Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
DIBIARKAN terbengkalai atau malah jadi tempat pembuangan sampah liar, begitulah kebanyakan nasib lahan bambu di Tanah Air. Akibatnya, tanaman bambu yang semestinya memiliki fungsi ekosistem sebagai penjernih air semakin tersisihkan.
Pemandangan serupa juga terjadi di Yusomulyo, Kota Metro, Lampung, sampai gebrakan yang terjadi 28 Oktober 2018. Gebrakan itu adalah pemanfaatan lahan bambu yang terbengkalai menjadi pasar kreatif bernama Payungi (Pasar Yosomulyo Pelangi).
Gebrakan itu diinisiasi Dharma Setyawan. Tidak bergerak sendiri, Dharma mengajak warga setempat untuk bergotong royong membersihkan lahan dari sampah guna mereka sulap menjadi pasar yang buka setiap Minggu pagi. Kegiatan mereka kemudian ditutup dengan membersihkan kembali lahan itu pada Minggu sore.
Lewat pasar itu para ibu dapat menjual aneka kuliner buatan mereka. Di gelaran pertama Payungi, kegiatan itu sudah sukses dan meraih omzet Rp16 juta. Seiring waktu, gaung Payungi semakin meluas hingga pengunjung dapat mencapai 2.000 orang di tiap gelaran dan berasal dari berbagai daerah. Omzet pun melesat menjadi Rp40 juta-Rp50 juta.
“Pasar kreatif itu pasar di tengah kampung yang dibuat oleh warga secara gotong royong. Yosomulyo adalah kelurahannya. Kita akronimkan Payungi karena pedagangnya pakai payung,” ujar Dharma saat menjadi bintang tamu Kick Andy bertajuk Mendulang Emas di Kampung Sendiri yang tayang Minggu (6/2).
Dharma yang berasal dari Dam Raman, sebuah kawasan di perbatasan Lampung Tengah, Metro, dan Lampung Timur, memang memiliki pengalaman membuat gerakan komunitas saat di kampungnya. Di sana ia pernah membuat wisata alam.
Saat tinggal di Yusomulyo, gerakan pertamanya ialah membuat mural di tembok-tembok bersama dengan para mahasiswa dan komunitas remaja masjid. “Tembok itu sebenarnya membatasi interaksi, tetapi setelah diwarnai, orang saling menyapa,” ungkapnya soal aksi yang dibuat pada Mei 2018 itu.
Setelah enam bulan mewarnai tembok, barulah lelaki yang berprofesi sebagai dosen ini mengemukakan ide membuat pasar kreatif di lahan bambu. Ide ini juga disambut oleh ketua musala yang bahkan kemudian membantu mengatasi persoalan permodalan pasar itu dengan meminjamkan uang kas musala sebesar Rp15 juta.
Dharma dan bapak ketua musala sama-sama bersedia memikul tanggung jawab mengganti uang kas itu jika pasar gagal. Uang kas itu kemudian dapat mereka lunasi setelah 10 kali gelaran Payungi.
Lewat Payungi, para ibu bisa membantu pendapatan keluarga, bahkan memiliki pendapatan yang melebihi suami. Kini Payungi telah mengembangkan kegiatan lewat berbagai program seperti Pesantren Wirausaha, Payungi University, Kampung Bahasa Payungi, Women and Environment Studies (WES), Kampung Kopi, hingga Rumah Anak Payungi.
Istri Dharma yang juga seorang dosen turut andil dalam program Women and Environment Studies (WES), yang menjadi ruang ramah untuk perempuan. Melalui WES diharapkan, selain mampu berdaya dan peduli pada lingkungan, perempuan juga mendapatkan ruang aman untuk berkarya.
Bagi Dharma, pasar kreatif bukan melihat pada keuntungan semata, tapi juga mengembalikan kembali budaya gotong royong, semangat merawat tradisi, dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk meningkatkan perekonomian. (*/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved