Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Apresiasi Tari dari Segala Penjuru

Abdillah M Marzuqi
08/5/2016 01:00
Apresiasi Tari dari Segala Penjuru
(ANTARA/DEDHEZ ANGGARA)

Solo Menari 24 Jam berhasil membius penonton. Sajian tersebut menggambarkan keberagaman masyarakat Kota Solo.

DI sini semua tari bisa bertatap. Di sini, semua usia bersua. Berkumpul, beruah dalam gembira. Tradisi dan garapan, semua dapat ruang. Sang maestro dan penari muda bisa berada dalam satu panggung. Semua panggung menguapkan kesedihan. Hanya kegembiraan dan tawa yang tampak tidak begitu sering, tapi hampir selalu. Bermula dari panggung di depan rektorat ISI Surakarta seusai gong ditabuh sebagai tanda resmi bermulanya helatan akbar Solo 24 Jam Menari 2016. Persis di muka panggung terdapat pelataran yang cukup luas. Sengaja tenda didirikan untuk memayungi pelataran tersebut. Tujuannya hanya satu, agar penonton dan penari merasa nyaman.

Di seputaran panggung, berjejer penonton beragam usia. Banyak di antara mereka duduk di atas rerumputan agar tidak menghalangi pandangan penonton yang berdiri dengan posisi agak ke belakang. Awalnya Mudyo Setyo masuk lebih dahulu ke arena.

Sembari bertutur tentang ajaran luhur tentang kehidupan, Mudjo Setyo terus menari. "Urip mung mampir ngombe (hidup cuma mampir minum)," ujarnya dalam tembang sembari terus bergerak menari. Tuturan ajaran luhur berpadu dengan gerak estetik. Itulah tontonan yang menjadi tuntunan. Ia tidak sendiri. Beberapa saat kemudian, sejumlah laki-laki masuk ke arena. Mereka memperagakan gerakan silat. Mudjo Setyo menjadi lakon utama. Beberapa kali ia harus beradu jurus. Kadang satu lawan satu, kadang dua lawan satu. Ajang 24 Jam Menari bukanlah tajuk kosong yang disebut tanpa alasan. Adalah Mudyo Setyo dan Samsuri yang menjadi penari 24 jam.

Samsuri ialah staf pengajar di ISI Surakarta, sedangkan Mudjo Setyo salah satu seniman Wayang Orang Bharata Jakarta. Mereka berdua terus menari dalam setiap aktivitas mereka. Perayaan Solo 24 Jam Menari 2016 terasa berbeda dengan tahun sebelumnya. Helatan kali ini merupakan kali kesepuluh sejak diadakan pertama kali pada 2007. Perayaan ini juga dihelat sebagai peringatan World Dance Day atau Hari Tari Dunia yang jatuh pada setiap 29 April. Tahun ini, perayaan itu menggambil tema Menyemai rasa semesta raga. Mengambil beberapa lokasi, acara menari bersama ini digelar selama dua hari, yakni pada 28-29 April 2016 lalu di Solo. Sekitar 6.000 penari dari dalam dan luar negeri turut menyemarakkan hajatan intu. Mereka tergabung dalam 221 kelompok.

Sejumlah lokasi dipersiapkan untuk mengakomodasi helatan Solo Menari 24 Jam, di antaranya Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan beberapa ruang publik seperti Jl Sudirman. Masih dalam prosesi pembukaan Solo Menari 24 Jam, ada kirab menuju usai pementasan di depan rektorat ISI. Pawai tersebut menuju pendopo yang juga menjadi lokasi pertunjukan. Sebagai penari 24 jam, Mudjo Setyo juga terus menari sambil berjalan di sela-sela rombongan pawai. Jika tari dapat dimaknai sebagai gerak indah, Mudyo Setyo berhasil membawakan makna tersebut. Selama pawai berjalan menuju pendopo, Mudyo Setyo menari indah dalam jalan.


Menumbuhkan daya kreasi

Seperti toko serbaada (toserba), segala macam ada di sini. Seperti pasar malam, hiburan semua usia pun ada di sini. Di sini pula, panggung dihamparkan, semua bisa memilih yang disuka. Semua boleh menikmati tari dengan cara masingmasing. Setidaknya itulah tujuan dihelatnya 24 Jam Menari 2016, yakni untuk seluruh pencinta dan penikmat tari sekaligus untuk semakin menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap seni tari.

Hal itu ditegaskan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Solo Sri Rochana Widyastutieningrum. "Kita ingin membuat aktivitas yang bisa melibatkan seluruh pecinta tari. Dalam rangka ingin menghidupsuburkan lagi tari di tengah masyarakat," terang Rochana. Pada helatan ini, para penari juga dihadapkan pada banyak ruang baru. Hal itu tampak dari beberapa lokasi yang dipilih sebagai panggung pentas. Ini berguna untuk menumbuhkan daya kreasi dalam proses penciptaan karya tari.

"Para penari dan kru dihadapkan pada ruang-ruang baru supaya respons terhadap keruangannya bisa memantik kreativitas mereka di pertunjukan ini," tegas Joko Aswoyo yang mejadi Ketua Panitia 24 Jam Menari 2016. Pertujukan di ISI Surakarta terbagi dalam beberapa lokasi pertunjukan. Pertama, Pendopo I dan Pendopo II. Kedua, Teater Besar dan Teater Kecil. Ketika di pendopo banyak dipentaskan tari tradisi, panggung teater pun lebih banyak menyibak gerak garapan ala kontemporer. Bukan bermaksud memilah atau membeda-bedakan. Itu sekadar untuk memudahkan para penikmat tari dalam memilih pentas. "Artinya prasmanan lah, dia (penonton) bisa memilih pentas yang mau ditonton," terang Joko. Banyak manfaat, nilai, dan makna yang bisa dipelajari dan terkadung dalam tari. Selain itu, ini tentang keseimbangan antara jiwa dan raga.

Kegiatan ini juga hendak menabur, mengingatkan, mengajak, dan menumbuhkan kembali kekuatan rasa, roh, dan jiwa di dalam semesta raga atau seluruh tubuh penari. Namun, lebih dari itu, kejujuran ialah hal utama. "Kita berekspresi dalam seni pada dasarnya adalah rasa kejujuran," tegas Rochana. Semua diberikan wadah, yang tradisi diberi ruang, yang garapan juga diberi panggung. Ketika itu terjadi, pembedaan antara yang tradisi dan yang kontemporer akan mengikis. "Tradisi itu sebetulnya tidak mati. Tradisi itu sebenarnya berubah meng-kini. Tradisi itu kontemporer," pungkas Rochana. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya