Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Ngudarasa

Ono Sarwono
07/6/2020 00:55
 Ngudarasa
Ono Sarwono Penyuka Wayang(MI/Ebet)

SEBAGAI wong cilik, Gareng, Petruk, dan Bagong juga merasakan kesusahan rakyat Amarta yang sudah berlangsung berbulan-bulan akibat pageblug covid-19. Selain ancaman kematian setiap waktu, perekonomian warga sudah terpuruk begitu dalam.

Duduk bersila di atas lincak beralaskan tikar pandan, para Panakawan itu ngudarasa (mengungkapkan perasaan) di rumah bapaknya, Semar Badranaya, di Dusun Kamplisireng, pada pagi hari menjelang siang. Mereka tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan. Minuman
kopi tubruk dan sisa kue Lebaran sebagai nyamikannya.

Gareng bercerita, setiap bertemu warga di kampungnya, Karangkadempel, tidak ada kata lain selain mengeluh. Warga mengaku jatuh miskin karena menganggur atau tidak ada pendapatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja megap-megap (kesulitan).

Situasi memiriskan yang nyaris sama juga diungkapkan Petruk di Pecukpecukilan. Sebagai orang yang dituakan di kampungnya, Petruk sudah banyak bicara kepada warga agar sabar dan membesarkan rasa panalangsa (prihatin) menghadapi zaman Kalabendu ini.

Adapun Bagong, meski juga tidak luput dari penderitaan, tidak langsung menyambung pembicaraan serius kedua kakaknya. Ia menyimak sambil tak henti mengunyah kue nastar isi selai nanas kesukaannya. “Ini kopidari mana, Kang(kakak), enggak ada asem-asemnya?” ujarnya.

“Mbuh (masa bodoh)! Gong (Bagong). Kamu ini kok enakenak saja. Kita sedang susah!” kata Gareng ketus. Di antara anak Semar, Gareng berwatak reaktif, emosional, dan keras kepala, tetapi gampang melunak. Ia juga kompromistis dan pemaaf.

Ini barangkali cerminan dari kesadarannya yang paripurna bahwa manusia itu tempatnya salah. “ La, mau bagaimana, Kang? Kalau zamannya lagi susah, ya dijalani saja. Ngapain dirembuk ke sana-ke mari,” kata Bagong.

Anak bungsu Semar ini memang lugu, lugas, tidak suka formalitas, dan yang menjadi ciri khasnya, slengekan. Bagi dia, semua masalah dibuat enteng.

“ Ya, tidak boleh begitu. Ini kan menyangkut banyak orang, bahkan warga di seluruh dunia,” tutur Gareng.

“Menurut saya, ini pendapat saya ya, sebenarnya yang bikin susah itu ya kita sendiri, manusia sendiri,” jawab Bagong bermimik serius.

Petruk kaget mendengarnya. Si jangkung dan berhidung ekstra mancung ini memang dikenal paling encer utek (cerdas dan pintar) ketimbang kedua saudaranya. Namun, kali ini ia benar-benar kesulitan memaknai omongan Bagong. Berulang kali ia menggaruk kepala, dan dahinya
pun sampai mengerut, tapi tetap saja bingung memamahami.

“Gong, apa yang kamu maksud itu?” tanya Petruk.

“Senang-susah itu juga tergantung orangnya,” kata Bagong tanpa menjawab langsung pertanyaan Petruk.

Petruk makin dibuat kethul (tumpul) otaknya. “Gong, ini masalah hidup susah akibat pandemi covid-19. Semua orang kena dampaknya,” ujarnya.

“Kamu jangan asal ngomong, Gong. Nanti kamu digebuki orang,” timpal Gareng yang sejak tadi gusar mendengar celotehan Bagong.

“Salah saya apa, kok digebuki? Saya tidak nyolong, tidak korupsi, tidak menganggu istri orang, tidak melanggar undang-undang, tidak berbuat pidana?” sergah Bagong.

Petruk terkekeh dengan respons Bagong tersebut. “Begini Gong. Kembali soal yang kamu sampaikan tadi, bahwa semuanya ini karena perbuatan manusia sendiri. Itu maksudnya bagaimana?” desak Petruk.

Bagong kemudian mengatakan bahwa kalau direnungkan, ada satu pertanyaan fundamental yang layak dialamatkan kepada sejarah, nenek moyang, yaitu kenapa dulu mengada-ada membuat uang. Kini, semua orang, di seluruh dunia, bergantung pada uang. Uanglah yang menentukan segalanya.

“Kita terbelenggu dalam kesesatan hidup akibat perbuatan manusia sendiri. Coba, kalau sejak dulu tidak ada uang, kita tidak seperti ini jadinya,” tukas Bagong serius. “Itu yang saya maksud.

Mumet!, mumet!, mumet!”

Gareng menukas, “Bagong mulai gendeng (gila)!”

“Sebentar Kang Gareng, sabar dulu,” pinta Petruk. Tampaknya Petruk mulai bisa menangkap apa yang dimaksud Bagong. Ia lalu tersenyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepala, tapi kemudian mengangguk-angguk.

“Yang gendeng ya kita semua. Buktinya, karena uang orang membunuh, baku bunuh. Manusia kehilangan kemanusiaannya garagara uang. Hidup dan mati kita ditentukan oleh uang. Tragis! Ini yang gendeng!” kata Bagong seraya mleroki (meliriki) Gareng.

Bagong bercerita bahwa ada manusia yang bisa hidup bahagia, ayem tenteram tanpa uang. Mereka tidak mengenal biaya hidup seperti membayar rekening listrik, air, sekolah, internet, mengisi pulsa, kredit macam-macam, dan lainnya. Pun tidak perlu membeli atau mengontrak rumah atau tempat tinggal. Mereka itu adalah suku-suku yang masih tinggal di pedalaman.

Mereka, lanjut Bagong, tidak pusing dengan apa yang kini dipusingkan oleh orang atau bangsa-bangsa di seluruh dunia, yang dengan sombongnya mengklaim sebagai orang-orang maju dan beradab.

Ternyata, yang mengaku modern itu faktanya telah mengkreasi jalan buntu kehidupannya sendiri.

“ Wah, omonganmu menarik, Gong,” kata Petruk dengan terbahak-bahak. Sementara Gareng tetap bersungut-sungut karena hingga sampai di situ, ia juga belum bisa menangkap makna omongannya Bagong.

“Tapi, kita sudah telanjur seperti ini, lalu bagaimana menurutmu, Gong?” tanya Petruk serius.

Bagong menyarankan kepada seluruh pemimpin atau tokoh dunia berkumpul membahas bersama agenda tunggal, yakni membangun peradaban baru (new civilization) dunia, bukan hanya new normal. Tatanan kehidupan dunia anyar tanpa dikendalikan oleh ‘makhluk’ yang bernama uang.

“Bagong makin gendeng!” sergah Gareng.

Tanpa memedulikan Gareng, Bagong melanjutkan dengan satu pertanyaan lagi, apa sejatinya misi atau tujuan hidup manusia di dunia?

“Jika tidak ada peradaban baru, manusia akan menemui kesulitan hidup, bahkan bisa musnah akibat perbuatannya sendiri,” kata Bagong.

Tiba-tiba Semar keluar dari pintu tengah rumah sambil berdehem. “Hemmm…ini sedang ngomongin apa?” tanyanya sambil memajukan dagunya.

“Ngudarasa kahanan (situasi), Pak,” jawab Petruk.

Semar mengingatkan, menjadi manusia jangan sok-sokan dan melupakan kewajibannya manembah (menyembah) kepada Yang Mahamurah. “Kita harus menyadari diri bahwa kita ini bukan siapa-siapa, dan tidak kuasa apa-apa,” pesannya. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya