Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Genjot Perluasan Jejaring Info Bencana

Putri Rosmalia
17/10/2021 05:50
Genjot Perluasan Jejaring Info Bencana
Udrekh, Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB(Dok. Pribadi)

DALAM berbagai bencana, masyarakat masih kerap mengeluhkan kecepatan dan keakuratan peringatan dini. Lebih jauh lagi, pemetaan risiko bencana kian menjadi hal krusial demi kesiapsiagaan yang lebih baik.

Terkait dengan itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tengah mengupayakan peningkatan peran serta masyarakat dalam mewujudkan peta bencana yang mumpuni. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.

Lalu sejauh manakah pelibatan masyarakat itu? Bagaimana pula peran serta pemda dan regulasi yang ada dalam upaya peringatan dini dan mitigasi bencana? Berikut wawancara Media Indonesia dengan Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Udrekh.

 

Apakah di Indonesia sudah ada pemetaan risiko bencana yang sesuai dengan karakteristik setiap daerah?

Memang belum ada pemetaan risiko bencana yang sangat akurat dan mendetail, kecuali, misalnya, di Gunung Merapi ada laboratorium BPPTKG di bawah PVMBG dan ESDM yang khusus untuk pengamatan Gunung Merapi. Jadi, pemetaannya sudah cukup bagus.

Karena gini, contoh yang sederhana kita melakukan pemetaan rutin untuk satu daerah. Itu perubahan tata ruangannya dalam dua bulan saja bisa beda sekali. Dengan laju pembangunan seperti sekarang, agak susah. Paling yang ideal adalah mencoba melakukan frekuensi pemetaan yang lebih rutin di daerah yang tingkat pembangunannya tinggi, seperti di daerah yang jadi KEK (kawasan ekonomi khusus) atau bandara. Itu, kan, pasti cepat sekali perubahannya.

Kita sekarang fokus ke pemetaan kelompok rentan dulu. Kita pengin punya data yang detail, kalau bisa, by name by addres. Kalau sudah kejadian bencana, mereka ini yang harus kita utamakan selamatkan karena mereka tidak punya kemampuan memadai untuk bisa menyelamatkan diri.

 

Saat ini bencana apa saja yang paling mendesak bisa dipetakan di mayoritas wilayah Indonesia?

Sebenarnya BNPB mengeluarkan indeks risiko bencana Indonesia setiap tahun, tapi terus terang masih mendesak ditingkatkan adalah tingkat kedetailan dan keakuratannya. Itu berarti ada hubungannya dengan lembaga penanggung jawab, lembaga di daerah, dan ini lagi-lagi pemetaan partisipatif akan sangat membantu.

Dari jenis bencana sebenarnya, kalau menurut saya, sangat fokus pada jumlah orang yang meninggal. Jadi, yang menurut saya sangat mendesak adalah bencana-bencana yang memang punya potensi menghilangkan nyawa seperti gempa tsunami, banjir bandang, dan longsor.

 

Bagaimana langkah yang dilakukan untuk meningkatkan sistem pemetaan bencana?

Kami tengah meningkatkan partisipasi masyarakat untuk pemetaan bencana, termasuk untuk meningkatkan kemampuan para pemberi informasi ini untuk bisa memberikan informasi yang akurat.

Sekarang dengan kondisi coverage internet yang sudah cukup bagus di seluruh Indonesia, kalau masyarakat bisa berpartisipasi minimal untuk memotret dan beri geotagging (lewat ponsel ber-GPS) dan memberikan komentar, itu sudah sangat membantu sekali. Foto yang dihasilkan dapat sekaligus menyimpan lokasi yang biasa kita sebut geotagging. Upaya pertolongan, kalau dari masyarakat informasinya, akan bisa masuk lebih cepat dan ditindaklanjuti. Selama ini sebenarnya kita punya Pusdalops (Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana) dan Pusdatin (Pusat Data dan Informasi) untuk pemberi informasi dan pemetaan bencana, di setiap daerah juga ada itu. Namun, kalau ada aplikasi yang bisa digunakan masyarakat, tentu jejaringnya akan sangat bagus sekali.

 

Program kerja sama BNPB dengan Yayasan Peta Bencana seperti apa?

Kami mencoba memanfaatkan teknologi untuk bisa untuk mengumpulkan informasi mengenai fakta terkini di lapangan terkait dengan kejadian kebencanaan. Dengan Peta Bencana, masyarakat bisa mengirim info lewat Telegram, lewat sosmed yang lain juga. Ini yang sebenarnya jadi satu hal yang membuat orang akan lebih mudah berpartisipasi. Info yang masuk ke sana akan terintegrasi dengan aplikasi Inarisk dan Inaware yang dimiliki BNPB. Saat ini BNPB mencoba untuk membuat agar jejaring info bencana bisa lebih luas dan akurat. Juga agar bagaimana caranya tidak terlalu banyak aplikasi supaya masyarakat tidak perlu menginstal aplikasi lagi untuk mengirim informasi bencana.

 

Sistem pelaporan bagaimana?

Aktivitas yang kita harapkan masyarakat bisa ikut berpartisipasi itu, kan, sebenarnya sudah lama. Misalnya di aplikasi Waze itu, kan, sudah banyak sekali, ya, yang berpartisipasi. Semua orang bisa melaporkan apa pun yang dia lihat. Semua orang merasa ingin berbagi informasi, itu yang penting.

Di daerah-daerah, kita juga merekrut orang untuk berpartisipasi melakukan pelaporan ini, tapi hanya mereka yang telah teregistrasi yang bisa melapor. Tidak dibuka untuk publik secara umum karena akan sulit memfilternya kalau dibuka semua bisa melapor. Harus dipastikan informasi itu terbukti fakta atau hanya hoaks. Kami juga memanfaatkan teman-teman yang kuliah kerja nyata (KKN) untuk ikut serta melaporkan apa pun di daerah.

 

Apa kendala yang kerap muncul dalam upaya pelibatan masyarakat ini?

Pertama, kesiapan sistem untuk menerima limpahan dari masyarakat. Seperti Inarisk, kan, ada aplikasinya, tapi sebenarnya di satu sisi Peta Bencana lebih siap untuk menerima banyak limpahan informasi. Kedua, kesiapan masyarakat. Masih perlu usaha untuk mengedukasinya dan kita lakukan secara bertahap.

Ketiga, bukan sistemnya, melainkan orang yang berada di belakang sistemnya. Misalnya di pemetaan partisipatif bencana, karena semakin banyak data, pemrosesan akan lebih lama. Data yang masuk harus ada verifikasi kebenarannya. Kalau tidak hati-hati, bisa jadi tidak keruan.

Saya juga berharap di setiap daerah harus ada perkawinan antara perguruan tinggi lokal dan lembaga di daerah dan masyarakat. Makanya pentaheliks itu penting sekali. Kalau perguruan tinggi terlibat, akan sangat baik karena dia lebih mudah melakukan berbagai program di daerah. Makanya hal seperti desa tangguh bencana harus terus diaktifkan.

 

Bagaimana dengan teknologi peringatan dini sekarang ini, apakah sudah mutakhir?

Kalau bencana-bencana besar seperti tsunami, alatnya baru akan kita yakin benar dan cocok kalau terpasang pas di tempat yang kena tsunami. Baru kita tahu alat itu bekerja dengan benar atau tidak. Kalau tidak, sesungguhnya kita masih ngarang-ngarang saja, kita membuat model, algoritma, memperkirakan gempanya akan seberapa besar. Kita memperkirakan menggunakan ilmu, tetapi bukan berdasarkan atas kejadian.

Kalau buat saya, yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia itu harus mengandalkan para ilmuwan. Berikan kesempatan agar mereka bisa benar-benar mengkaji dan memperhatikan alam ini dengan sebaik-baiknya agar keluar kebijakan-kebijakan yang berbasis pengetahuan di Indonesia.

 

Secara umum bagaimana Anda melihat kesadaran bencana masyarakat?

Pengetahuan masyarakat sudah menjadi semakin baik terkait dengan bencana. Akan tetapi, pengetahuan ini harus mendorong timbulnya kesadaran. Contoh sederhana, dalam berlalu lintas saja masih banyak orang berkendara tidak pakai helm dan melawan arus. Kadang masyarakat juga sulit diingatkan, misalnya saja di Palu, ada satu kawasan yang tepat di atas patahan, kita sudah ingatkan terus. Bahkan sudah ada rumah yang mulai retak dan hancur di sana, tapi tetap saja dibangun lagi.

Masyarakat harus terus diingatkan agar tidak mudah lupa. Misalnya gempa, siklusnya itu, kan, rata-rata 150 sampai 200 tahun yang besar. Itu, kan, sudah berapa generasi. Jadi, harus terus diingatkan agar tidak lengah dan lupa.

 

Bagaimana dengan peran pemda?

Pemerintah daerah memiliki peran mengoptimalkan, khususnya BPBD dan masyarakat. Bencana yang terjadi dekat dengan lokasi masyarakat dan pemerintah daerah yang dapat merespons dengan cepat. Hal itu melingkupi sistem penanggulangan bencana di daerah, dengan aspek kebijakan, perencanaan, penganggaran, kelembagaan, dan lain-lain menjadi kunci keberhasilannya.

 

Apakah pembangunan juga sudah mempertimbangkan peta risiko bencana?

Memang belum banyak, tapi kepedulian ke sana sekarang meningkat besar sekali. Mulai ada kesadaran untuk menyesuaikan dengan potensi bencana. Bencana itu secara sederhana adalah menghadirkan fitur safety. Kalau kita bangun gedung, misalnya, selalu ada smoke detector. Fitur itu diharapkan tidak akan pernah dipakai, tapi menjadi satu fitur wajib. Kalau pemahaman risiko kita sudah ada, banyak hal yang bisa dilakukan agar suatu area bisa dihuni meski dengan risiko bencana. Penataan ruang yang tergambarkan melalui peta akan sangat penting bagi perencanaan pembangunan yang tangguh bencana.

 

Bagaimana dengan regulasinya, apakah sudah memiliki perspektif kebencanaan?

Memadai tentunya belum, tapi perangkat hukumnya sudah banyak dan semakin bertambah. Saat Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, Presiden Jokowi mengarahkan agar membuat aturan yang operasional. Ini yang kita perlu lakukan agar setiap peraturan bisa dijalankan dan ditegakkan. Kalau regulasinya sudah berjalan baik, misalnya, kita bisa menghasilkan peta pedoman membuat bangunan.

Untuk kasus gempa bumi, misalnya, penerbitan IMB itu perlu mengikuti aspek-aspek tata ruang yang berhubungan dengan kebencanaan. Untuk izin membangun di daerah yang rawan gempa, ya, bangunannya harus disesuaikan kekuatannya. Jika lokasinya berada di patahan, tidak dapat diizinkan. Direkomendasikan untuk dipindahkan ke area yang lebih aman. (M-1)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya