Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
DENGAN adanya Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, mau tidak mau semua produk yang dijual di Indonesia harus memiliki sertifikat halal pada 2019. Itu berlaku bukan hanya untuk pangan, melainkan juga obat-obatan, kosmetik, hingga barang gunaan.
Namun, Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muti Arintawati mengatakan masyarakat tidak perlu panik dan bingung karena pemberlakuan tersebut bertahap. Pemerintah juga masih memiliki pekerjaan rumah yang besar terkait dengan pembiayaan yang akan ditanggung negara atau dibebankan ke produsen.
“Hal apa yang paling mendasar yang harus dikerjakan, seperti makanan, obat-obatan, kosmetik, juga kemasan yang bersentuhan langsung dengan makanan. Jangan sampai kebijakan membuat masyarakat gaduh, menimbulkan banyak pertentangan, dan harus disesuaikan dengan realitas,” tuturnya.
Untuk menyosialisasikan produk halal, MUI menggandeng 18 komunitas halal di Tanah Air. LPPOM MUI juga sudah memverifikasi 40 lembaga penyertifikasi halal dari berbagai negara.
Setiap tahun, di LPPOM MUI ada peningkatan sertifikasi hingga 20% untuk produk pangan ritel. “Pelan-pelan, produsen lokal sudah mulai peduli akan pentinganya sertifikasi halal dan harusnya bisa menjadi produsen pertama dari produk-produk halal,” tambahnya.
Prasangka baik
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Luthfi Fathullah, mengingatkan agar kebutuhan akan produk halal tidak lantas membebani dan menyusahkan. Terkait dengan produk makanan, ia meyakini pada dasarnya makanan yang dibuat orang Indonesia mayoritas tergolong halal.
Dengan begitu, masyarakat tidak sampai perlu menuntut kepada penjaja kaki lima soal kehalalan. “Kecuali menemukan adanya indikasi penggunaan bahan yang bersifat tidak halal,” tambahnya.
Hal senada dikatakan ulama yang juga Pemimpin Pesantren Darush Sholihin, Gunung Kidul, Muhammad Abduh Tuasikal. “Hendaknya mengutamakan prasangka baik kepada sesama.
Produk yang tidak memiliki sertifikasi halal bukan berarti pasti haram,” tuturnya.
Perihal sertifikasi, ia setuju jika hal tersebut perlu dilakukan untuk menenteramkan hati konsumen. Jika memang perpanjangan tangan pemerintah untuk proses sertifikasi halal berada di tangan LPPOM MUI, produsen harus menuruti aturan tersebut.
“Untuk mengharamkan sesuatu makanan, butuh dalil dan bukti yang kuat. Pada dasarnya semua makanan itu halal dan tidak bisa berubah hukumnya tanpa disertai bukti kuat,” ungkapnya. (Wnd/M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved