Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Kemasan Horor tentang Eksploitasi Perempuan di film Last Night in Soho

Fathurrozak
04/11/2021 15:00
Kemasan Horor tentang Eksploitasi Perempuan di film Last Night in Soho
Film Last Night in Soho yang diperankan Thomasin McKenzie.(Instagram @lastnightinsohomovie)

ELOUISE (Thomasin McKenzie) adalah gen z yang justru terjebak pada segala kultur pop 60-an, mulai dari fesyen hingga musik. Suatu ketika, bocah dari suatu dusun di Inggris itu itu hijrah ke London, untuk kuliah mode. Gegar budaya dan realita, seketika menyergap.

Begitulah penggalan film terbaru Edgar Wright, Last Night in Soho. Sejak babak pertama, film ini telah menunjukkan klangenan (kegemaran) pada kultur pop era 60-an. Namun tidak sekadar puja-puji budaya 60-an, Wright juga menunjukkan kebobrokan sosial lewat film bergenre horor psikologis ini.

Menyukai perancangan busana, Elouise yang ditinggal mati ibunya saat usia tujuh tahun, pergi ke London untuk mengejar mimpi di bidang itu. Sebuah cita-cita yang juga menjadi impian sang nenek dan almarhumah ibunya. 

Baru beberapa jam tiba di London, Eloise atau akrab disapa Ellie sudah mengalami sederet pengalaman tidak enak, termasuk komentar seksis dari si sopir taksi dan perlakuan buruk rekan seasrama. Ia pun memilih pindah ke indekos antik milik Nyonya Collins (Diana Rigg).

Bukan semata kepincut akan gaya lawas kamar di indekos antik itu, Ellie juga mengalami fantasi aneh, seperti bermimpi ia berkunjung ke sebuah kelab malam era 60-an, dan bertemu dengan sosok Sandie (Anya Taylor-Joy). Awalnya, Ellie menikmati fantasi-fantasi itu, bahkan ‘mencontek’ tugas desain fesyennya dari gaun yang dikenakan Sandie yang ia lihat dalam mimpi.

Hingga suatu saat Ellie menemukan kekelaman realitas Sandie, yang dieksploitasi oleh manajernya, Jack (Matt Smith). Sejak itu pula kemudian Ellie menjadi makin sensitif pada fantasi-fantasi yang muncul di mimpinya yang muncul ke permukaan realitasnya.


Industri Toksik
Last Night in Soho adalah film Edgar Wright yang pertama kali menaruh perempuan sebagai aktor utamanya. Ditulis bersama Krysty Wilson-Cairns (1917), film ini punya lapisan tentang bagaimana potret perempuan dalam pusaran industri yang beracun (toksik).

Wright bukan cuma memberi setting 60-an sebagai klangenan, tetapi juga bagaimana industri pada ketika itu sangatlah tidak ramah pada perempuan. Sandie dijadikan ‘komoditas’ oleh Jack di bawah sorot lampu industri hiburan. Wright juga menyoroti kondisi Sandie yang menjadi korban dari para lelaki hidung belang. 

Di sisi lain, Ellie, yang punya riwayat ibunya menderita sakit mental dan bunuh diri juga turut menjadi sorotan. Dari segi akting, kedalaman McKenzie menampilkan sosok anak muda dusun yang tertekan oleh kehidupan urban dan teror masa lalu cukup membawa penonton untuk hanyut dalam kengerian fantasi mimpinya. 

Akting Diana Rigg di film penutup karirnya ini juga ciamik. Rigg cukup sukses menampilkan ibu kos yang mengalami polarisasi karakter. 

Sebagai sutradara, Wright cukup apik dalam meramu Last Night in Soho dengan humor dan tata produksi yang rapi dan bergaya. Kemasan ala zombie Shaun of The Dead (2004) yang menaruh setan-setan di antara warna-warni di dalam filmnya juga cukup memberikan dimensi horor. Begitu juga cipratan-cipratan darah di bagian jelang akhir. 

Namun adegan-adegan itu terasa sekadar 'hiasan' horor yang mengaburkan isu pokok film tersebut. Penggalian film ini tentang korelasi isu Sandie dan Ellie, masih sebatas permukaan. 

Plot twist yang ditaruh oleh Wright di belakang, juga tidak membuat efek mengejutkan. Secara keseluruhan, film yang tayang di Indonesia mulai 3 November ini cukup menjadi film horor yang menghibur namun belum solid menampilkan isu eksploitasi perempuan di industri hiburan. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Bintang Krisanti
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik