Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Rusa Putih dan Kesenyapan Nuca Molas

FATHURROZAK
13/12/2020 03:45
Rusa Putih dan Kesenyapan Nuca Molas
( MI/FATHURROZAK)

DINTOR, Satarmese Barat, menjadi titik persimpangan antara menuju Wae Rebo dan menyeberang ke Nuca Molas. Wae Rebo memang sudah menjadi destinasi andalan untuk banyak pelancong di Manggarai. Berada di kawasan dataran tinggi, mereka yang datang Wae Rebo bisa merasakan pengalaman tinggal di Mbaru Niang, rumah adat dengan bentuk limas.

Namun, jika trekking bukan minat Anda atau waktu Anda tak panjang, bertandanglah ke Nuca Molas, pulau yang menjadi kediaman rusa, penyu, dan burung maleo.

Dari Dintor, menggunakan kapal cepat hanya membutuhkan waktu tempuh 30 menit untuk sampai ke Nuca Molas. Jika dengan kapal motor, bisa mencapai waktu tempuh sekitar 1 jam.

Saat melakukan perjalanan lintas kabupaten Manggarai Barat-Manggarai, bersama personel Badan Penghubung Pemerintah Provinsi NTT, Media Indonesia berkesempatan berlayar ke Nuca Molas, yang oleh warga sekitar dipelesetkan menjadi ‘Pulau Mules/Molas’. Nuca berarti pulau dan Molas cantik.

Di Dintor, belum ada dermaga yang bisa dipakai kapal untuk bersandar. Jadi, moda yang kami gunakan ialah gabus persegi yang didayung untuk mencapai kapal yang akan kami tumpangi menuju Nuca Molas. Jika ombak agak kencang, bersiaplah untuk berbasahbasah sedikit.

Menyeberang ke Nuca Molas hingga saat ini memang masih cukup membutuhkan upaya ekstra sebab akses kendaraan belum tersedia secara reguler. Ketiadaan dermaga di Dintor juga menjadi perkara tersendiri karena menyulitkan orang yang akan naik ke kapal.

“Memang transportasi menjadi salah satu PR-nya. Orang yang datang juga sering katakan. Kalau bisa, ada dermaga untuk menuju kapal. Sementara di ‘Pulau Mules’, akses air bersih juga masih menjadi kendala,” kata Burhima, warga Nuca Molas, yang menjemput kami di Dintor dan kelak mendampingi selama di pulau.

Perjalanan dengan kapal menuju pulau cukup menyenangkan lantaran dari kejauhan, kami bisa melihat Gunung Poco Kepi (gunung berhutan) dan lanskap sabana di sisi lain. Sebelum mendarat di salah satu sudut pulau, kami pun diajak berkeliling dulu mengikuti garis bibir pantai.

Saat berlabuh, suasana sepi menyambut kami. Hanya sepoi angin yang lalu menyapa ketika kami menapakkan kaki di pasir pantai yang tampak resik.

Suasana lengang itu lantaran permukiman memang berjarak beberapa kilometer dari kawasan pantai. Untuk mencapai permukim an, Burhima memandu kami mengikuti jalan setapak, menembus hutan yang menjadi latar garis pantai berpasir putih itu.


Rusa putih


Pulau ini bisa menjadi tujuan yang sesuai bagi orang-orang yang ingin mencari keheningan, menjauh dari hiruk pikuk. Tentu saja di sana kita tidak sekadar bisa duduk melamun di bibir pantai sambil menyimak senja. Berkeliling pulau dengan kendaraan roda dua sewaan bisa menjadi pengisi waktu.

Atau, mencari lonjakan adrenalin dengan memanjat tebing. Pada 2018, tim Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada (Mapagama) melakukan eksplorasi di pulau ini.

Dalam kesempatan itu, mereka sempat berolahraga panjat tebing di kawasan Poco Kepi. Bukan tidak mungkin, Anda yang memiliki hobi serupa bisa merasakan juga pengalaman
tersebut.

“Harapannya tentu Nuca Molas bisa lebih dikenal lagi di Indonesia. Mereka bisa datang ke sini menikmati keindahan Nuca Molas. Selain pantainya, pengunjung juga bisa panjat tebing,” sambung Burhima.

Atau mungkin, berburu foto satwa di padang rumput. Siapa tahu, Anda tidak hanya akan bersua dengan kera-kera liar, tapu juga dengan si rusa legenda, Tagih Bakok.

Saat menjamu kami di kediamannya, Burhima berkisah tentang satu waktu saat ia menjabat kepala desa. Rusa-rusa di Nuca Molas, tuturnya, berada di kawasan Pangka Mese (padang besar). Hewan-hewan tersebut menjadi bagian sejarah para tetua dan keturunan mereka yang kini tinggal di pulau mungil itu.

“Ada Tagih Bakok (rusa putih). Konon cerita dari leluhur, rusa di sini adalah bukan rusa pendatang, tetapi rusa asli. Yang memang sudah ada dari nenek moyang kita. Ada rusa yang
menjaga sesama rusa, si rusa putih itu. Orang kalau berburu rusa, dan bertemu dengan Tagih Bakok, mereka harus berbalik dan pulang. Kalau tetap memaksa berburu, akan
ada hal buruk. Ini juga terjadi ketika saya masih menjadi kepala desa waktu itu. Ada yang memaksa tetap berburu setelah ketemu dengan Tagih Bakok. Ketika pulang ke Ruteng, ada keluarganya yang meninggal,” cerita Burhima.

Ia sendiri mengaku berupaya menjaga rusa-rusa di sana dari ancaman pemburu yang notabene kebanyakan warga lokal. Namun ujarnya, saat ini kesadaran lingkungan warga Pulau Mules sudah menguat. Mereka tidak lagi memburu rusa, ataupun mengambil telur-telur penyu di bibir pantai.

Nuca Molas memang juga menjadi rumah Penyu. Penyu-penyu itu biasanya muncul setiap malam pada periode Desember-April. Sementara itu, burung ikonik maleo berada jauh di hutan.

“Dari tiga hutan yang ada di Nuca Molas, Wae Keli, Wae Lambo, dan Wae Raga, semuanya menjadi rumah untuk kawanan Maleo,” kata Burhima.

Ia menambahkan, “Burung ini tidak sering warga ambil, alasannya nenek moyang kami dulu berpesan, tidak boleh memakan daging burung maleo. Karena pernah datang kabar lewat isyarat, ada yang meninggal di kebun, tetapi sendirian. Nah, yang kasih kabar itu burung maleo.”

Jika kelak berkunjung ke Nuca Molas dan tengah beruntung, Anda juga bisa berkesempatan melihat paus dan semburannya di sepanjang jalur Dintor ke Nuca Molas.

“Kalau kita berlayar jam sembilan pagi, antara Dintor dan Mules itu akan jumpa paus. Mereka juga ada di bagian selatan Desa Nuca Molas. Itu artinya tanda-tanda mau teduh, dan peralihan musim angin barat, mulai bulan kesembilan hingga bulan ke-12, dari barat ke tenggara. Dan muncul lagi pada bulan keempat, itu dari arah tenggara ke barat,” papar Burhima.

Di rumah Burhima, Media Indonesia juga mencicip kudapan ala Manggarai, loko janga. Kue itu terbuat dari adonan tepung, berbentuk tebal dan bertekstur empuk, berwarna cokelat dari baluran gula aren. Rasanya manis, mirip seperti kue donat.

Di atas loce (tikar) yang digelar di lantai rumah, keluarga Burhima menyajikan hidangan ikan yang durinya berwarna biru. Bagi warga Manggarai, keberadaan loce yang terbuat dari re’a (pandan) itu menjadi simbol sambutan kepada tamu yang datang. Memecah kebekuan menjadi obrolan yang renyah.

Petang datang dan saatnya kami pulang. Perjalanan kembali mungkin akan terasa biasa saja andai kami tak mengalami hal yang sedikit mendebarkan.

Saat itu, pukul 17.30 Wita. Kami sudah berada di kapal motor. Namun, hingga sekitar 2 jam kemudian, kapal kami masih terombangambing di pinggir. Yang lebih apes, tiba-tiba kapal mati dan menolak dihidupkan lagi.

Ini mengingatkan Burhima akan pagi hari tadi, ketika ada warga kampungnya yang meninggal. Burhima tidak mengikuti rangkaian upacaranya hingga selesai lantaran mesti ke Dintor untuk menjemput kami.

“Ketika ada orang meninggal, wajib kita pergi ke rumahnya membawa wae lu u (air mata duka) berupa uang. Kalau sudah melakukan itu, dan kemudian kita akan bepergian, insya Allah tidak ada halangan,” tuturnya.

Untung saja kami akhirnya tak perlu menghabiskan malam di atas kapal. Burhima menghubungi rekannya, dan akhirnya dengan ditarik menggunakan kapal motor, kapal cepat kami melaju, menjauhi pantai dan pulau cantik nan senyap itu. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya