Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SAYA ingin mengutip apa yang ditulis Fiersa Besari, penulis yang mengawali kariernya sebagai vokalis band indie, di akun Twitter miliknya ‘Yang membedakan pemenang dan pecundang hanya satu: pemenang tahu cara berdiri saat jatuh, pecundang lebih nyaman tetap ada di posisi jatuh’.
Saya sangat setuju dengan apa yang diungkapkan Fiersa terkait dengan kata pecundang. Saya menafsirkan kata pecundang di kalimat itu sebagai pihak atau orang yang tidak mau bangkit dari kekalahan. Dia terus larut dalam kondisi itu, yang membuatnya kian terpuruk. Tak ada keinginan untuk bangkit dan kembali berjaya.
Memang, kalau melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pecundang (dari kata dasar cundang) dimaknai sebagai ‘yang kalah’, ‘ orang yang menghasut’. dan ‘orang yang menipu’. Akan tetapi, makna pertamalah yang paling melekat dengan arti kata pecundang. Pecundang itu identik dengan kata kalah, atau orang/pihak yang kalah.
Terkait dengan pemaknaan tersebut, para penulis berita olahraga pun menjadi ‘gemar’ menggunakan kata pecundang atau kata kerja mempecundangi/memecundangi dalam pemberitaan.
Pihak/orang yang menang dalam sebuah pertandingan olahraga kerap disebut ‘berhasil mempecundangi/ memecundangi’ yang kalah.
Dengan begitu, pihak/orang yang kalah dianggap pecundang. Padahal belum tentu ‘yang kalah’ itu akan terus dalam kondisi kalah dalam sebuah pertandingan.
Misalnya, judul pemberitaan ‘ Madrid dan Juventus Jadi Pecundang di Liga Champions’. Menurut saya, judul seperti itu ‘sangat kejam’ memvonis ‘yang kalah’ dalam sebuah pertandingan olahraga. Kalau kita lihat kenyataannya, meski kedua klub itu kalah di Liga Champions, di liga domestik mereka tetap menjadi kampiun. Dengan realitas tersebut, bagi saya, judul itu menjadi rancu. Madrid dan Juve tidak pantas disebut pecundang. Lebih elok kalau judul itu menjadi ‘Madrid dan Juventus Tersingkir di Liga Champions’.
Di sisi lain, masih dalam konteks pemberitaan olahraga, saya sering menjumpai penggunaan kata kerja mempecundangi/memecundangi. Misalnya pada judul berita ‘Manchester City Mempecundangi MU 3-1 di Old Trafford’. Penggunaan kata kerja mempecundangi/memecundangi, menurut saya, juga menyalahi aturan pembentukan kata.
Bentuk mempecundangi/memecundangi yang dimaknai ‘mengalahkan’ sejatinya tidak berterima secara morfologis. Mempecundangi/memecundangi dianggap terbentuk dari imbuhan me-i (me+pecundang+i). Jadilah bentuk mempecundangi (huruf p di awal kata pecundang tidak luluh) atau memecundangi (huruf p di awal kata pecundang luluh). Saya menyatakan kedua bentuk itu salah!
Ingat, kata pecundang bukanlah kata dasar. Ia telah mengalami penambahan awalan pe-. Dari kata dasar cundang menjadi pecundang. Jadi ketika mendapat imbuhan me-i, yang diambil ialah kata dasarnya, cundang, menjadi mencundangi (me+cundang+i), yang menurut KBBI berarti mengalahkan. Dengan demikian, kata kerja mempecundangi/memecundangi ialah bentuk yang salah. Judul ‘Manchester City Mencundangi MU 3-1 di Old Trafford’ lebih tepat. Secara morfologis, kata mencundangi di judul itu sudah benar, tetapi secara rasa bahasa saya tetap ‘menggugat’ penggunaan kata itu.
Saya juga jadi teringat dengan bentuk salah kaprah kata kerja berpetualang. Berpetualang terbentuk dari awalan ber+petualang. Kata petualang dianggap sebagai kata dasar, padahal bukan. Petualang terbentuk dari awalan pe+tualang. Jadi, kata dasarnya ialah tualang, bukan petualang. Ketika mendapat awalan ber-, kata yang terbentuk ialah bertualang. Bukan berpetualang. Namun, meski salah, kata kerja berpetualang kadung tersebar dan digunakan banyak orang.
Oleh karena itu, mengetahui proses terbentuknya suatu kata, bagi para jurnalis atau penulis, amat penting. Dengan begitu, mereka bisa memilih atau memilah kata dengan cermat dan tepat sehingga tidak ‘berpartisipasi’ menyebarkan ‘kesesatan’ berbahasa
Yuk main teka-teki lucu dan menghibur ini dengan teman.
Kamu yang ingin mengetahui apa itu ice breaking, berikut penjelasan tentang hal tersebut!
Istilah air putih ini hadir sebagai pembeda antara air bening dan air yang layak diminum.
Akan tetapi, sayangnya, banyaknya istilah terkait kasus korona itu tidak cukup mampu menggerakkan masyarakat untuk sadar akan bahaya covid-19.
Kata yang berkelonan tanpa aturan merupakan kretivitas yang digunakan sekali jalan. Akhirnya hilang dan terlupakan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved