Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Dharma Setya­wan: Sulap Lahan Bambu Menjadi Pasar Kreatif

Nike Amelia Sari
20/2/2022 05:05
Dharma Setya­wan: Sulap Lahan Bambu Menjadi Pasar Kreatif
Dharma Setya­wan(MI/SUMARYANTO BRONTO)

                                     

DIBIARKAN terbengkalai atau malah menjadi tempat pembuangan sampah liar, begitulah kebanyakan nasib lahan bambu di Tanah Air. Akibatnya, tanaman bambu yang semestinya memiliki fungsi ekosistem sebagai penjernih air semakin tersisihkan.

Pemandangan serupa juga terjadi di Yusomulyo, Kota Metro, Lampung, sampai gebrakan yang terjadi 28 Oktober 2018. Gebrakan itu ialah pemanfaatan lahan bambu yang terbengkalai menjadi pasar kreatif bernama  Payungi (Pasar Yosomulyo Pelangi).

Gebrakan itu diinisiasi Dharma Setya­wan. Tidak bergerak sendiri, Dharma mengajak warga setempat untuk bergo­tong-royong membersihkan lahan dari sampah untuk mereka sulap menjadi pasar yang buka hari minggu pagi. Kegiatan mereka kemudian ditutup dengan membersihkan kembali lahan itu pada minggu sore.

Lewat pasar itu para ibu dapat menjual aneka kuliner buatan mereka. Di gelaran pertama Payungi, kegiatan itu sudah sukses dan meraih omzet Rp16 juta rupiah. Seiring waktu, gaung Payungi semakin meluas hingga pengunjung dapat mencapai 2000 orang di tiap gelaran dan berasal dari berbagai daerah. Omzet pun melesat menjadi Rp40 juta-Rp50 juta rupiah.

“Pasar kreatif itu pasar di tengah kampung yang dibuat oleh warga secara gotong royong. Yosomulyo ialah kelurahannya. Kita akronimkan Payungi karena pedagangnya pake payung,” ujarnya saat menjadi bintang tamu Kick Andy bertajuk Mendulang Emas di Kampung Sendiri yang tayang Minggu (20/2).

Dharma yang berasal dari Dam Raman, sebuah kawasan di perbatasan Lampung Tengah, Metro, dan Lampung Timur, memang memiliki pengalaman membuat gerakan komunitas saat di kampungnya. Di sana ia pernah membuat wisata alam.

Saat tinggal di Yusomulyo, gerakan pertamanya ialah membuat mural tembok bersama dengan para mahasiswa dan komunitas remaja masjid membuat mural di tembok-tembok. “Tembok itu sebenarnya membatasi interaksi, tetapi setelah diwarnai orang saling menyapa,” ungkapnya soal aksi yang dibuat pada Mei 2018 itu.

Setelah enam bulan mewarnai tembok, barulah lelaki yang berprofesi sebagai dosen ini mengemukakan ide membuat pasar kreatif di lahan bambu. Ide ini juga disambut oleh ketua musala.

“Kami mengumpulkan emak-emak, kemudian kami ajak bikin pasar kemudian tidak ada yang percaya. Saya melihat problem pertama modal. Kedua ialah dengan apa mempromosikan. Ketiga, kalau tidak laku, siapa yang nanggung modalnya,” kenangnya.

Kas musala

Bapak ketua musala, lagi-lagi, menjadi sosok yang amat berjasa. Ia membantu mengatasi per­soal­an permodalan pasar itu dengan meminjamkan uang kas musala sebesar Rp15 juta.
Dharma dan bapak ketua musala sama-sama bersedia memikul tanggung jawab mengganti uang kas itu jika pasar gagal. Uang kas itu kemudian dapat mereka lunasi setelah 10 kali gelaran Payungi.

Lewat Payungi, para ibu bisa membantu pendapatan keluarga, bahkan memiliki pendapatan yang melebihi suami. “Emak-emak ini sebelum gelaran sedekah makanan kepada suami mereka yang notabene suami mereka penjaga parkir. Setelah gelaran mereka infak ke musala,” tuturnya. Dengan infak para ibu pula, pembangunan musala menjadi lebih bagus.

Dengan begitu, pasar kreatif memberi dampak imbal yang positif terhadap musala, bukan sekadar menjadi kegiatan yang pasif dibantu.

Dharma mengatakan perlu kreativitas dan optimisme dari warga untuk pengembangan pasar kreatif. Seluruh potensi bisa diberdayakan seperti lahan kosong dan ide kreatif.
Kini Payungi telah mengembangkan kegiatan lewat berbagai program, seperti Pesantren Wirausaha, Payungi University, Kampung Bahasa Payungi, Women and Environment Studies (WES), Kampung Kopi, hingga Rumah Anak Payungi.

“Satu tahun setelah Payungi berdiri, kami bikin sekolah desa, kita naungi sebagai Payungi University. Ada anak-anak muda yang datang ke kampung kami nginep dua hari satu malam kemudian belajar teknis enam materi (seperti) social mapping, ruang kreatif,” paparnya.

Istri Dharma yang juga seorang dosen turut andil dalam program Women and Environment Studies (WES), yang menjadi ruang ramah untuk perempuan. Melalui WES diharapkan selain perempuan mampu berdaya dan peduli pada lingkungan, juga mendapatkan ruang aman untuk berkarya. (M-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik