Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
DALAM keseharian kita, selalu ada kekuatan besar yang tak kasatmata. Kekuatan itu hadir bukan dalam wujud tank baja atau kekuatan militer lainnya, bukan pula lewat paksaan ekonomi. Ia hadir justru dalam bentuk kesan, penjualan citra keren dan diinginkan.
Itulah yang terjadi ketika anak-anak Yugoslavia rela menghabiskan dua bulan gaji mereka untuk membeli celana Levi’s 501 di pasar gelap. Mereka amat menginginkannya karena celana jenis yang sama dikenakan James Dean.
Cap budaya seperti itulah yang diinginkan Korea Selatan. Mereka ingin menarik pasar dunia ketiga yang krusial, tetapi masih tidur, kepada budaya populer Korsel. Mereka pelajari dengan cermat tahapan perkembangan negara dunia ketika untuk menentukan produk budaya Korea seperti apa yang akan disukai, dan ekonomnya bekerja keras mengukur kecepatan negara-negara itu menjadi semakin makmur dan memiliki daya beli tinggi. Saat tiba waktunya penduduk negara-negara itu mampu membeli barang-barang mewah, mereka pun akan membeli merek Korea karena sudah terikat dengan Korea sebagai merek.
Strategi menarik itu membuat ‘Negeri Ginseng’ melesat menjadi negara maju dengan budaya populer mendunia dalam hitungan tahun. Padahal, ekonomi Korsel dibangun dari kekacauan dan sisa penjajahan yang tak kunjung henti. Fenomena dan strategi terperinci itulah yang diangkat secara menggelitik dan kaya data oleh Euny Hong lewat buku Korean Cool.
Hong ialah jurnalis keturunan Korsel yang tinggal di Amerika bersama keluarganya. Ayahnya segelintir dari yang mendapat beasiswa untuk berkuliah di sana, dalam program pemerintah yang berharap tenaga ahli bisa menyelamatkan negara. Mereka diminta pulang dengan banyak iming-iming untuk mengabdi. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Korsel, segalanya sangat jauh dari kondisi Korea saat ini. Itu tidak hanya menyangkut fasilitas, tetapi juga budaya. Di sekolah, guru leluasa melakukan kekerasan fisik terhadap muridnya.
Industri hiburan
Beberapa tahun belakangan, Korsel berubah menjadi negara dengan infrastruktur internet yang canggih. Pada 2012, sebanyak 25% modal perusahaan yang dipakai di Korea bersumber dari anggaran yang digelontorkan pemerintah. Lebih mengejutkan, sepertiga modal perusahaan di Korea dihabiskan untuk industri hiburan. Bayangkan, dana milik umum itu pun digunakan untuk mengaudit ruang karaoke.
Itu tak hanya bukti keseriusan pemerintah berinvestasi di sektor budaya populer, tapi juga karena yakin investasi itu takkan sia-sia.
Mereka telah menyiapkan mekanisme untuk mendominasi budaya populer sejak lahirnya world wide web pada 1990-an. Gelombang budaya populer di Korea sendiri disebut Hallyu.
Ada beberapa pelajaran dari kesuksesan Korea Selatan, satunya ialah perlunya pemerintahan yang tak segan ikut campur dalam bisnis swasta dan kehidupan pribadi warga. Di kebanyakan negara kapitalis, industri swasta menganggap campur tangan pemerintah semacam ini tidak bisa ditoleransi, tetapi tidak di Korea.
Pemerintah Korea selalu menempatkan diri seperti dewan direksi perusahaan raksasa dengan 50 juta karyawan. Keputusan dibuat di tingkat nasional. Misalnya saja, saat menjadikan Hallyu prioritas utama dan mengucurkan miliaran dolar untuknya. Itu dilakukan setelah melakukan riset pasar yang melelahkan dan kesediaan bekerja sama perusahaan swasta.
Setiap kesuksesan yang dibahas dalam bukunya mengajarkan soal konsep keterpaksaan sukarela. Ada pendirian orang Korea, bahwa apa pun yang bagus bagi negara bagus pula bagi bisnis dan apa pun yang bagus bagi bisnis bagus juga bagi individu.
Nah, di tengah geliat Indonesia untuk mendorong sektor ekonomi kreatif dan TIK, mungkin ada baiknya belajar dari pengalaman Korsel. Kadang kita tak harus menjadi yang pertama melakukan sesuatu, tapi kita harus selalu berusaha menjadi yang terbaik. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved