Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SUATU kali kita mungkin pernah membaca kalimat pada papan iklan properti semacam ini: Perumahan X Siap Huni, hanya 10 Menit dari Pintu Tol. Kita tentu paham maksudnya kalau letak hunian tersebut tidak jauh dari jalan bebas hambatan sehingga memudahkan ke mana-mana, terutama untuk pergi dan pulang dari tempat kerja. Apalagi bagi para pekerja kantoran di kota besar yang kerap dirundung kemacetan. Namun, dengan hadirnya pandemi covid-19, yang memaksa sebagian orang berdiam dan beraktivitas di rumah, kesombongan kalimat pariwara tersebut seakan runtuh. Wabah ini seolah menertawakan kita, manusia modern yang selalu dituntut bergegas, berkejaran entah dengan siapa dan untuk apa.
Tidak seperti kapitalisme awal yang melihat kemajuan dari seberapa besar ruang (pasar, koloni) yang dapat dikuasai, dalam kapitalisme kontemporer saat ini, kata Yasraf Amir Piliang, dosen Institut Teknologi Bandung dalam bukunya Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme (1998), kemajuan kini lebih diukur dari kecepatan. Kecepatan, lanjut peraih gelar Master of Art dari Central Saint Martins College of Art and Design, London, itu bahkan tidak hanya menjadi simbol kemajuan, tetapi juga bagian dari paradigma sosial, politik, ekonomi, dan juga budaya.
Seberapa cepat mengikuti tren, seberapa sigap mengantisipasi pasar, serta seberapa cepat memperoleh dan menyebarkan informasi, ialah jargon-jargon yang menjadi cermin masyarakat kontemporer global saat ini, termasuk turunannya pada contoh kalimat pariwara yang saya sebut pada paragraf di atas. Tidak mengherankan, para penyedia layanan internet juga ikut berlomba-lomba menawarkan kecepatan hingga sekian mbps (megabit per second), agar manusia mudah beraktivitas di dunia maya. Namun, pernahkah di zaman yang berpacu dengan waktu ini, kita coba mengambil jeda sejenak buat merenung dan bertanya, apa manfaat dan dampak dari semua ini?
Di media sosial, kita telah melihat banyak contoh mereka yang kerap tergesa menguar dengki, emosi, hingga umpatan bernada rasialisme, yang tidak dipikirkan lagi dampaknya, baik bagi dirinya maupun orang lain. Kecepatan jari seolah mengangkangi akal sehat serta nurani. Media arus utama pun setali tiga uang. Bukannya bertugas memverifikasi, wartawan kadang tergoda berlomba menyiarkan berita, betapa pun masih sumirnya fakta, demi mengejar kecepatan. Tidak jarang mereka pun ikut-ikutan mengamplifikasi apa yang sedang trending di media sosial, meski isinya cuma gosip murahan atau kicauan para pendengung yang cuma bikin gaduh dan cari sensasi. Seakan siapa cepat mewartakan dialah yang dibaca, tanpa memberikan nilai lebih kepada pembaca atau pemirsa. Apakah kecepatan semacam ini yang akan membawa kemajuan bagi peradaban dan mencerdaskan suatu bangsa?
Manusia memang tidak mungkin menentang arus zaman. Namun, di tengah denyut kehidupan yang serbagegas, kita setidaknya mesti memiliki kontrol. Jangan menggunakan filosofi Lewis Hamilton atau Marc Marquez, yang diharuskan memacu kendaraan mereka secepat mungkin di sirkuit F1 atau Moto-GP. Woles (slow) dikitlah cuy, kalau istilah anak sekarang. Lagi pula kita bukan robot atau mesin. Jangan sampai kecepatan mengikis dimensi kehidupan sosial, mental, dan spiritual sehingga tidak punya waktu lagi hanya tuk sekadar berkontemplasi. Kitalah yang mesti bersiasat mengendalikan kecepatan itu, agar sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia. Tancap gas boleh, tapi ingat rem dan persneling agar perjalanan hidup menjadi nyaman.
PSSI berencana melayangkan gugatan hukum kepada tayangan Mata Najwa demi mendapatkan identitas wasit yang diduga terlibat dalam pengaturan pertandingan di Liga 1 Indonesia 2021-2022.
Baginya, jika media tidak dapat hidup, salah satu pilar demokrasi akan hilang dan pada akhirnya masyarakat tidak cerdas dan kritis.
Pria yang menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika pada 2007-2009, itu, bercerita tidak ambil pusing saat diburu wartawan karena selalu menggunakan data dalam menjawab pertanyaan
SEBULAN terakhir, publik disuguhi perdebatan tentang Publisher Rights. Regulasi baru yang hendak disahkan sebagai peraturan presiden.
KPU DKI berharap agar media terus menjadi mitra dalam menyosialisasikan tahapan pilkada serta paslon yang ada.
Jumlah kekerasan terhadap jurnalis atau media bergerak fluktuatif. Angka tertinggi berada di 2016 dengan jumlah kasus 81, sedangkan angka terendah ada pada 2019 dengan jumlah kasus 26.
Sudah menjadi kewajiban semua pihak untuk menyukseskan hajatan besar ini dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Menkominfo menegaskan, ‘penyakit kedua’ yang menyertai pandemi Covid-19 itu menimpa pada orang yang tidak bisa membedakan mana informasi yang benar dan dari mana sumbernya.
Klub geram karena mereka membuat berita terkait kondisi ruang ganti yang tidak lagi harmonis. Manajemen merasa kesal karena berita tersebut disiarkan tanpa memberikan kesempatan menanggapi.
Pelatih timnas Indonesia, Shin Tae-yong, menjadi pusat perhatian media Korea setelah foto editan netizen, menampilkan Shin Tae-yong mengenakan seragam Korpri.
Harga Mees Hilgers, yang menyentuh angka 7 juta euro, lebih mahal dibandingkan keseluruhan skuat Timnas Vietnam pada pergelaran Piala Asia lalu.
Media-media Korea Selatan menyebut pemecatan Shin tae-yong adalah imbas dari kegagalan Indonesia di Piala AFF 2024.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved