Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?

Bus/M-2
26/12/2020 05:00
Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?
Judul: Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?(Dok. )

Publik di Tanah Air tidak jarang menempatkan perempuan pada posisi subordinat dalam kesehari­an, bahkan di dalam sastra sekalipun. Ketimpangan inilah yang coba digugat oleh penulis muda asal Aceh, Raisa Kamila, melalui buku kumpulan cerita pendek (cerpen) bertajuk Bagaimana Cara Mengatakan Tidak? terbitan Buku Mojok, September 2020.

Raisa memulai bukunya dengan cerita tentang peristiwa mati lampu yang dialami oleh dua orang bersaudara, yang ia gambarkan cukup mencekam dengan latar belakang kerawanan sosial di Aceh setiap listrik padam. Ada juga kisah seorang gadis kecil yang berasal dari keluarga eksil dari Aceh yang meminta kepada peri gigi agar dipertemukan dengan ayahnya, hingga kisah miris tentang seorang perempuan remaja yang harus berhadapan dengan sanksi sosial lantaran hamil di luar nikah.

Penulis yang pernah menge­nyam pendidikan di negeri Belanda ini juga beberapa kali mengkritisi perihal pergolakan politik di Serambi Mekah yang ia anggap justru menyudutkan kaum perempuan. Kritik itu disuarakan melalui beberapa cerita reflektif yang secara sengaja ia singgungkan dengan subordinasi yang sering diterima oleh perempuan-perempuan di Aceh.

Sepenggal kisah yang cukup kuat merepresentasikan pesan dalam buku ini ialah sebuah cerpen berjudul Cerita dari Sebelah Masjid Raya. Secara garis besar, kisahnya menyoal pengalaman seorang anak perempuan tukang pangkas rambut di Aceh yang mesti mematuhi kewajiban mengenakan jilbab. Pengalaman tersebut seakan merenggut kemerdekaannya sebagai seorang manusia.

Cukup detail Raisa menuturkan kisah tersebut dengan setting Aceh pascaotonomi daerah dan penetapan syariat Islam, termasuk bagaimana para perempuan Aceh berbondong-bondong mulai menyesuaikan diri (memakai jilbab) dengan perubahan tatanan sosial dan politik yang menjadi latar dari kisah tersebut.

‘Ayah merogoh saku kemejanya dan berbicara agak pelan, “Kau tahu segala hal di sekitar akan berubah saat kau bahkan tidak bisa memilih potongan rambut yang kau suka. Dan suka atau tidak, yang bisa kau lakukan hanya melindungi kepalamu sendiri.” Ayah lalu menyodorkan beberapa helai uang padaku. “Lebih baik beli saja satu atau dua jilbab, untuk jaga diri,” tambahnya lagi’ (halaman 23).

Raisa Kamila juga memberi sorotan khusus tentang stigma intoleransi di Aceh, terutama kepada pendatang, yang kemudian ia jadikan latar untuk cerpennya berjudul Cerita dari Cot Panglima. Cot Panglima adalah nama dari sebuah bukit batu yang jalannya menanjak di kawasan Bireuen. Dalam cerpennya, Raisa menceritakan seorang pemuda asal Mela­yu yang terdampar di kawasan Cot Panglima lantaran mobilnya pecah ban. Dari insiden sederhana itu, Raisa kemudian meningkatkan intensitas, membuatnya menjadi kisah mencekam dengan memunculkan kerawanan yang mengancam pemuda tersebut.

‘ “Saya orang Melayu... gak bisa bahasa Aceh,” Laki-laki itu melihatku lekat-lekat. “Betul kau orang Melayu? Jangan-jangan kau orang Jawa,” suaranya mulai terdengar agak tinggi. Aku langsung mengeluarkan dompet dari saku belakang dan menyodorkan KTP ke laki-laki itu’ (halaman 81).

Keseluruhan buku tersebut memuat sepuluh cerpen dan mengusung tema besar tentang perempuan yang hidup di situasi ganjil yang serba tidak pasti. Ia menganalogikan situasi ‘ganjil’ atau ketidaknyamanan itu melalui cerita-cerita sederhana yang lekat dengan pengalaman masa kecil Raisa di tanah kelahirannya. Meski begitu, problema yang di­alami tokoh-tokoh cerpennya tetap terasa universal. (Bus/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik