Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Tradisi Masyarakat Using yang tidak Pernah Usang

Novi Anoegrajekti
19/7/2020 00:55
Tradisi Masyarakat Using yang tidak Pernah Usang
Gebyar Gandrung yang digelar setiap tahun oleh Paguyuban Pecinta Gandrung Profesional Lestari Budaya Banyuwangi.(Dok Novi Anoegrajekti)

MAESTRO gandrung Temu Misti mulai menembang diiringi seperangkat alat gamelan, seperti kempul (gong), kluncing (triangle), biola, kendang, dan kethuk. 

Suaranya tinggi melengking. Lebih dari 6 menit menyanyi dalam bahasa (suku) Using, ia kemudian berdiri dan mulai menggerakkan lentur tangannya. Dengan luwes, Temu Misti memainkan sampur atau selendangnya. Gerakan pinggulnya tampak anggun sekaligus lincah meski usianya tak lagi muda.

Maestro yang pernah mendapatkan penghargaan kebudayaan pada 2018 ini masih menyimpan energi besar. Seniman kelahiran 1953 itu merupakan satu di antara sedikit seniman gandrung yang mempertahankan pakem gandrung klasik. Temu Misti ‘menggandrung’ dengan melalui empat tahapan, yaitu jejer gandrung (tarian pembuka), repen (nyanyian yang tidak ditarikan), paju (menari bersama tamu), dan seblang subuh (tarian penutup).

Gandrung adalah salah satu seni tradisi masyarakat Using Banyuwangi yang telah mengalami tahapan metamorfosis panjang. Bermula dari seni perjuangan, yaitu media komunikasi antarpejuang yang tercerai-berai akibat perang. Gandrung berkembang menjadi seni pergaulan dan
akhirnya menjadi seni hiburan.

Sebagai seni perjuangan, gandrung menjadi media komunikasi antarpejuang Using pada saat Blambangan menjadi objek aneksasi kerajaan-kerajaan besar Jawa dan Bali. Sebagai seni pergaulan, gandrung memberikan layanan secara personal pada saat menari dengan pemaju dan menyelempangkan sampur.

Layanan kelompok dilakukan dengan hadir pada tiap-tiap meja secara berurutan, sedangkan layanan publik dilakukan pada saat adegan jejer atau tari pembuka. Tarian penutup disebut seblang-seblang atau disebut seblang subuh karena dilakukan menjelang subuh. Sebagai seni hiburan, gandrung menggunakan kaidah-kaidah estetika yang dapat dinikmati, dari make up, kostum, gerak tari, hingga tembangnya.

Dari sisi pelaku, gandrung pada mulanya dibawakan oleh laki-laki kemudian menjadi perempuan. Peralihan dari gandrung laki-laki ke gandrung perempuan dikatakan Scholte (1927) terjadi sepeninggal gandrung Marsan sebagai gandrung laki-laki yang terakhir dan digantikan Semi sebagai gandrung perempuan pada 1895.

Pergantian tersebut tampaknya tidak serta-merta membuat penari gandrung laki-laki di Banyuwangi habis. Hasil penelurusan pada 2018, penulis menemukan jejak gandrung lanang yang hingga saat ini masih hidup, yakni gandrung Maksum, yang aktif sebagai penari gandrung profesional pada 1955-1956. Maksum tinggal di Dusun Gumuk Lor, Kecamatan Licin, Banyuwangi. Lingkup tanggapan sampai antarkecamatan, termasuk salah satu yang dia ingat ialah ditanggap untuk peresmian Pasar Glagah.

Gandrung Maksum berlatih menari gandrung pada Bu Darti yang merupakan penari gandrung generasi setelah Semi. Dengan demikian, munculnya gandrung Semi bukan akhir generasi gandrung lanang, tapi sebagai awal munculnya gandrung perempuan.

Sampai 1956 masih ada gandrung profesional laki-laki. Peran negara Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sebagai representasi negara menampakkan kehadirannya dalam bentuk kebijakan di bidang kebudayaan. Mulai zaman Bupati Joko Supaat Slamet, T Purnomo Sidik, Samsul Hadi, Ratna Ani Lestari, hingga Abdullah Azwar Anas.

Khusus dalam kaitannya dengan seni tradisi gandrung, Samsul Hadi berkontribusi besar dengan mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan gandrung sebagai maskot pariwisata Banyuwangi yang disusul surat keputusan selanjutnya yang menjadikan jejer gandrung sebagai tari selamat datang di Banyuwangi.

Kebijakan tersebut diikuti dengan program pelatihan gandrung profesional yang dikoordinasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Gandrung hasil pelatihan tersebut saat ini masih mewarnai dan meramaikan tanggapan gandrung di Banyuwangi, seperti gandrung Mia, Wulan, dan Yuyun.

Di masa pemerintahan Bupati Abdullah Azwar Anas sekarang, popularitas seni tradisi gandrung semakin meluas pada tataran global melalui Festival Gandrung Sewu yang diselenggarakan setiap tahun sejak 2012. Sebagai tarian khas, pada 2013 gandrung Banyuwangi mendapat pengakuan sebagai warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Kreasi inovasi

Di masa sekarang, seni tradisi hidup berdampingan dengan seni modern yang banyak diminati masyarakat. Hal itu menjadi pemicu  munculnya kreasi dan inovasi pada pelaku seni gandrung. Mereka gigih beradaptasi dengan tuntutan pasar. 

Gandrung merupakan kombinasi dari seni tari, musik, dan vokal. Penari gandrung dituntut memiliki kepiawaian olah tubuh dan vokal, dengan iringan musik gamelan. Sebagai seni pertunjukan, mereka memperkuat keindahan kostum dan make up. Inovasi musik dilakukan dengan menambah peralatan musik utamanya untuk memperkuat melodi dengan menggunakan keyboard. Inovasi vokal dilakukan dengan membawakan lagu-lagu baru yang diminati masyarakat.

Inovasi seni tradisi gandrung antara lain dilakukan dengan meniadakan adegan tertentu, seperti jejer pada awal pertunjukan dan seblang subuh pada akhir pergelaran gandrung. Sementara itu, gandrung senior yang saat ini masik aktif sebagai sinden dan pelatih tari atau vokal, seperti Temu Misti, Darti, dan Supinah, cenderung masih mempertahankan pakem gandrung yang diawali jejer gandrung, repen, paju, dan seblang subuh.

Gandrung dengan inovasi dan gandrung pakem semuanya memiliki ruang ekspresi. Tanggapan pun mulai tumbuh beragam. Perkebunan Kopi Selogiri, misalnya, setiap tahun menanggap gandrung untuk mengawali musim panen kopi. 

Rumah Makan Pancoran, Warung Kemarang, dan Ijen Resort, juga beberapa hotel di Banyuwangi, secara periodik menanggap gandrung untuk menghibur para tamu. Semua itu menjadi ruang ekspresi dan promosi seni tradisi gandrung.

Berkembangnya pariwisata di Banyuwangi yang memang menjadi salah satu sektor unggulan juga menjadikan tanggapan bertambah. Beberapa lembaga yang menyelenggarakan paket wisata budaya menawarkan beberapa seni tradisi sebagai hiburan, termasuk seni tradisi handrung.

Kesenian ini juga menjadi bagian dari beberapa ritual, seperti Barong Ider Bumi Desa Kemiren, Keboan Alasmalang, dan Petik Laut Muncar. Fenomena tersebut sebagai salah satu indikasi bahwa seni tradisi gandrung masih terus diminati masyarakat.

Masa aktif sebagai penari gandrung dibatasi oleh usia. Masa primadona sebagai penari gandrung sekitar usia 20-35 tahun. Dengan bertambahnya usia, kemamuan fisik dan daya tarik akan semakin menurun. Kondisi tersebut perlu diantisipasi oleh para penari gandrung. Masa sebagai primadona, tanggapan terus mengalir dan pada bulan tertentu tak jarang sebulan penuh menerima tanggapan.

Namun, setelah masa tersebut berlalu mereka harus tetap hidup. Beberapa gandrung yang tidak melakukan antisipasi sebagian mengalami kesulitan ekonomi pada masa ‘pensiun’.

Memasuki masa tua, saat ini para penari gandrung mengantisipasi dengan mengembangkan usaha yang berkaitan dengan profesinya dalam bidang seni dan melakukan usaha bisnis lainnya. Gandrung Wiwin, misalnya, mengantisipasi masa tua dengan menabung dalam bentuk perhiasan dan membuka salon kecantikan. 

Gandrung Supinah  mengantisipasi dengan mengembangkan usaha homestay, menyewakan kostum gandrung, membuka katering, menyediakan ruang pertemuan, dan membuka pelatihan tari, panjak, dan vokal. Adapun gandrung Temu mengantisipasi dengan mengembangkan usaha ternak unggas serta pelatihan tari dan vokal. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya