Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
PANGGUNG utama berdiri megah. Latar panggung menampakkan empat gunungan besar yang dijajar di atas level peninggi. Dua di sisi kiri dan dua di sisi kanan. Masing-masing berdiri condong ke arah luar panggung. Segaris di belakang batas gunungan, sekelompok pemusik mengambil posisi.
Mereka menanggung alat musik di bawah nyala lampu temaram. Ada terompet, perkusi, biola, dan drum. Cahaya lampu itu juga membuat para pemusik masih bisa dilihat dari arah kursi penonton, tanpa harus beralih fokus saat adegan berlangsung. Sebab, beda terang antara lampu panggung untuk adegan dan cahaya yang menerangi area pemusik.
Itu merupakan tata panggung (skenografi) pada pentas Semar Gugat produksi Teater Koma. Skenografi atau tata panggung itu tidak berubah selama kurang lebih 2 jam durasi pertunjukan. Hanya beberapa detail properti yang diubah sesuai dengan babak yang dimainkan dan kebutuhan adegan. Pertunjukan digelar selama seminggu di Gedung Kesenian Jakarta, 3-10 Maret 2016.
Cinta bisa jadi awal petaka. Setidaknya itulah mula cerita Semar Gugat. Atas nama pembuktian cinta, Srikandi meminta mas kawin tak lazim. Arjuna harus memotong kuncung Semar di hadapan para tamu undangan acara pernikahan. Karena merasa terhina, Semar menggugat. Semar menolak takdir. Ia mengajukan banding pada para dewa. Atas nama keadilan, ia meminta kedudukan dan takhta. Ia hendak membalas perlakuan kesatria yang lalim.
Semar berhasil. Ia mendapati dirinya memerintah kerajaan Simpang Bawana Nuranitis Asri (Sibanuas State) bergelar Prabu Sanggadonya Lukanurani.
Lalu apakah semua masalah teratasi setelah Semar menjadi raja? Ternyata tidak. Semar malah mendapati istrinya Sutiragen tidak lagi mengenalinya. Perang tanding lawan Arjuna dan Srikandi pun tak mampu Semar menangi. Semar tak sakti lagi sejak jadi raja. Semar tak lagi mampu mengeluarkan kentut sakti.
Semar sadar. Ia meminta dikembalikan ke wujud awalnya. Itulah jati dirinya yang asli. Semar.
Teater Koma seolah tak henti memproduksi ulang gagasan. Cerita bisa kembali digubah tanpa meninggalkan roh awal penciptaan. Lakon ini bukanlah barang baru. Sebab, 21 tahun lalu, judul serupa dipentaskan Teater Koma selama 14 hari pada November 1995 di Taman Ismail Marzuki. Bahkan, naskah karya N Riantiarno memperoleh penghargaan South East Asia Writers Award pada 1998 di Thailand.
Siapa bilang memainkan lakon lama itu mudah? Sebab, semua kebutuhan panggung, seperti properti, dan kostum mesti dibuat ulang. Padahal, waktu persiapan hanya tiga bulan. Bahkan, produksi properti panggung dan kostum hanya memakan waktu dua bulan. Urusan skenografi (Taufan S Chandranegara) dan tata busana (Rima Ananda) tentu bukan pekerjaan mudah.
Autokritik
Teater Koma dikenal dengan busana yang megah dan berwarna saat pementasan, begitu pun dengan properti panggung yang mendetail.
“Pertama kita langsung mikirnya wayang kontemporer. Lalu kita komunikasi bareng-bareng sama Mbak Rima juga,” tegas Taufan.
Banyak pesan tebersit dengan lakon itu. Pesan itu muncul menggelitik dari dialog antarpemain. Respons kondisi sosial dan politik pun menjadi khas Teater Koma. Masih ada pesan kuat lain, yakni autokritik terhadap ego manusia yang mewujud dalam karakter Semar.
“Semua bernama Semar. Semua adalah Semar. Mungkin nasib buruk yang menimpa Semar sedang terjadi pada kita. Lalu, kalau memang betul, apa yang harus kita lakukan?” begitu menurut pimpinan produksi Ratna Riantiarno.
Selain itu, yang jadi menarik, konsep pertunjukan mengawinkan tiga gaya, yaitu ludruk, srimulat, dan wayang. Ludruk diperankan tokoh wanita oleh aktor pria, wayang berpola peran yang unik, dan srimulat berciri spontanitas dan improvisasi di atas panggung.
Apa pun itu, itu mengutip penulis naskah sekaligus sutradara N Riantiarno.
“Semar Teater Koma tentu berbeda dengan Semar yang lain. Mungkin ia Semar, mungkin juga bukan. Semar Teater Koma adalah sosok yang terluka, dihinakan, dan papa. Semar yang sebetulnya tengah berupaya mencari Semar sejati.” (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved