Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Surgaku di Tendaku

Abdillah Marzuqi
03/4/2016 07:40
Surgaku di Tendaku
(MI/GALIH PRADIPTA)

DUA gadis cilik itu duduk santai dengan kursi lipat mini masing-masing. Kaki mereka berselonjor ke depan, nangkring di sebuah kursi plastik. Itu benarbenar mirip gaya orang dewasa yang sedang berjemur di pantai atau santai di taman. Namun, yang ada di hadapan kedua gadis itu ialah lebih dari 60 puluh tenda dan dengan para keluarga yang asyik bermain dan berkegiatan. Inilah pemandangan di Wisata Alam Capolaga, Kampung Panaruban, Subang, Jawa Barat, Jumat-Minggu (25-27 Maret) lalu.

Komunitas Kemah Keluarga Indonesia (K3I) menggelar kopi darat (kopdar) di objek wisata yang juga dilintasi Sungai Cimuja dan dekat dengan tiga curug itu. Ekosistem yang sangat bervariasi itulah yang tampak benar-benar dinikmati para peserta kopdar. Seperti terlihat pada Sabtu (26/2), ada yang sedang asyik main di sungai, ada keluarga muda yang menikmati sejuknya air curug, dan ada yang tidur-tiduran di hammock yang terikat di pohon-pohon rindang.

Seusai bermain, mereka berkumpul dan bersantap hasil masakan para ibu yang baru diangkat dari wajan. Perlengkapan kemah para keluarga ini memang terbilang lengkap, tidak hanya tenda, hammock, tetapi juga peralatan masak dan bermain. Jika ada pepatah, yang tepat menggambarkan itu ialah 'rumahku adalah surgaku'. Hari itu, pepatah itu berubah menjadi 'tendaku adalah surga ku'. Asyiknya acara berkemah itu pula yang dirasakan Agus Yuliato, 43, dan keluarga.

"Mereka itu (anak-anak) sampe ngitung kurang berapa hari lagi kemahnya," ujar Agus yang datang dari Bekasi, Jawa Barat. Antusiasme anak-anak itu tentu saja membuatnya senang karena bagi Agus berkemah memang memberikan banyak manfaat bagi anak. Tidak hanya bisa bermain di alam, anak-anak belajar kebersamaan, dan yang tidak kalah penting ialah bisa lepas dari gawai.

"Saat berkemah, semua dituntut saling berkomunikasi, bekerja sama dan berbagi tugas," tambahnya. Gotong-royong Aroma kekeluargaan sangat terasa dalam komunitas ini. Ketika tampak anggota baru yang belum bisa mendirikan tenda, anggota lain akan datang membantu. Bukan cuma urusan tenda, proses bongkar muat barang dari mobil peserta juga dilakukan gotongroyong.

"Pas tahu ada teman K3I lagi keluarin barang dari mobil langsung kita keroyokan bantuin. Yang lagi dirikan tenda juga kita keroyok," ujar Joko Waluyo, 47, bersemangat. Soal makanan pun demikian, hampir setiap keluarga punya makanan yang siap dibagi dengan tetangga tenda lain. "Saya bawa 300 (tempe) mendoan," ujar Joko yang kala itu selesai mengedarkan makanan ringan ke semua tenda.

Joko memang dikenal sebagai salah seorang yang selalu mempromosikan dan mengajak orang untuk gabung dalam komunitas. Ia biasa disebut sebagai penyebar virus K3I. Ternyata bukan hanya Joko, hampir semua anggota K3I merupakan promotor kegiatan berkemah. Ini yang membuat anggota komunitas K3I terus bertambah. Tak mengherankan selalu muncul wajah baru dari anggota yang mula bergabung. Oleh karena itu, ide berkemah sering muncul. Setiap ada waktu memungkinkan untuk mendirikan tenda bersama, agenda kemah bersama akan langsung mencuat.

Tempat kemah biasanya didiskusikan terlebih dahulu, sekaligus acara yang bakal dilakoni. Mereka mempunyai grup jejaring sosial untuk membahas berbagai macam agenda kemah. Layaknya keluarga dekat, semua anggota K3I disebut dengan sapaan akrab ala keluarga, yakni om dan tante. "Jadi kita semua panggilnya Om dan tante," tukas Joko. Sementara itu, soal biaya, komunitas tidak menarik pungutan wajib. Segala kebutuhan, peralatan, hingga biaya masuk ke lokasi kemah dipenuhi sendiri oleh peserta. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya