Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Kearifan Tenun Badui

ABDILLAH M MARZUQI
17/4/2016 06:40
Kearifan Tenun Badui
(Ebet)

SEORANG wanita duduk berselonjor. Kedua kakinya dibiarkan terbuka tanpa mengimpit satu sama lain. Ia menghadap sebilah kayu yang dikaitkan pada dua tiang bambu. Di sampingnya terdapat bambu yang diletakkan di atas sebuah tatakan. Di belakangnya tampak bermacam kain yang digantung. Sudah dapat dipahami, ia tidak sedang bersantai meski berselonjor kaki. Wanita itu ialah suku Badui yang sedang menenun. Ia menggunakan seperangkat alat tenun yang biasa disebut pakara atau raraga. Alat itu terbuat dari konstruksi kayu dan bambu yang berukuran sekitar 2 x 1,5 meter. Itulah salah satu gambar yang dipajang saat pameran bertajuk Baduy Kembali yang dihelat di Bentara Budaya Jakarta pada 6-10 April 2016. Masyakarat Badui biasa disebut urang Kanekes atau orang Kanekes. Mereka bermukim di kaki pegunungan Kendeng, Kecamatan Leuwidar, Kabupaten Lebak Rangkasbitung, Banten, sekitar 40 km dari Kota Rangkasbitung.

Mereka terdiri dari Badui Dalam dan Badui Luar. Badui Dalam termasuk kelompok yang masih sangat memegang teguh adat istiadat seperti masih menerapkan isolasi dari dunia luar, tabu untuk difoto, dan tidak menggunakan peralatan elektronik dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Badui Luar lebih luwes dengan aturan seperti memperbolehkan masyarakatnya menggunakan peralatan modern, bahkan boleh berkendara bila ingin pergi ke kota. Kegiatan produktif Satu lagi yang menjadi kekhasan mereka, yakni tenun. Tenun merupakan tradisi yang erat dengan masyarakat Badui, terlebih wanita. Pakaian yang mereka pakai sehari-hari ialah hasil tenun para kaum wanita. Kegiatan menenun dilakukan pada waktu senggang di siang hari oleh wanita Badui setelah aktivitas harian mereka selesai. Sebelumnya, mereka memasak, membenahi rumah, mengurus anak, mencari kayu bakar, dan pergi ke ladang sehingga tidak ada waktu senggang yang dilewatkan.

Bukan sebatas penahan dingin atau pelindung panas, kain tenun yang dipakai masyarakat Badui merupakan cerminan pandangan mereka terhadap hidup dan kehidupan. Lebih dari itu, kain tenun dimaknai sebagai gugusan identitas. Busana hasil tenun juga turut mencerminkan status. Masyarakat Badui memisahkan status berdasarkan wilayah permukiman menjadi Tangtu dan Panamping. Tangtu merujuk pada masyarakat adat Badui Dalam, sedangkan Panamping merujuk pada masyarakat adat Badui Luar. Inilah yang kemudian memengaruhi tata cara berbusana dan menenun. Warna putih digunakan pada bahan kain tenun dan busana masyarakat Badui Dalam, sedangkan Badui Luar diberi identitas yang berbeda, yaitu berpakaian hitam. Selain itu, mereka yang disebut Badui Dalam menenun kain tenun terbatas pada kain yang berwarna putih atau hitam, sedangkan pada Badui Luar mereka telah diperbolehkan menenun dengan variasi warna yang lebih beragam. Warna putih yang digunakan pada bahan kain tenun Badui tidak diwarnai atau tetap menggunakan warna asli kapas yang putih. Dalam kepercayaan orang
Badui, warna putih bermakna terang dan bersih, sedangkan warna hitam pada pakaian Badui Luar mengandung makna gelap atau malam. Gelap atau hitam dalam konteks budaya Badui akan menjadi pelindung di balik yang putih atau terang.

Pola geometris
Tenun Badui memiliki kekhasan dari bahan maupun ragam hias. Tenun Badui juga mempunyai fungsi dan maknamakna simbolis yang berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan masyarakat Badui, terlebih nilai adat yang melambangkan eksistensi. Kain tenun Badui mempunyai kekhasan garis, bentuk, dan warna. Jalinan benang lungsin (benang yang membujur) dan pakan (benang melintang) mampu menghasilkan motif geometris yang sederhana nan indah. Pertemuan kedua benang tersebut membentuk paduan garis tegak dan mendatar yang apik. Biasanya warna yang digunakan setiap benang beradu kontras satu sama lain. Kekhasan tenun Badui ialah bahan agak kasar dan warna yang cenderung dominan. Bintik kapas dari proses pemintalan menghasilkan tekstur yang khas tenun Badui dengan alat pemintal tradisional. Ragam hias pada tenun Badui yang berbentuk geometris tersebut telah dihasilkan secara turun-temurun. Pola itu merupakan gambaran dari pengetahuan konsep tentang alam dan lingkungan hidup.

Dalam ragam hias tenun Badui, unsur-unsur tadi diwujudkan dalam bentukbentuk garis geometris seperti garis berbentuk kait, spiral atau disebut juga pilin, garis lurus, segitiga, segiempat, atau bulatan. Kesederhanaan, kata itulah yang mewujud dalam makna kain yang dipakai. Selain dalam kehidupan seharihari, kesederhanaan itu diwujudkan dalam cara berpakaian. Mereka mampu menghasilkan tenunan yang indah dalam warna-warna lain, tapi pakaian mereka sendiri polos. Seperti terucap dalam bait lagu yang dibawakan grup musik Tlaga Swarna saat acara pembukaan pameran, “Hidup sederhana janganlah berlebihan.” (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik