Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
Kerinduan akan Tanah Air, demikian secercah rasa yang tergambar dalam buku kumpulan puisi terbaru dari penyair sekaligus peneliti sastra, Iwan Jaconiah.
Sajak-sajak di antologi puisi ketiganya ini memang lahir dalam perantauan Iwan yang saat itu tengah menuntaskan pendidikan S-2 di Moskow, Rusia, pada 2015-2018.
Namun, bukan kerinduan miliknya semata yang termaktub dalam 139 puisi pilihan sang penyair. Di Tanah Pushkin --Aleksandr Pushkin, sastrawan kenamaan yang kerap didaulat sebagai peletak tonggak sastra Rusia modern, Iwan sempat berkorespondensi dengan beberapa pelarian dari Indonesia (eksil tahun 1950-1960-an) yang menetap di Rusia. Banyak di antara mereka yang memendam rindu begitu besar terhadap tanah kelahiran. Haru biru kerinduan yang mencekam inilah yang kemudian mengilhami Iwan untuk menulis kumpulan puisi, yang belakangan ia bukukan dalam Hoi!.
Penulis yang lekat dengan nama pena ‘pemaculkata’ tersebut mengaku terinspirasi dari sapaan keakraban yang setara, tanpa menyinggung, dan hangat yang sering dilontarkan oleh para kaum eksil di Rusia, ‘hoi!’. Melalui kumpulan sajak ini, pria kelahiran Timor Barat, NTT, ini ingin pula menyampaikan pesan rindu dari para eksil tersebut kepada Indonesia, dengan sapaan sama, ‘Hoi! Hoi Indonesia!’.
“Hoi! ini adalah sapaan untuk mengatakan hai dalam bahasa Indonesia. Hoi secara etimologi berasal dari bahasa Belanda. Kata hoi juga masih sering digunakan di dalam sapaan masyarakat terutama di Kota Kupang, Manado, dan sebagian di kota pesisir di Indonesia Timur,” kata Iwan kepada Media Indonesia dalam acara peluncuran buku Hoi! di Jakarta, Sabtu (19/12).
“Hoi! ini juga sering digunakan oleh tua-tua kita yang ada di Moskow, orang Indonesia yang usianya 80-90-an yang saya temui di sana. Mereka saling sapa, hoi!.. hoi!... untuk mengatakan bahwa mereka tetap Indonesia, mereka tetap cinta Indonesia,” imbuhnya.
Tak seperti dua buku sebelumnya, yaitu Tapisan Jemari (2005) dan Rontaan Masehi (2013), kumpulan puisi kali ini Iwan hadirkan sekaligus sebagai pembuktian atas kualitas kepenyairannya, khususnya kepada salah seorang mentornya, Remy Sylado. Sastrawan cum budayawan senior Indonesia itu disebut Iwan sebagai sosok yang berpengaruh dalam perjalanan hidupnya.
Bahkan, mantan jurnalis itu mengatakan Remy Sylado ialah salah satu orang yang menguatkan tekadnya untuk mendalami ilmu sastra hingga ke Rusia.
“ ‘Kenapa kau ingin menjadi seorang penyair?’ Itu pertanyaan yang diajukan oleh Remy Sylado kepada saya. ‘Penyair itu kan harus S-2 atau S-3, sementara kamu masih S-1’. Di dalam hati saya bilang, ‘Oke, Bang, suatu saat saya akan mengenyam S-3’.Ternyata dunia sastra itu adalah dunia olok-mengolok, dengan hasil yang positif,” kenang Iwan.
Menghidupkan Indonesia
Ada beberapa poin penting yang coba digarisbawahi Iwan dalam antalogi puisi Hoi!. Pertama ialah kesadaran ‘menjadi Indonesia’ yang justru ia temui ketika menjauh dari Tanah Air. Kedua, kesaksiannya ketika bersinggungan langsung dengan orang-orang ‘buangan’ dari negerinya. Mereka hidup di bawah bayang-bayang stigma ‘pengkhianat negara’ yang tak pernah bisa lepas dari diri renta mereka.
Salah satu persinggungan itu ia tuangkan dalam puisi YANG TERBUANG DAN YANG TAK PULANG (hlm 83): Senja itu, kita berdiri bersama. Bertanya dari kursi roda. tentang negeri Cendana, tak pernah kau singgahi. “Timor sudah lama terbagi,” ucapku. kau dan istri cuma berat-bibir, mungkinkah ketidak-adilan harus ditakar, kadang rambut keriting yang basah sulit untuk ditegakkan.
“Dalam Hoi! empat puluh persen saya berbicara tentang kerinduan saya terhadap Indonesia yang tiba-tiba muncul saat saya meninggalkan Jakarta pada 2015 hingga 2018 lalu. Kemudian, enam puluh persennya barangkali tentang pertemuan saya dengan para eksil Indonesia di Rusia,” papar penyair yang kini terdaftar sebagai kandidat Ph.D culturology ini.
Di sisi lain, Iwan juga memberi porsi yang cukup banyak untuk memunculkan wajah-wajah lain ‘Negeri Beruang Merah’; hangat, toleran, serta memiliki akar budaya yang kuat. Seperti termaktub dalam puisi Hoi, Moskwa Itu Surga! : ‘Hoi, Moskwa itu surga! Bukan lagi komunis. Sama seperti Mekkah, Madinah, dan Yerusalem. Tak seperti kampung kita, toh!.’ (halaman 57)
Namun ada secuil ‘kekurangan’ teknis dari buku terbitan penerbit independen Terbit Press ini, yaitu tidak adanya bab penyekat (pengelompok) halaman sehingga menyiratkan puisi-puisi di dalamnya dibiarkan ‘berserakan’. Meski bukan hal fatal, ketiadaan bab tersebut cukup mengganggu lantaran pembaca harus sempoyongan bolak-balik membuka daftar isi untuk mencari puisi yang ingin dibaca.
Bukan Politik, melainkan Sejarah (Politik)
Lebih lanjut, peraih penghargaan sastra Pushkin Institut, Moskow, pada 2016 ini mengaku bahwa meski puisi-puisinya sangat erat dengan unsur-unsur politik, terutama pembahasannya mengenai suka duka kaum eksil, ia tak mau terjebak dalam politik praktis. Oleh karena itu, ia lebih memfokuskan elaborasi dalam karya-karyanya untuk membahas sejarah, tanpa berusaha masuk lebih jauh ke wacana politiknya.
“Sebenarnya ketika saya menyebut sastra, saya selalu menghindari dari politik (praktis), baik di Indonesia maupun Rusia. Ketika saya omong tentang itu, saya pilih untuk menyambungkan dengan sejarahnya,” tegas Iwan.
Ia menambahkan, “Secara tidak langsung mungkin ada teman-tema tentang politik, tapi tidak spesifik. Saya masih bercerita tentang orang-orang Indonesia yang tidak pulang, meninggalkan negeri, jadi masih sekitar manusianya.”
Terbitnya buku kumpulan puisi Hoi! ini juga diapresiasi oleh Usman Kansong, jurnalis senior yang juga Ketua Dewan Redaksi Media Group. Dalam sambutannya, Usman menyatakan kebanggaannya terhadap Iwan yang sebelum bertolak ke Rusia pada 2015, sempat menjadi awak surat kabar Media Indonesia.
“Buku ini menggambarkan keindonesiaan karena bercerita tentang orang-orang Indonesia yang ada di Rusia, bercerita tentang suasana Rusia yang kemudian dikontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia hari ini. Buku kumpulan puisi ini bisa memberi pemahaman kepada masyarakat Indonesia seperti apa Rusia itu, selain tentu saja mengeratkan hubungan di antara dua negara lewat sastra,” terang Usman.
“Saya kira hari ini kita kurang sekali anak-anak muda yang berkhidmat di bidang sastra apalagi puisi. Nah, orang-orang seperti Iwan ini sebenarnya bisa mendorong anak-anak muda kita untuk gemar, minimal membaca karya-karya sastra, karena ada keindahan di situ, juga ada perenungan yang tidak hanya memperkaya batin, tapi juga pikiran kita,” jelasnya.
Usman pun berharap kehadiran karya-karya sastra yang memiliki roh kontemporer dapat membangkitkan kembali gairah membaca, juga penghargaan terhadap sastra, dari generasi muda Indonesia. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved