Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
BEBERAPA waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan Odading Mang Oleh. Gara-gara cara pemasarannya yang aktraktif lewat video, dagangan pria asal Bandung ini laris diserbu pembeli. Rasanya, ya mbuh, saya tidak pernah coba. Mungkin tidak beda jauh dengan kue dading yang jadi jajanan favorit saya sewaktu di sekolah dasar, selain cakwe. Sebelum fenomena odading ini, Dalgona Kopi dari Korea juga bikin orang Indonesia latah ikut-ikutan membuat racikan minuman berbahan dasar kopi tersebut.
Dalgona bisa sekejap tandas, apalagi minumnya senja hari selepas hujan ditemani odading. Namun, resep kedua penganan itu bisa bertahan, bahkan direproduksi siapa pun. Seperti halnya resep ayam goreng tepung ala Harland David “Colonel” Sanders (Kentucky Fried Chicken), yang kini banyak diproduksi dalam berbagai versi di kampung-kampung. Dalam konsep ekonomi pengetahuan, resep itulah yang berharga.
Dalam bukunya Living on Thin Air–The New Economy (1999), penulis Inggris Charles Leadbeater menyebut, resep dapat berpindah tangan ke pihak lain, direproduksi, digandakan penikmat kuliner di seluruh dunia. Begitu pun dengan perangkat lunak komputer. Ia dapat direproduksi, ditambahkan, atau digunakan untuk melahirkan produk inovasi baru.
Menurut mantan penasihat Tony Blair (mantan PM Inggris) ini, dalam kapitalisme lama, aset terpenting ialah bahan mentah, tanah, tenaga kerja, dan mesin. Sementara itu, dalam kapitalisme baru, bahan mentahnya ialah pengetahuan, kreativitas, kecerdasan, dan imajinasi. “Kini kita menerima manfaat dari arus pengetahuan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari sains dan pendidikan, juga dimudahkan cara untuk berbagi dan menggabungkan pengetahuan kita, melalui komunikasi,” katanya.
Ekonomi pengetahuan inilah yang berkembang signifikan pada sistem perekonomian abad ini. Lihat para CEO perusahaan rintisan, baik di bidang marketplace maupun transportasi. Mereka tidak perlu memiliki banyak aset, seperti tanah, kendaraan, maupun buruh. Aset utama mereka ialah ide, kreativitas, dan pengetahuan. Begitu pun para pangeran dari Lembah Silikon, pendiri perusahaan teknologi raksasa di Amerika Serikat sana.
Tepat kiranya yang disampaikan Presiden Jokowi saat membuka event Inovasi Indonesia Expo (I2E) pada 10 November lalu, bahwa Indonesia perlu lebih banyak lagi inovator di berbagai sektor yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti pangan, energi, kesehatan, termasuk inovasi dalam manajemen model bisnis dan digital preneurs.
Kita jangan sekadar bangga dan puas dengan ditasbihkannya rendang sebagai makanan terlezat di dunia, misalnya. Coba jadikan Rumah Makan Padang seperti halnya McDonald’s atau Starbucks, yang tersebar di berbagai belahan dunia, atau jadikan es cendol seperti halnya Thai Tea, minuman dari Thailand, yang kini digandrungi anak-anak muda.
Indonesia juga kaya ragam kuliner kok. Tinggal bagaimana cara kita dalam mengemas dan menjualnya. Jangan hanya rajin mengonsumsi, tapi miskin kreativitas dan inovasi.
Contoh lainnya pemimpin yang gagal mengelola urusan beras ialah Yingluck Shinawatra.
Biar bagaimanapun, perang butuh ongkos. Ada biaya untuk beli amunisi dan peralatan tempur.
WAKTU pemungutan suara untuk pemilihan presiden (pilpres) ataupun legislatif (pileg) tinggal menghitung hari
DI salah satu grup perpesanan yang saya ikuti, salah satu topik yang sedang ramai diperbincangkan ialah lolosnya timnas Indonesia
Bayangkan pula berapa ton kira-kira limbah yang dihasilkan dari poster ataupun spanduk tersebut di seluruh Indonesia?
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved