Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Perjalanan Kontemplasi bersama Para (mendiang) Filsuf

Deden M Rojani
25/12/2020 21:10
Perjalanan Kontemplasi bersama Para (mendiang) Filsuf
The Socrates Express, buku terbaru penulis asal AS, Eric Weiner.(Mizan/Youtube)

Penulis buku laris versi New York Times, The Geography of Bliss, Eric Weiner, melakukan perjalanan intelektual yang berliku. Ia mengikuti jejak para pemikir besar dalam sejarah, dia menunjukan bagaimana para filsuf dari Epicurus hingga Gandhi, Thoreau hingga Beauvoir menawarkan kearifan serta kebijaksanaan praktis dan spiritual untuk masa-masa ambyar seperti sekarang.

Dikutip dari web sang penulis, Weiner menuturkan bahwa kebijaksanaan diraih salah satunya dengan berhenti sejenak. Dalam filsafat, hal tersebut sangat penting karena “berhenti sejenak” memiliki kekuatan yang sangat besar.

“Setiap hari kita sempatkan berhenti sejenak, dan bertanya apakah hidup kita sudah menjalani hidup yang kita inginkan, Socrates mengatakan bahwa filsafat berawal dengan pertanyaan, dan pertanyaan diawali dengan berhenti dan berfikir untuk bertanya.” 

Lebih lanjut, Weiner, dalam Dialog Buku The Socrates Express: Menjaga Kewarasan di Tengah Ketidakpastian, yang disiarkan daring oleh Penerbit Qanita, Kamis (26/11), mengatakan bahwa di tengah pandemi covid-19, kita harus mulai mempertanyakan apa yang terjadi di sekeliling kita, misalnya apa makna kebahagiaan dan apa tujuan hidup.

Dengan kontemplasi seperti itu, itu merupakan satu langkah untuk melakukan perjalanan ke dalam diri kita yang selama ini terkurung karena pandemi.

Dia mengatakan, bahwa seseorang yang sepenuhnya bahagia tidak akan melakukan perjalanan dan seseorang tidak akan menulis jika dia sepenuhnya bahagia. Menurut Weiner, yang membuat seseorang menulis dan melakukan perjalanan adalah kekurangan yang ada dalam dirinya.

Di dalam The Socrates Express, Weiner mengajak berkelana pada perburuan kebijaksanaan yang mengubah hidup dan menemukan jawaban atas perenungan-perenungan paling penting.

“Tujuan saya adalah mengambil subjek yang dianggap sulit. Tujuan hidup bukanlah tempat, tapi cara pandang yang baru, dan ini adalah satu keajaiban dari proses perjalanan, bukan hanya secara fisik, tapi juga perjalanan batin kita untuk menemukan makna,” tambahnya.

Dia mengatakan bahwa setiap orang cepat atau lambat akan menjadi filsuf, karena kondisi pandemi covid-19 saat ini mendorong banyak orang untuk mempertanyakan hidupnya.

“Banyak sekali hal yang relevan dengan kondisi saat ini, kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar, tapi kita hanya bisa mengendalikan diri kita,” tambahnya.

Dalam bukunya, Weiner mengutip Socrates yang mengatakan bahwa kita harus selalu mempertanyakan kebenaran di setiap kejadian yang kita alami, eric mengatakan, apakah benar kondisi saat ini semuanya buruk, padahal begitu banyak hal baik yang terjadi.

Menurutnya kebaikan tersebut hanya bisa dicapai dengan kembali pada diri sendiri, seseorang tidak akan bisa mencapai kebaikan tersebut dengan cara bergantung pada sesuatu di luar dirinya.

“Kita sangat akrab dengan gawai, kita bisa mendapatkan data, tetapi gawai tidak bisa memberikan kebijaksanaan, karena kebijaksanaan bukan dari pertanyaan apa, tapi bagaimana,” tuturnya.

Weiner menjelaskan, ada satu ungkapan dari musikus asal Inggris, bahwa pengetahuan adalah mengetahui tomat adalah buah, dan kebijaksanaan adalah mengetahui bahwa tomat itu tidak menjadi bagian dari salad buah.

Ungkapan kebijaksanaan itu kata dia, tidak berubah selama beratus-ratus tahun, kebijaksanaan itu masih sangat relevan hingga saat ini.

“Kita mendapatkan sebanyak mungkin data dan informasi, tetapi tidak makin bahagia, padahal informasi yang kita dapatkan banyak,” tambahnya.

Sementara itu, penulis Agustinus Wibowo yang menjadi pemantik diskusi mengungkapkan, meskipun selama selama pandemi masyarakat tidak bisa melakukan perjalanan secara fisik karena berbagai pembatasan, bukan berarti tak ada 'perjalanan'. 

Dengan keterbatasan fisik, Agustinus mengatakan bahwa masyarakat bisa melakukan dua hal untuk mendapatkan perjalanan utuh dalam hidupnya, yaitu perjalanan memori dan perjalanan batin.

Perjalanan memori adalah ketika seseorang mengingat kembali kenangan-kenangan yang pernah dilalui, misalnya dengan melihat foto-foto di media sosial yang diabadikan, atau pun yang lainnya.

“Perjalanan memori bukan hanya mengingat, tapi di dalamnya juga sekaligus menyaring pengalaman-pengalaman kita. Ini sudah langkah pertama  perjalanan menuju diri kita,” ujarnya.

Sementara, kata dia, untuk layer berikutnya adalah perjalanan batin, perjalanan ini adalah perjalanan yang mempertanyakan makna, dan seseorang yang melakukan perjalanan batin ini, selalu mempertanyakan apa makna yang dia alami dalam dunia fisik. (EricWeiner.com/M-2) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya