Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
TAHUN ini, seniman Melati Suryodarmo yang bergiat di disiplin seni performa mendapat Bonnefanten Award for Contemporary Art 2022, penghargaan dari Museum Bonnefanten, Belanda. Itu merupakan penghargaan internasional terpenting dari Belanda untuk seniman dari berbagai wilayah geografis dunia. Melati ialah penerima kesebelas.
Praktik kesenian Mbak Mel, sapaan akrabnya, mencerminkan gagasan dan latar belakangnya. Menggunakan tubuhnya, ia berkesenian untuk membuat pernyataan politis, walaupun tidak melulu soal politik. Hal itu jua tampak dalam pameran tunggal terbarunya, Why Let The Chicken Run?, di Museum Macan, Jakarta.
Media Indonesia berbincang dengan Mbak Mel terkait perkembangan seni performa di Indonesia, peran seni ini sebagai penggerak perubahan, serta bagaimana pandangannya soal ekosistem kesenian di Indonesia. Berikut petikan wawancara dengan Mbak Mel melalui konferensi video pada Rabu (10/11).
Di pameran tunggal Anda di Museum Macan, Anda menampilkan beberapa seni performa seperti Ale Lino (2003) dan Transaction of Hollows. Bagaimana kontekstualisasi karya tersebut pada saat ini?
Kita berbicara berawal dari proses penciptaannya. Bagi saya, seni performa merupakan bentuk seni yang menggunakan tubuh dan memerlukan kesatuan antara kesadaran dan laku (perjalanan hidup). Termasuk melihat realitas fenomena yang muncul.
Biasanya, dalam penciptaan, saya tidak muluk-muluk. Bikin karya tidak menggunakan teori atau mengangkat isu tertentu. Tapi, kalau dalam istilah di Jawa itu, nyawang kahanan. Kahanan ini kan relevan. Ada kahanan-kahanan yang sangat berhubungan dengan perjalanan manusia, besar dan kecil. Misal kahanan besar itu kasunyatan, bahwa saya orang Indonesia, seorang perempuan, dan tinggal di Solo.
Pada prinsipnya, saya mencoba melakukan laku berdasarkan kesadaran itu. Misal, munculnya tema di Transaction of Hollows, ketika pada 2016-2017 saya tertarik pada gagasan tentang hasrat manusia atas sesuatu yang lebih. Hasrat terhadap keduniawian, kekuasaan, terhadap mencapai suatu impian.
Kalau dilacak dari sejarah peradaban, memanah itu kan suatu kegiatan yang sangat prehistoric, purba, dalam upaya mempertahankan hidup. Itu jadi suatu simbol bagi saya untuk menggambarkan bagaimana manusia selalu ingin mencapai dan memiliki sasaran yang lebih dari apa yang dia miliki. Memang itu bukan suatu yang selalu negatif, ya. Itu naturnya manusia, tapi bagaimana cara mengendalikannya.
Karya-karya Anda bersandar pada laku dan kahanan. Apa publik juga bisa melakukan reinterpretasi atas tiap karya yang ditampilkan?
Ketika saya memilih tema dan bagaimana eksekusi dalam karya, saya melihat bagaimana pembahasannya tetap hidup. Jadi, saya kira sampai kapan pun aksi memanah itu akan (bertahan) tetap cukup lama. Kecuali kita sudah dianggap purbanya milenial, tidak akan kenal anak panah dan busur. Tapi, sampai ke sana masih jauh. Jadi menurutku justru itu, aku ingin menghargai publik dengan bawaan zaman orang itu berada.
Maka, bahasa buat saya penting. Antara bahasa aksi dan bahasa alamnya tubuh manusia. Kahanan itu memang berubah-ubah. Tapi, kahanan yang jadi karakter dalam manusia, rasanya dari abad Syailendra sampai sekarang ceritanya juga masih terulang terus.
Anda boleh dibilang ‘orang lama’ di seni performa dan hingga kini masih aktif. Bagaimana Anda melihat regenerasi pada cabang seni ini?
Di Indonesia, seni perfoma sudah diakui oleh pemerintah, masuk jadi salah satu genre yang serius di skema pendidikan dan profesi. Pemerintah kita hebat, ya, memasukkan seni performa pada fondasi pendidikan seni rupa. Jadi, justru saya ingin memelopori dari situ.
Nah, tapi saya mempertanyakan, berani tidak sekolah-sekolah seni buka jurusan seni performa? Sudah ada nomenklatur dan diakui pemerintah. Tinggal bagaimana praktisi lain menyadari ini bukan lagi dianggap seni pinggiran.
Mungkin dianggap pinggiran karena ada campur tangan asumsi masyarakat yang masih terbatas tentang seni performa, yang masih dianggap tidak bisa dikomodifikasikan. Tapi, ya tidak begitu juga, seni performa juga harus bisa hidup. Akankah sangat tidak adil, seniman tidak boleh mengomodifikasi seni performa? Cuma tentu ada etika yang berbeda. Cara karya seni rupa, patung, fotografi, video untuk dikoleksikan berbeda. Begitu juga dengan seni performa.
Salah satu faktornya karena masih terbatasnya seni performa hadir di institusi pendidikan formal?
Sebenarnya di Eropa sana juga tidak semua sekolah seni memiliki jurusan seni performa. Justru kekuatannya ada di situ. Seni performa bisa dijalinkan dan dikolaborasikan dengan genre lain.
Seni performa banyak diadaptasikan dan dikolaborasikan dengan praktik seni seperti koreografi tari, teater kontemporer. Saya juga mengajar seni performa di negara lain, dan di studio saya, Studio Plesungan di Solo. Bahwa seni performa itu bukanlah seni yang menakutkan, dalam arti seni yang harus ekstrem menggunakan tubuh atau yang protes terhadap situasi politik dan lingkungan, atau yang aksinya harus interaktif. Tidak sebatas itu saja.
Di Indonesia, sudah luar biasa ya walau seni performa itu tergolong baru. Belum ada 40 tahun. Mungkin dulu pada medio 70-an disebutnya eksplorasi, medio 80-an disebutnya seni eksperimental, lalu berlanjut.
Hanya, saat ini seni performa juga sudah menyentuh ke ranah pemikiran anak-anak muda. Dengan cara ada yang belajar filsafat, misalnya. Bayangkan, 30 tahun lalu tidak banyak orang tertarik pada filsafat. Sekarang jadi semacam tren karena ada kebutuhan untuk mencari sesuatu, dengan jalan berbeda, untuk memahami realitas. Perangkat semacam itu penting sekali masuk ke ranah populer. Tidak harus masuk ke perguruan tinggi.
Menggunakan filsafat sebagai perangkat yang bisa dijadikan untuk memahami kehidupan dengan cara yang berbedabeda, atau menerima perbedaan itu. Di situ, mungkin sebentar lagi ranah daya pikir generasi muda Indonesia akan bisa melihat atau menerima seni performa itu seperti apa, seni yang dilihat dengan cara berbeda. Tidak lagi mengutamakan seni itu harus indah. Jadi ketika ada perluasan wacana tentang bagaimana melihat kehidupan, mungkin akan ada perluasan bagaimana melihat karya seni.
Sebagai praktisi yang juga kerap menjadi dosen tamu, menurut Anda bagaimana keilmuan seni pertunjukan harus beradaptasi dengan era digitalisasi ini?
Kalau bicara soal alih wahana dan sebagainya, itu sebenarnya sudah lama, ya. Kalau paham betul bagaimana seni performa itu, misalnya pada kurun 60-an hingga 70-an ada seni media, seni instalasi. Seperti TV Cello (1976) karya Nam June Paik, dia buat televisi yang dikonstruksi seperti selo, ada stringnya, dan dimainkan oleh pemain selo.
Ada karya film eksperimental yang protagonisnya melakukan performa. Ada juga yang menggunakan instalasi ruang dan suara, dan lain-lain. Jadi secara sejarahnya bukan baru.
Alih wahana saat ini dilakukan karena urgensinya di masa pandemi. Yang biasanya di panggung, istirahat untuk sementara. Dialihkan misal tari jadi ke film tari. Walau itu juga sudah lama sekali sejarahnya, ya, medio 40-an hingga 50-an sudah ada. Ada dokumentasi tari eksperimental (Mary) Wingman.
Artinya kita ini dikembalikan untuk mengurutkan sejarah dengan kecanggihan media digital yang sekarang ada. Secara sejarah, gambar dan media itu sudah cukup lama. Kadang itu yang kita lupa. Kalau lupa, bagaimana mau memahami sejarah estetika yang terkait? Seringnya latah menggunakan teknologi digital seolah itu baru sekarang, atau selalu mengejar yang terbaru terkait tren dan tekniknya. Bahwa melihat gambar bergerak (moving image) dalam seni media itu juga selayaknya harus dibekali dengan pemahaman sejarah media tersebut.
Dua tahun ini, praktis hampir dari banyak seniman berpindah dari panggung ke layar virtual akibat pandemi. Impaknya terhadap seni performa secara khusus?
Semua seniman yang menggunakan tubuh, terutama yang tampil di panggung, tentu merasakan dampak pandemi ini. Tapi juga ada hikmah sebenarnya. Tiba-tiba kita diajak untuk sadar konteks tentang ruang, hubungan antarmanusia, dengan alam.
Di seni performa, interaksi bisa bermacam-macam. Bukan saja yang partisipatif. Ada interaksi rasa, pikiran, dan keberadaan. Seni performa adalah seni yang mengutamakan hubungan antara tubuh, ruang, dan elemen waktu. Maka di ruang itu yang kemudian elemen tubuh hadir, dihilangkan dalam alih wahana. Dan tentu akan menghadirkan pengalaman berbeda. Seni performa itu memang untuk yang live performance. Yang video ya sudah disebutnya performative video, tidak bisa dipaksakan.
Apa yang terjadi saat ini, hanya sekadar sementara. Alih wahana karena pandemi justru menantang, yang biasanya mengandalkan pertunjukan langsung lalu menerjemahkan dalam bentuk dokumentasi. Tentunya pengalaman tentang yang sebenarnya bagaimana penyanyi menyanyi di panggung live, misalnya, pasti berbeda dengan yang didengar dari tv atau laptop. Itu tergantung dari perangkat dan jaringan yang digunakan, dan itu juga pasti sudah tereduksi. Persoalan reduksi ini, ada penurunan kualitas. Bukan kualitas senimannya, ya, tapi kualitas delivery-nya. Pasti tidak komplet.
Seberapa penting seni pertunjukan sebagai bagian motor budaya atau perubahan dan isu-isu sosial?
Saya kira semua seni mempunyai agensi. Jadi agensi kesenian itu kan sebenarnya berada pada melihat perubahan itu dengan cara berbeda. Seni beragensi menawarkan pemikiran untuk melihat perubahan dan fenomena sosial.
Di seni performa jelas sangat dekat bagaimana dia beragensi untuk menawarkan pemikiran melihat perubahan tersebut. Praktik saya sendiri mempertimbangkan perubahan sangat penting. Karena bahkan di dalam performa saya lakukan adalah proses.
Proses itu akan terkompletkan atau terpenuhi setahap demi setahap, yang dipertunjukkan secara langsung, yang dialami baik oleh saya maupun penonton. Suatu proses perubahan dalam ranah kesenian jarang diangkat di seni kontemporer. Tapi, di seni tradisi, justru banyak. Itu yang penting. Misal menyaksikan tari bedhoyo yang berjam-jam itu, dalam kepelanan dan durasi panjang itu ada ruang untuk proses.
Terkadang, anak muda melihatnya ‘apa ini ya, kok lama’. Menganggapnya performa harus yang wah, aksi politik melawan rezim. Memang sejarah di Indonesia seni performa ada untuk perlawanan rezim, bentuk aksi protes terhadap kekuasaan. Tapi, kenapa juga tidak protes terhadap diri sendiri juga. Itu yang saya pikir, memahami politik tidak hanya sebelah mata, tapi juga melihat praktik kesenian.
Jadi juga ada semacam mispersepsi tentang seni performa yang dipahami cuma ada satu bahasa oleh generasi saat ini?
Karena kurangnya pelaku seni performa. Saya tidak menyalahkan, ya. Jadi semua cara pandang itu melekat pada bagaimana perkembangan masyarakat, sosiokulturalnya yang terkonstruksi. Tidak apa-apa. Justru karena memang pemahaman seni performa itu sendiri juga masih minim, karena ini bukan teater, bukan tari. Ini bukan akting. Ini adalah seni aksi. Seni tindakan, sejanggal apa pun istilahnya, saya bisa menerjemahkan seni performa itu seni tindakan, seni laku. Belum secara umum juga dipahami bahwa aksinya itu tidak harus yang demonstratif. Tidak harus yang membawa tubuh pada limitnya belaka. Tapi melakukan suatu aksi yang membawa tubuh pada batasnya itu juga karena punya motivasi yang sangat politis.
Maksudnya motivasi politis?
Saya menggunakan tubuh saja di seni performa sudah sangat politis. Bagaimana tidak? Karena melihat penyisihan atau diskriminasi tubuh perempuan, ‘wah udah tua kok masih saja tampil, pede banget’. Kelihatannya sederhana, tetapi di situ ada kritik yang sangat berat. Menganggap harus ada penyisihan tubuh. Apa pun agensi kita, mesti disadari, baik di teater atau di seni yang menggunakan tubuh, itu sangat politis. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved