Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Siang di Klampisireng

Ono Sarwono, Penyuka wayang
21/6/2020 05:00
Siang di Klampisireng
Ono Sarwono, Penyuka wayang(MI/EBET)

SUARA rancak burung prenjak nyaring terdengar dari depan rumah sederhana di pagi menjelang siang yang cerah di Dusun Klampisireng. Sang tuan rumah, Semar Badranaya, meyakini itu pertanda bakal ada tamu datang. Ia bersiap menyambut bersama ketiga anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Benar adanya. Tidak berapa lama kemudian Raden Gatotkaca rawuh (datang) berkunjung. Panakawan menyambutnya dengan hangat dan saling menyampaikan kabar keselamatan masing-masing. Mereka lalu masuk ke rumah dan duduk bersila beralaskan tikar mendong di ruang tengah.

Sejenak setelah suasana lerem (tenang), Semar mohon izin bertanya kepada Gatotkaca, apakah kedatangannya ke Klampisireng diutus Raja Amarta Prabu Puntadewa atau keinginan pribadi. Sang tamu mengaku dirinya sowan atas inisiatifnya sendiri. Namun, lanjut sang senapati, kedatangannya masih ada kaitannya dengan urusan kebangsaan.

Semar berterima kasih atas kelonggaran Gatotkaca sebagai nayaka praja sudi ke rumahnya. Ia meminta maaf atas kekurangan dan segala hal yang tidak berkenan dalam menerima kedatangannya.

Selain itu, Semar ingin tahu kabar Prabu Puntadewa serta adik-adiknya keluarga Pandawa. Ia merasa sudah agak lama tidak menyeba (menghadap) sang raja karena semata-mata patuh terhadap protokol kesehatan akibat sedang mengganasnya pageblug mayangkara (wabah penyakit).

Gatotkaca mengatakan pepundennya, Pandawa, dalam keadaan sehat walafiat. Namun, mereka semua sedang prihatin karena kondisi kebangsaan Amarta yang sedang ‘sakit’. Itulah yang mendorong dirinya sowan ke Klampisireng untuk meminta saran dan petunjuk Kiai Semar.

“Eh…hemmm. Ada apa ta, Ndara (Tuan)?” tanya Semar.

Mendadak suasana menjadi hening. Tidak ada yang bicara. Pun burung prenjak berpasangan yang semula rajin berjingkat-jingkat dan riang mengoceh telah beranjak entah ke mana. Yang terdengar hanyalah gesek daun-daun kering yang berserakan  tertiup angin musim bediding (awal kemarau).

Gatotkaca menunduk. Ada kepiluan dalam hatinya. Ia berusaha menguasai diri dan pelan mendongakkan kepala. Mukanya agak memerah dan matanya berkaca-kaca. Tampak kesatria yang dikenal tangguh ini ingin bicara, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar, hanya helaan napas yang terdengar.

“Sabar, Ndara. Ditata dulu suasana hati dan pikiranmu,” pinta Semar.

“Maaf, Kiai. Saya merasa sedih atas kondisi kebangsaan Negara Amarta saat ini,” ujar Gatotkaca.

Dalam struktur pemerintahan di Amarta, Semar memang tidak menduduki jabatan resmi apa pun. Namun, ia selalu menjadi sumber rujukan dan pencerahan bagi Pandawa dan keluarga besarnya setiap menghadapi masalah. Ini karena Semar adalah pamomongnya, titah yang sejatinya dewa mangejawantah.

“Kondisi yang bagaimana, Ndara?” tanya Semar.

Putra kedua Werkudara ini mengungkapkan Amarta telah kehilangan ketenteraman. Kedengkian, kebencian, caci maki, kemarahan, dan perilaku tidak terpuji lainnya menjadi praktik kehidupan warga sehari-hari. Tidak ada lagi budi pekerti, tata krama, sopan-santun, norma, nilai-nilai keluhuran. Sikap adigang, adigung, adiguna (kejemawaan) menjangkit di mana-mana.

Kesatria yang tinggal di Pringgondani ini juga mengabarkan bahwa Pandawa dan kalangan istana tidak henti-hentinya menjadi sasaran sumpah serapah, kritikan destruktif dan cenderung menjatuhkan.

Ia memberikan contoh, semua langkah dan kebijakan Pandawa selalu dinilai keliru, dianggap tidak prorakyat. Ada sejumlah elite dan kelompok tertentu yang tiada jeda meracuni dan menyesatkan rakyat dengan pembodohan-pembodohan dan kabar bohong agar publik membenci para pemimpinnya.  

“Ini bagaimana, Kiai?” tanyanya.

Semar mesem. Akan tetapi, ini bukan tanda gembira, melainkan pasemon menyikapi kondisi Amarta yang memiriskan. Semar sengaja tidak segera menjawab. Ia mempersilakan Gatotkaca menyeruput dulu wedang jahe merah dicampur sereh dengan pemanis gula batu yang telah tersaji. Pun mencicipi pisang kepok goreng hasil kebon sendiri di belakang rumah.

“Hemmm…begitu ya, Ndara?” kata Semar kemudian.

“Iya, Kiai,” sahut Gatotkaca.

Semar bertutur dirinya juga merasakan kondisi bubrah yang merajah Amarta. Warga kehilangan jati diri sebagai bangsa yang bernurani. Penggembalaan nafsu kiri tidak pernah sepi dan kian menjadi-jadi seperti tidak bertepi.

Sang pamomong mengakui pendidikan di Amarta sebenarnya kian maju dan tinggi. Banyak orang pintar dan cerdik pandai yang merajai di sana-sini. Namun, banyak yang kering budi dan miskin pekerti. Kepintaran tidak membawa ke kemaslahatan, melainkan ke kemudaratan.

Di sisi lain, kegiatan dan aktivitas religiositas bergairah dan merambah. Namun, itu tidak membawa pengaruh besar ke kebaikan karena cupet (pendek)-nya pemahaman akan hakikat dan esensinya. Agama kerap dijadikan kedok atau komoditas untuk tujuan-tujuan tertentu yang justru cengkah (bertentangan) dengan nilai-nilai atau ajaran agama itu sendiri.

Semar juga menyindir, kebebasan yang direngkuh bangsa Amarta jangan dinikmati dari sisi hak mutlak tanpa kewajiban sehingga bebas lampiaskan apa saja dan kepada siapa saja.  Kebebasan mensyaratkan tanggung jawab, baik sebagai warga maupun individu. Jadi, ada unggah-ungguhnya (tata krama).

“Manusia dianugerahi nafsu dan nurani sesungguhnya guna menyempurkan harkat dan martabatnya. Jangan sia-siakan perangkat kodrati itu sehingga malah terjerumus ke jurang kenistaan,” tutur Semar.

Gareng, Petruk, dan Bagong, yang sejak awal diam mencermati permbicaraan bapaknya dan Gatotkaca, berbarengan mengangguk-angguk. “Gong (Bagong), tolong unjukan (minuman)-nya ndara diisi lagi,” pinta Gareng. “Ya, Kang,” jawab Bagong yang duduk dekat dengan momongannya itu.
“Kiai, bagaimana mengembalikan ketenteraman Amarta?” tanya Gatotkaca.

Semar menyarankan harus ada keteladanan dari para pemimpin, nayaka praja, dan tokoh, juga elite lainnya. Tunjukkan perilaku mulia dan kenegarawanan. Jangan menjadi orang di baris depan tetapi melenceng, mencontohkan tindak tanduk (sepak terjang) asor (buruk). Di samping itu, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

“Bangsa dan negara bisa maju bila beradab,” pesan Semar.

Tidak terasa hari sudah menjelang sore. Gatotkaca memohon pamit kembali ke Pringgondani. Ia berterima kasih atas nasihat Kiai Semar dan tentunya sambutan ramah Panakawan. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik