Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Kamera Ponsel Mencipta Ruang Estetika Baru Sinema

Fathurrozak
23/10/2021 08:00
Kamera Ponsel Mencipta Ruang Estetika Baru Sinema
Suasana syuting oleh Jay Subiakto (kiri), Riri Riza (kanan atas), dan Garin Nugroho (kanan bawah).(OPPO Indonesia )

Beberapa sineas baik internasional maupun dalam negeri beberapa tahun belakangan mulai mengeksplorasi kekaryaan mereka dengan ponsel pintar.

Pada 2020, sutradara La La Land Damien Chazelle memproduksi sinema vertikal The Stunt Double. Kerja sama komersial dengan produk Apple itu ia tuangkan di film pendek dengan format vertikal yang berkisah tentang seorang pemeran pengganti dari masa ke masa.

Eksplorasi sinema lewat ponsel pintar belakangan juga dilakukan oleh para sineas Indonesia. Angga Dwimas Sasongko, misalnya. Tahun lalu, ia digandeng Huawei untuk menggarap film pendek Menanti Keajaiban. Angga juga menguji coba ponsel Samsung dengan mengkreasi film laga berjudul Konfabulasi. 

Terbaru adalah Garin Nugroho, Jay Subiakto, dan Riri Riza yang digandeng Oppo untuk menuangkan ide dan gagasan mereka dengan merekam adegan lewat gawai seri Find X3 Pro.

Dari ketiganya, hanya Garin yang menggunakan format vertikal lewat film tari Siklus yang diperankan Aghniny Haque. 

Sementara Jay dan Riri, masih menggunakan format seperti layaknya menggunakan kamera yang mereka gunakan untuk merekam adegan dalam film panjang maupun pendek konvensional. Jay bereksplorasi dengan menggunakan setidaknya lima ponsel yang ia rakit dengan rigging untuk mendapat top angle. Lewat film Dedari, film pendek yang merekam ritual tolak bala masyarakat Bali, tidak ada pengulangan adegan, alias semacam one take shot Tapi dengan beberapa kamera sekaligus.

Riri, dengan You and Me in Low Angle, mencoba mengeksplorasi film pendek dengan pendekatan yang masih konvensional tapi ia bermain-main dengan sudut pengambilan gambar yang secara komposisi didominasi sudut rendah yang menjadi bagian dari penceritaan. 

Dari ketiganya itu memang film Riri yang paling bertutur bila ditilik secara naratif. Sementara itu, Garin dan Jay mencoba bermain-main dengan bahasa visual dan gerak tubuh si aktornya.

Memang, sejauh ini tampaknya sinema yang digarap dengan ponsel baru ‘terlihat’ dengan kerja sama antara kreator dan brand. Tapi apakah artinya ini hanya berhenti pada titik tersebut, atau juga sebenarnya bisa memunculkan kemungkinan yang lebih jauh dalam daya eksplorasi dalam sinema? 

Riri Riza berpendapat, saat ini teknologi memang mampu mengakomodasi kreativitas kreator konten. Misalnya, dengan teknologi kamera ponsel pintar yang sudah bisa sejajar dengan peralatan profesional. Lebih jauh, ia melihat hal itu malah bisa memunculkan estetika baru di luar sistem industri yang sudah mapan.

“Yang mungkin muncul adalah ada sineas yang membuat pendekatan kreatif estetika baru, yang tidak tergantung sistem industri yang baku,” katanya saat premiere film You and Me in Low Angle, di Jakarta Selatan, Jumat, (22/10).

Sehingga, tambahnya, bisa jadi dengan penetrasi teknologi ponsel pintar bisa mendorong produksi dengan skup yang lebih mikro dan bisa dilakukan oleh siapapun dan dimanapun, memungkinkan cerita yang sebelumnya tidak terceritakan di industri, bisa tersampaikan.   

Sementara itu, Garin Nugroho menilai yang perlu digarisbawahi adalah soal kemenangan kreatif. Kemunculan teknologi mutakhir menjadi sesuatu yang saling mengisi dengan imajinasi kreatif.

“Ruang berkarya jadi besar. Tidak tergantung dengan bioskop dan sistem. Tapi, kemenangan kreatif itu mengisi ruang visual yang ada di rumah, di kantor. Ruangnya terbuka besar bagi para peseluncur kreatif,” kata Garin dalam konferensi video, di sela produksi film terbarunya di Papua.

Jay menambahkan, kreativitas memang jadi motor utama seorang kreator dalam mencipta karya. Bertumbuhnya medium-medium baru juga mendorong siapapun kini makin paham bahasa visual. Itu tecermin misalnya dari karya-karya fotografi yang muncul di sosial media. Bagaimana pemahaman mengenai komposisi dan pakem-pakem yang ada dalam fotografi maupun videografi menjadi lebih berterima secara luas.

Padat

Secara produksi, memang tampak belum banyak bermunculan sinema yang dilahirkan dari kamera ponsel. Meski memang tidak menutup secara skala produksi juga masih membutuhkan peralatan lain, tetapi jika menilik dari produksi terbaru Garin, Riri, dan Jay, terlihat bentuk yang lebih compact (padat) bila dibanding dengan produksi konvensional.

Jumlah kru yang lebih sedikit, peralatan yang lebih praktis, dan munculnya tekstur visual ‘mentah/kasar.’

Umpama, Jay yang harus secara kontinu merekam ritual tolak bala tanpa jeda meski hujan turun dan dengan penerangan minim. Atau, Lutesha, yang dalam film Riri merangkap sebagai penata busana dan penata rias, tidak butuh pulasan yang kompleks. 

“Dari pemain aku suka banget pas proses syuting karena lebih intimate. Enggak kayak syuting sih. Kru dikit, alat yang digunakan simple. Jadi aku juga enggak merasa terintimidasi nunggu set kamera lama misalnya. Sangat personal dan intimate,” kata Lutesha, usai premiere You and Me in Low Angle.

Tentu, ke depan juga yang diharapkan adalah bermunculannya eksplorasi kreatif dengan berbagai medium dan pendekatan yang memungkinkan estetika ‘baru’ dalam sinema. Sehingga juga ada bahasa dan naratif yang sebelumnya tidak terdengar, menjadi tersuarakan pula.

Ketiga film pendek dari Garin, Jay, dan Riri bisa disaksikan mulai 27 Oktober di kanal Youtube Oppo Indonesia. (M-2) 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya