Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
ADA tabiat politisi yang hingga kini tetap lestari, yaitu gemar memanfaatkan kesempatan dalam situasi apa pun. Seperti di kala bangsa ini sedang giat berperang melawan pandemi virus korona baru (covid-19), bantuan negara untuk rakyat dipolitisasi demi kementerengan (pencitraan) diri menjelang pilkada mendatang.
Ini terjadi di suatu daerah. Seorang bupati petahana ‘menyulap’ bantuan dari pemerintah pusat menjadi seperti bantuan darinya. Modusnya melabeli bantuan itu dengan gambar dirinya. Tentu, langkah ‘mabuk’ ini dimaksudkan untuk mengambil simpati rakyat agar kelak memilihnya kembali meskipun kepemimpinannya selama ini minim prestasi.
Apa pun alasannya--yang bersangkutan mengaku itu kesalahan di lapangan dan telah meminta maaf--perilaku demikian itu tidak elok, sungguh tidak pantas. Kenekatannya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan itu, jika menengok dalam kisah wayang, persis seperti yang dipertontonkan perjaka kasep (kelewat tua) bernama Janaloka, cantrik senior di Pertapaan Andhongsekar.
Ingin bertemu ayah
Syahdan, Pregiwa dan Pregiwati, dua gadis kembar nan cantik jelita, tiap hari merajuki ibunya, Dewi Manuhara. Siang-malam keduanya terus mendesak ingin mengetahui siapa sejatinya sang ayah yang telah mengukir jiwa raga mereka. Kabar yang mereka ketahui sejak kanakkanak hingga menjelang dewasa hanya sepotong-sepotong, sebatas seorang kesatria tampan dan sakti.
Iba dengan kedua buah hatinya itu, Manuhara lantas meminta ayahnya, Begawan Sidikwacana, menjelaskan. Ini memang sudah waktunya bagi kedua anak itu mengetahui siapa ayah mereka. Pengasuh Pertapaan Andhongsekar itu pun merasa sudah tidak ada lagi yang perlu disamarkan, lalu dengan sabar dan runtut menceritakan ihwal siapa jati diri bapak kedua cucunya itu.
Sidikwacana membuka tabir bahwa ayah Pregiwa dan Pregiwati ialah kesatria Pandawa bernama Arjuna alias Dananjaya. Ia merupakan anak kedua mendiang Raja Astina Prabu Pandudewanata. Kini, tinggal di Kesatrian Madukara. Arjuna yang gandrung lelanabrata (laku prihatin) sempat ngangsu kawruh (berguru) di Andhongsekar. Itulah awal pertemuan Arjuna dengan Manuhara.
Karena sama-sama jatuh hati, Arjuna dinikahkan dengan Manuhara. Namun, tidak lama kemudian, Arjuna harus meninggalkan Andhongsekar meneruskan laku prihatin sebagai bekal mengemban kewajibannya sebagai kesatria lelananging jagat. Saat pamit, Manuhara dalam kondisi mengandung. Arjuna ketika itu berjanji suatu waktu akan kembali ke Andhongsekar menjenguk keturunannya.
Mendengar cerita sang kakek, Pregiwa-Pregiwati semakin tidak tahan untuk bisa bertemu bapak mereka. Keduanya ingin segera sowan ke Madukara sungkem kepada sang ayah. Namun, keinginan mereka itu selalu dicegah Sidikwacana, mengingat Madukara sangat jauh. Dirinya pun tak sanggup bila mengantarkan karena sudah sepuh. Sementara itu, ibunda tidak berani karena perjalanan ke Madukara mesti melewati belantara dan penuh risiko.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Gelora hati Pregiwa-Pregiwati bertemu sang ayah sudah tidak bisa ditahan lagi. Maka, ia meminta izin kakek dan ibu mereka untuk berangkat berdua ke Madukara. Betapa sedihnya Sidikwacana dan Manuhara mendengar tekad kedua gadis yang amat mereka sayangi itu. Ada kekhawatiran akan keselamatan mereka jika diperbolehkan tanpa pengawalan.
Melihat kegalauan sang guru, Janaloka, cantrik (siswa) senior Andhongsekar, menawarkan diri mengantarkan Pregiwa-Pregiwati sampai ke Madukara. Sidikwacana tidak serta-merta menerima tawaran Janaloka. Kenapa demikian? Karena setiap hari tenaga Janaloka sangat dibutuhkan untuk mengurusi pertapaan. Di sisi lain, hatinya waswas terjadi apa-apa di tengah perjalanan.
Paham yang dimaksud tuannya, Janaloka meyakinkannya dengan bersumpah bahwa bila dirinya berbuat tidak senonoh kepada kedua
cucunya, ia rela mati digebuki banyak orang. Sumpahnya itu diulang kembali sehingga Sidikwacana memercayainya. Ia titipkan kedua cucunya agar mereka dapat diantarkan sampai ke Madukara secara baik-baik dan bertemu ayahnya dengan selamat.
Meninggalkan Andhongsekar
Pada hari yang telah ditentukan, Pregiwa-Pregiwati pamit kepada kakek dan ibunda. Keduanya meminta restu dan pangestu agar diberi kelancaran dan keselamatan dalam perjalanan sampai ke Madukara. Permintaan yang sama juga dimohonkan Janaloka. Dengan berbekal logistik secukupnya, mereka kemudian meninggalkan Andhongsekar menuju ke arah Timur.
Karena diliputi rasa gembira bakal bertemu bapak mereka, selama perjalanan, Pregiwa-Pregiwati seperti tidak pernah lelah. Keduanya lincah, jalannya cepat, dan malah setengah berlari sehingga kerap meninggalkan Janaloka di belakang. Kedua gadis itu tampak riang, bercanda, dan sesekali menjaili satu sama lain sampai tak sekali kainnya tersingkap hingga betisnya yang mulus kelihatan.
Janaloka, sebagai lelaki normal dan kebetulan masih lajang, berulang kali tersengat libidonya melihat kenyataan di depan matanya. Selama ini, di pertapaan, diam-diam ia sudah jatuh hati kepada kedua cucu tuannya itu. Namun, karena tahu diri posisinya sebagai cantrik, ia tidak berani mengungkapkan isi hatinya.
Syahwat Janaloka menggelegak ketika melihat keranuman separuh dada bagian atas Pregiwa-Pregiwati ketika beristirahat di tengah hutan. Suasana sepi kian membiusnya hingga seperti kehilangan kesadaran. Janaloka merayu gadis yang dikawalnya itu untuk meladeninya bak suami-istri. Serta-merta Pregiwa-Pregiwati menolak. Karena terus dipaksa, keduanya bergegas lari meninggalkannya. Janaloka sekuat tenaga mengubernya.
Ketika sampai di pertigaan, Pregiwa-Pregiwati bertemu rombongan Kurawa yang dipimpin Patih Sengkuni. Mereka sedang mencaripatah
kembar (kembar indentik) untuk pendamping pengantin sebagai syarat pernikahan putra mahkota Astina, Lesmana Mandrakumara,
dengan Dewi Siti Sendari, putri Raja Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna.
Menurut Sengkuni, Pregiwa-Pregiwati inilah patah kembar yang dicari. Maka, ia meminta kedua gadis bersedia diboyong ke Astina. Tiba-tiba muncul Janaloka menghalanginya karena Pregiwa-Pregiwati diklaim miliknya. Seperti biasanya, Kurawa lalu main hakim sendiri. Janaloka digebuki beramairamai hingga mati konyol.
Ketika pengeroyokan itu terjadi, Pregiwa-Pregiwati berhasil meloloskan diri dengan berlari terus ke arah Timur hingga kemudian bersua Gathotkaca dan Abimanyu. Kedua saudara sepupu itu memberi pertolongan dengan mengubrak-abrik barisan Kurawa yang mencoba merebut kedua gadis kembar tersebut.
Dua gadis cantik dan dua perjaka tampan itu lalu saling berkenalan, dan mereka sadar bahwa ternyata bersaudara. Keempatnya lalu pergi bersama ke Madukara. Singkat cerita, bertemulah Pregiwa-Pregiwati dengan ayahnya yang sudah sekian lama dirindukan. Betapa bahagianya keduanya bisa sungkem kepada bapak mereka.
Di sisi lain, bagi Arjuna, kedatangan kedua putrinya yang sangat mirip itu merupakan berkah. Inilah yang ia inginkan sebagai persyaratan putranya, Abimanyu, meminang Siti Sundari, yang semula juga diinginkan Lesmana Mandrakumara sebagai istrinya.
Pelanggaran pidana
Di kemudian hari, Pregiwa berjodoh dengan Gathotkaca, yang merupakan kakak sepupunya. Putra Werkudara itu jatuh cinta sejak pertama kali ia bertemu di tengah hutan. Sementara itu, Pregiwati menikah dengan Pancawala, satu-satunya putra Puntadewa, sulung Pandawa yang juga Raja Amarta yang bergelar Prabu Yudhistira.
Hikmah kisah ini ialah Janaloka telah melanggar sumpahnya. Maka dari itu, ia pun mendapatkan karmanya. Poinnya ialah siapa pun yang sudah bersumpah, tentu itu mesti dilaksanakan secara jujur dan konsekuen. Bila dilanggar, akan ada konsekuensi yang dipikulnya.
Dikontekskan dengan kelancangan kepala daerah petahana yang memolitisasi bantuan pusat untuk kepentingan sendiri, secara moral itu ora ilok (tidak etis) dan merupakan pelanggaran serius sumpah jabatan. Pun itu juga menerjang undang-undang dan bila diperkarakan akan bermuara pada hukuman pidana yang tidak ringan. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved