Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Mitos dan Legenda Dayak Lundaye

SRI MURNI
01/8/2021 05:00
Mitos dan Legenda Dayak Lundaye
Tari Lenggang Nunukan.(DOK SUSI IVVATY/ATL)

Mari mengenal lebih dalam cerita rakyat Dayak Lundaye/Lundayeh. Kata Lundayeh merupakan paduan dua kata, lun, dan dayeh. Lun artinya orang. Dayeh artinya hulu. Lundayeh dapat diartikan orang-orang yang berasal dari hulu. Hulu atau dataran tinggi yang dimaksud ialah Dataran Tinggi Krayan (Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan). Suku Dayak Lundaye yang bermukim di Mentarang Kabupaten Malinau dan Krayan Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang Lundaye di Negara Bagian Sabah dan Sarawak, Malaysia. Dayak Lundaye di Sabah dan di Brunei Darussalam juga dikenal dengan nama orang Lun Bawang atau Murut. Mereka masih saling mengenal silsilah kekerabatan walau berbeda negara. Dayak Lundaye di Indonesia, Malaysia, dan Brunei tetap menjalin komunikasi melalui telepon dan saling berkunjung, terutama saat digelar ritual-ritual kehidupan dan kematian.

Menelusuri asal-usul nenek moyang orang Dayak Lundaye ialah dengan menelisik manusia pertama yang melahirkan orang Dayak Lundaye hingga di masa kini, termasuk tidak mengabaikan mitologi dan legenda setempat tentang suku tersebut. Ada banyak versi mengenainya, merujuk kajian beberapa ahli. Salah satunya HJ Malinckrodt (1928), pengawas administrasi pada masa kolonial Hindia Belanda, yang mengategorikan orang Dayak ke dalam enam rumpun suku yang dinamakan Stammenras. Kumpulan itu di antaranya Stammenras Kenyah-Kayan-Bahau; Stammenras Ot Danum (termasuk Ot Danum, Ngaju, Maanyan, Dusun, dan Luangan; Stammenras Klemantan; dan Stammenras Punan (merangkumi Basap, Punan, Ot, dan Bukat). Hal ini seperti disebut AMZ Wijono AMZ dan Roedy Haryo dalam buku Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok (1998).

Mitos asal-usul


Cerita prosa rakyat Dayak Lundaye meliputi mite, legenda, dan dongeng. Menurut mitologi, nenek moyang Dayak Lundaye berasal dari telur matahari yang kemudian pecah dan dinikahi oleh Dongo Putarrojo. Keluarga ini kemudian mempunyai lima anak. Anak pertama bernama Siasseng Abang Apa, yang menciptakan air, liku-liku air, hingga menjadi sungai-sungai yang mengalir seperti sekarang. Anak yang kedua ialah Timberene, sebagai pencipta dan penguasa daerah pergunungan. Anak yang ketiga adalah Mbah Belawit, yang menguasai sawah. Anak yang keempat ialah Kurid, menguasai dan mencipta hewan ternak. Anak kelima adalah penghuni gunung Jorhat. Orang Dayak Lundaye sampai sekarang memercayai, apabila seseorang berteriak meminta sesuatu di Gunung Jorhat, permintaan tersebut akan dikabulkan.
Versi lain cerita leluhur Dayal Lundaye ialah bahwa mereka berasal dari pasangan suami istri, yaitu Yasai dan Timberrene. Yasai dipercayai sebagai leluhut yang menciptakan bumi dan tanah, sedangkan Timberrene ialah pencipta liku-liku airnya. Asala usul buki dengan segala isinya juga dipercaya orang Lundaye diciptakan oleg Yasai dan Timberrene.

Legenda Malinau dan Paking


Asal kata Malinau berasal dari kata inau yang artinya sagu (Metroxylon sagu) yang diparut kemudian diperas lalu dimasak. Pada zaman kolonial Belanda, ada sekumpulan ibu yang sedang membuat makanan dari sagu. Seorang Belanda kemudian menanyakan nama daerah tempat tinggal mereka dalam bahasa Belanda yang tidak mereka mengerti. Ibu-ibu tersebut mengira orang Belanda itu menanyakan apa yang sedang mereka kerjakan, maka mereka menjawab dengan menyebut kata nginau. Orang Belanda itu pun menamai daerah itu Nginau yang kemudian berubah menjadi Malinau. Padahal menurut orang Dayak Lundaye, daerah itu ialah Sembuak.

Nama Desa Paking berasal dari kata putta’ yang artinya buih. Pada zaman dahulu, di sepanjang Sungai Paking sering terlihat kumpulan buih yang meninggi sehingga kampung itu dinamai Putta’, sedangkan jalan pintas yang memotong alur sungai buatan dinamai Paking. Saat ini menjadi Desa Putta’, desa terdekat dari Desa Pa­king. Orang-orang Lundaye di Paking berasal dari Krayan, yang memiliki sungai besar Bernama Apa ‘Laye. Mereka lantas bercerai-berai dan sebagian terdampar di Pulau Betung hingga Malinau sejak tahun 30-an. Mereka yang terdampar di Pulau Betung dipelihara oleh orang-orang Melayu hingga akhirnya memeluk agama Islam, sedangkan mereka yang terdampar di daerah lain menganut agama Kristen. Orang Lundaye yang tinggal di Desa Paking kini ialah mereka yang pasca-Kemerdekaan Republik Indonesia tinggal di Long Berang, Pulau Sapi, dan Kecamatan Mentarang, Kabupaten Malinau.

Dongeng anak-anak


Dongeng dalam bahasa Lundaye disebut malada. Malada biasanya diperde­ngarkan oleh orang-orangtua kepada anak-anaknya menjelang tidur atau pada waktu duduk santai di rumah. Cerita-cerita yang diperdengarkan misalnya kisah Riberuh Tin Arit Bulan, yang mirip dengan cerita serupa di Jawa.

Pada zaman dahulu hiduplah pemuda yang pemalas dan kurang disukai oleh teman-temannya, bernama Ilan. Suati hari ia melihat wanita cantik sedang mandi di Sungai Riberuh. Ilan pun jatuh cinta seketika dan mengajak gadis itu berkenalan. Nama gadis itu Dayang Tin Arit Bulan. Beberapa kali Ilan memergoki Dayang Riberuh Tin Arit Bulan mandi di sungai Riberuh. Namun, ia tidak juga mengetahui rumahnya. Namun, Ilan tetap mengajak gadis tersebut untuk menikah dengannya dan tinggal bersama. Tanpa disangka, ternyata Dayang Tin Arit Bulan menyambut ajakan tersebut, tetapi dengan satu syarat, yaitu Ilan tidak boleh pernah melihat Tin Arit Bulan saat memasak di dapur. Ilan pun menyetujuinya. Hari berganti hari, Ilan tetaplah pemuda pemalas.

Setelah sekian lama, Ilan penasaran juga dengan makanan yang dia santap setiap hari. Ilan pun mengintip istrinya yang sedang memasak nasi di dapur dan terkejut ketika melihat sang istri hanya memasukkan sebutir biji padi, tetapi jadi nasi seperiuk. Tin Arit Bulan mengetahui pelanggaran Ilan, dan kembali ke bulan. Akhirnya, Ilan mengetahui istrinya bukanlah manusia biasa, namun Tin Arit Bulan, yang berarti gadis cantik dari bulan. Ilan pun menyesal, tetapi semuanya sudah terlambat karna Tin Arit telah meninggalkan Ilan untuk selama-lamanya.

Kisah dongeng Dayang Tin Arit Bulan yang diceritakan para orang tua Lundaye kepada anak-anaknya mengandung makna pendidikan yang amat dalam, yakni agar tidak menjadi pemuda pemalas dan harus selalu menepati janji. Sebenarnya cerita sejenis ini ada beberapa versi, tetapi intinya sama tentang seorang pemuda pemalas yang merasa beruntung kemudian tertimpa kemalangan. Cerita seperti itu penting dan membuat orang Lundaye terbiasa memegang ucapan dan janji, serta amat takut apabila ingkar karena mereka percaya bahwa musibah akan segera menimpa.

Dongeng di atas hanya contoh agar anak-anak meninggalkan hal-hal yang buruk serta meniru ajaran-ajaran kebaik­an. Seperti ditulis William R Bascom, cerita rakyat sebagai bagian dari folklor mempunyai empat fungsi, yakni sebagai sistem proyeksi, alat pengesahan kebudayaan, alat pedagogik, dan alat pemaksa berlakunya norma serta kontrol masyarakat (Four Fuction of Folklore The Journal of American Folklore,1965). (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya