereka yang mampu menyelaraskan hentak kaki dan lambai tangan dengan musik pengiring. Namun, itulah yang menjadikan tarian ini begitu punya nyawa dan punya rasa. Sebab mereka adalah
ahli waris budaya.
Mereka ialah generasi penerima tongkat estafet selanjutnya agar tarian tersebut tidak hilang seiring para generasi tua yang mulai merenta. “Kalau itu (tarian), semua bisa. Itu untuk menyambut para tamu,” terang Ismail Lahang, Kepala Adat Desa Budaya Lung Anai. Biasanya tarian ini dilakukan pada saat tamu/undangan terhormat datang berkunjung ke desa. Tarian tersebut dilakukan dengan gerak yang gemulai.
Itu sebagai tanda dan isyarat atas kelemah-lembutan hati warga dalam menerima kehadiran para tamu. Tarian itu ditarikan dengan gerak ritmis dan gemulai. Lambaian tangan dan goyangan pinggul, semua mengikut bunyian pengiring. Suara merdu muncul dari alat musik tradisional yakni sampek ikeng dan jatung utang. Beberapa pemusik menempati ruang
tersendiri di sisi pojok lamin adat. Sampek ikeng dibuat dari kayu bayur atau kayu kidaw. Bentuknya yang mirip gitar. Alat musik itu sering disebut dengan gitar Dayak.
Jatung utang berbentuk mirip dengan saron dalam gamelan. Bedanya, jika saron menggunakan logam sebagai sumber suara, jatung utang menggunakan kayu. Pemukulnya dibuat dari kayu yang diikat karet pada ujungnya. Lempengan kayu dipotong dan dibentuk dengan berbeda tebal dan berlain panjang. Potongan tersebut lalu ditata berjajar. Ketika kayu beradu dengan pemukul, akan menghasilkan nada yang berlainan satu sama lain.
Namun, tarian indah dan nilai luhur itu hanya akan tinggal cerita jika desa budaya hanya dimaksudkan sebagai produk budaya, jika desa budaya bukan diterapkan dalam kerangka nilai budaya maupun siklus kehidupan. Saat ini, masyarakat Desa Lung Anai masih berjibaku untuk mempertahankan sistem tradisi perladangan mereka. Sebab dua warga mereka sampai saat ini masih ditahan atas tuduhan pembakaran hutan.
“Sampai saat ini dua warga kita masih ditahan,” ujar Uluk yang menjabat sebagai Kepala Desa Lung Anai. Mereka patut berteriak tatkala mereka hanya dihargai dalam bentuk budaya mati. Mereka takut jika hanya tarian yang dipertimbangkan sebagai budaya. Sementara itu, siklus budaya dan siklus hidup mereka tidak dimasukkan ke kerangka desa budaya. Bagaimana mungkin upacara uman udrat (pesta panen) digelar, sedang mereka tidak bisa bercocok tanam? Saat ini, mereka juga berada dalam pembinaan para pemerhati sosial dari Desantara dan Kemitraan yang berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (Abdillah M Marzuqi/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved