Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Merawat Alam lewat Ulur-Ulur

Luqman Hakim
20/12/2020 00:50
Merawat Alam lewat Ulur-Ulur
Prosesi ritual, dari mulai arak-arakan, memandikan arca Sri-Sedono, pembacaan Ujub Jawa, tabur bunga, hingga tari tayub.(Dok. Luqman Hakim)

‘LAN caos bekti hormat maleh jajan warni songo meniko ngaweruhi engkang mbaurekso wontenipun Telogo Mburet inggih meniko Eyang Jigang Joyo (Dan memberi penghormatan lagi dengan makanan sembilan macam ini, memberi tahu yang menghuni Telaga Buret, yaitu Eyang Jigang Joyo)’.

Begitulah potongan Ujub Jawa yang dilantunkan Pamuji, 63, di pelataran Telaga Buret, Desa Sawo, Kecamatan Campur Darat, Tulungagung. Setiap Jumat Legi, bulan Selo kalender Jawa, masyarakat empat desa, yakni Desa Sawo, Ngentrong, Gedangan, dan Gamping, di Kabupaten Tulungagung berbondong mendatangi Telaga Buret untuk melaksanakan ritual adat ulur-ulur.

Ritual diawali arak-arakan sesepuh empat desa dalam Paguyuban Sendang Tirto Mulyo, menuju Telaga Buret. Dengan diiringi kesenian tradisional yang ditampilkan siswa sekolah sekitar, sesepuh menggotong empat jodang (kotak panjang) berisi makanan dan kelengkapan ritual.

Pukul 10.00 WIB, setelah tiba di lokasi dan menempati posisi, semua peserta mengheningkan cipta sejenak, mengenang leluhur mereka. Suasana telaga yang asri membuat acara semakin khidmat. Seselesai mereka mengheningkan cipta, ritual dilanjut tabur bunga ke telaga sebagai simbol rasa hormat dan syukur. Setelah itu, acara diteruskan dengan memandikan arca Sri-Sedono dengan air rendaman bermacam bunga, dan ditututp dengan slametan. Di tengah sejuknya udara telaga, sembari lesehan, saya dan seluruh yang hadir dalam ritual kemudian bersama-sama menikmati makanan yang disediakan dalam kembul bujono sembari menikmati tayub.


Pertanian dan Sri-Sedono

Ritual yang telah berlangsung ratusan tahun itu merupakan manifestasi rasa syukur masyarakat empat desa atas limpahan air yang menjadi denyut nadi pertanian mereka. Air yang merupakan aspek vital dalam pertanian membuat masyarakat bahu-membahu merawat kelestarian telaga seluas 400m2 tersebut. Menurut monografi desa, 36, 6% wilayah Desa Sawo merupakan lahan persawahan, 27,1% berupa kebun, dan 9,7% berupa ladang. Komposisi penduduknya pun juga didominasi petani. Hal itu tidak jauh berbeda dengan tiga desa tetangga yang secara rutin menggelar ritual ulur-ulur.

Pertanian merupakan hal yang dekat dengan kebudayaan. Masyarakat petani Jawa dikenal dengan pandangan mereka akan kesatuan atas manusia, alam, dan dunia spiritual. Cara pandang tersebut pada gilirannya melahirkan mitos-mitos yang diekspresikan lewat ritual. Salah satu mitos yang lekat dengan ritual adat ulur-ulur ialah mitos perginya Dewi Sri dan Joko Sedono ke negeri Cempa.

Menurut penuturan Yaji, 82, salah satu sesepuh Sendang Tirto Mulyo yang saya temui, dulu terjadi paceklik panjang di Dukuh Glagah Wangen (Desa Sawo). Sawah gagal panen dan kelaparan pun melanda. Usut punya usut, hal itu disebabkan perginya Dewi Sri dan Joko Sedono yang merupakan simbol dari sandang dan pangan ke negeri Cempa.

Singkat cerita, utusan segera dikirim ke negeri Cempa untuk membujuk Sri dan Sedono kembali ke bumi Glagah Wangen. Sri-Sedono menyanggupi permintaan tersebut asalkan disediakan kijang kencana tracak waja dan gajah putih sebagai tunggangan. Dua persyaratan itu merupakan metafor dari peralatan yang digunakan sebagai perlengkapan (umborampe) ritual ulur-ulur itu sendiri.

Hingga saat ini, mitos Sri-Sedono masih bisa ditemui di masyarakat pendukung ritual. Mitos itu divisualisasikan pada prosesi pemandian dua arca dan diverbalkan dalam ujub sebagaimana yang dilantunkan Pamuji tersebut.


Eyang Jigang Joyo

Selain mitos Sri-Sedono, mitos lain yang lekat dengan ritual dan Telaga Buret ialah mitos Eyang Jigang Joyo. Yaji menuturkan Jigang Joyo merupakan bangsawan dari Kerajaan Mataram yang melarikan diri ke timur bersama sekelompok berkuda lainnya. Di tengah perjalanan, mereka mendapati bayi yang menangis seorang diri. Karena didorong rasa iba, rombongan Jigang Joyo lantas membawa sang bayi pergi bersama mereka.

Saat tiba di wilayah yang kini disebut Buret, rombongan berhenti untuk beristirahat. Saat itu, sang bayi lagi-lagi menangis karena kehausan dan membuat rombongan kebingungan. Eyang Jigang Joyo lantas menggali lubang untuk mendapatkan air. Dari lubang itulah, muncul air yang membanjiri wilayah sekitarnya. Air yang terus memancar itu kemudian berubah menjadi telaga.

Sebelum menghilang dari wilayah Telaga, Eyang Jigang Joyo meninggalkan pesan kepada penduduk desa untuk terus merawat lingkungan telaga. Hal itulah yang menjadi alasan lain masyarakat sekitar terus melestarikan sumber air tersebut. Pelestarian itu salah satunya dilakukan dengan menggelar ritual adat ulur-ulur. Pemilihan Jumat Legi Selo untuk pelaksanaan ritual ini juga didasarkan pada ‘pesan’ Jigang Joyo.

Mitos tersebut hingga kini masih menghuni alam pikiran masyarakat sekitar. Kepercayaan itu, misalnya, terselip dalam potongan ujub dari Pamuji ‘engkang mbaurekso wontenipun Telogo Mburet inggih meniko Eyang Jigang Joyo’. Masyarakat meyakini Dhanyangan, yang oleh antropolog Clifford Geertz dideskripsikan sebagai ‘pelindung’ yang mendiami (mbaurekso) punden atau tempat keramat, merupakan sosok Eyang Jigang Joyo itu sendiri.

Kepercayaan akan Jigang Joyo itu terus menyelimuti telaga. Cerita tentang kualat bagi siapa saja yang mengganggu ekosistem telaga tersebar di masyarakat. Hal itu, misalnya, terungkap dari percakapan saya dengan Pamuji.“Dulu ada orang ngambil ikan di telaga. Tidak lama setelah itu, rumahnya roboh terkena puting beliung. Bahkan warung tempat dia singgah untuk makan juga ikut diterjang puting beliung.”

Sementara itu, Triman, mantan Ketua Paguyuban Sendang Tirto Mulyo, bercerita tentang seseorang yang meracuni monyet Telaga Buret. “Saat itu, sekitar 11 monyet mati. Setelah itu, orang tersebut merasa kesakitan di tubuhnya. Tak kunjung sembuh, beberapa warga yang tahu perihal monyet yang diracuni akhirnya menyuruh orang itu minta maaf di telaga. Anehnya, setelah minta maaf, dia seketika sembuh.”

Cerita-cerita kualat seperti itu masih sangat mudah digali dari warga sekitar telaga. Telaga yang terkesan angker membuat masyarakat berhati-hati dalam bertindak. Kesakralan telaga tidak hanya ditegaskan cerita-cerita lisan tersebut, tetapi juga lewat berbagai benda arkeologis yang berserakan di sekitar telaga. Tepat di depan bibir telaga, terdapat batu yang diyakini sebagai petilasan Eyang Jigang Joyo. Selain itu, terdapat batu lumpang serta batuan lain dalam berbagai bentuk. Lebih jauh, berbagai ritual, seperti melasti, nyadran, dan ulur-ulur, yang juga dilaksanakan di telaga turut memvalidasi kesakralannya.

Kesan sakral itu menyebar dan memengaruhi persepsi masyarakat. Hal itu berdampak pada kelestarian telaga. Pepohonan besar masih berdesakan di wilayah telaga. Satwa, seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), biawak, dan beberapa spesies burung, bebas berkeliaran di sana. Sementara itu, telaga sendiri merupakan rumah bagi beberapa satwa seperti lele lokal (Clarias batrachus), bulus, ikan bader bang, dan ikan kutuk (Channa striata).

Hal tersebut membuat Telaga Buret menjadi kantong ekologis terakhir di tengah semakin menjamurnya aktivitas tambang marmer di wilayah Tulungagung Selatan. Itu pula yang membuat pemerintah setempat, berdasarkan Keputusan Bupati No 676 Tahun 2003, akhirnya menetapkan Telaga Buret sebagai kawasan konservasi. 


Mati suri

Namun, di balik ritual yang terlihat paripurna itu, ulur-ulur juga mengalami dinamika yang panjang dan berliku. Sebelum 1965, ritual itu merupakan ritual komunal yang dilaksanakan empat desa secara bergantian. Para juru tani membawa sesaji dan juru ujub untuk mengadakan slametan di telaga. Di lokasi ritual sendiri, sudah ada juru kunci yang bertugas untuk memandikan arca asli Sri dan Sedono. Namun, sejak 1965, ritual itu mengalami mati suri.

Menurut Yaji dan Pamuji, ritual itu sempat berhenti selama 31 tahun. Meletusnya G-30-S/PKI membuat sentimen terhadap masyarakat adat semakin menguat. Selain itu, paham agama yang memandang syirik aktivitas ritual juga semakin menjamur. Gejolak sosial itu dipuncaki dengan dirusaknya arca Sri-Sedono oleh sekelompok orang. Tak pelak, ritual itu akhirnya berhenti total.

Barulah pada 1996, ritual itu kembali direvitalisasi sesepuh sekitar. Sesepuh itu kemudian membentuk organisasi bernama Paguyuban Sendang Tirto Mulyo dan menjadi masyarakat pendukung ritual hingga saat ini. Di bawah paguyuban, ritual kini dilaksanakan dalam satu waktu. Arca yang dirusak kembali dibuat sesuai dengan memori masyarakat. Struktur ritual juga  ditambahkan dan dipakemkan hingga kini.

Konsistensi dari paguyuban itu pada akhirnya mendapatkan perhatian dari Dinas Pariwisata Tulungagung. Beberapa tahun belakangan, Dinas Pariwisata Tulungagung secara rutin menggelontorkan dana untuk setiap penyelenggaraan ulurulur. Ritual yang dulu milik masyarakat komunal desa dan dilaksanakan secara crimen atau sederhana kini juga menjadi properti kabupaten. Imbas dari hal itu membuat ritual terus bersolek. Akan tetapi, meskipun secara visual ritual ini semakin atraktif, bila diselisik lebih jauh, ruh tradisi agraris masih terus berdenyut pada ritual yang pada 2020 ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda ini. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik