Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Merajut Marat Sade

Abdillah Marzuqi
28/2/2016 01:35
Merajut Marat Sade
(MI/GALIH PRADIPTA)

PANGGUNG itu tidak terlalu luas, hanya muat untuk 12-an orang berjajar berdiri. Mesin jahit diletakkan di sisi kiri panggung dengan posisi agak menyerong ke arah tengah.

Empat pengeras suara diletakkan di empat sisi penjuru panggung. Tiap sudutnya berdiri satu mikrofon yang ditopang tiang. Pada bagian atas panggung terdapat penunjuk ruang yang bertuliskan ‘Ruang Rekreasi’. Di ruang itulah, seorang wanita duduk di belakang mesin jahit. Ia terlihat asyik melakoni lakunya.

Kedua kakinya terus bergerak, maju-mundur, depan-belakang, telapak kaki terus bergoyang di atas pedal mesin, untuk menjaga roda mesin tidak berhenti berputar. Jemari tangannya sibuk menjaga kain agar tidak melenceng dari jalurnya. Sesekali ia membetulkan posisi kain yang bergeser dari posisi seharusnya.

Sembari terus menjahit, ia bermonolog tentang berbagai hal dengan pilihan kata yang kadang terdengar seram. Ia membahasakan revolusi, masalah perkotaan, budaya, dan teater di Indonesia. Kerensa Johnston (Dewantoro), sosok di balik mesin jahit itu seolah ingin menjahit pakaian layaknya merajut untaian pikiran pembebasannya. Ia mengungkapkan kekecewaan atas kekacauan dan struktur sosial di sekelilingnya.

Sebagai backdrop, kain berukuran besar menutup seluruh latar panggung. Kain itu tidak berwarna hitam seperti lazimnya pertunjukan teater, tapi dipenuhi tulisan tangan yang berderet sedikit acak. Pertunjukan tersebut merupakan hasil dekonstruksi naskah Marat/Sade (Penyiksaan dan Pembunuhan terhadap Jean Paul Marat) sebagaimana dipentaskan pasien-pasien Rumah Sakit Jiwa Charenton di bawah Penyutradaraan Marquis de Sade.

Naskah ini merupakan karya penulis Jerman, Peter Weiss. Kali ini naskah itu diadaptasi dan dipentaskan dalam judul Menjahit Marat Sade di Bentara Budaya Jakarta (23/2). Lakon ini diproduksi kelompok teater Darah Rouge yang berbasis di Bandung.

Mereka bukan pertama kali menampilkan naskah ini. Selama kurun 2005 sampai sekarang, naskah ini telah dipentaskan sebanyak 16 kali. Dua kali garapan, yakni 2005 dan 2010.

Seolah membawa kenangan dari garapan produksi sebelumnya, Kerensa Johnston Dewantoro dan tim Darah Rouge telah mempersiapkan sebuah pertunjukan yang unik. Mereka berusaha menyelami proses berteater, gairah, dan impian akan pembaruan, lalu memunculkan semuanya dalam satu bentuk pertunjukan.

Naskah yang dimainkan mencoba mengeksplorasi ide-ide revolusi, teater, dan kenangan. “Tentang memori-memori saya saat menyutradarai pertunjukan Marat-Sade pada 2005 dan 2010,” terang Kerensa.

Itulah mengapa pentas ini berjudul Menjahit Marat Sade. Kerensa ingin merajut tema tentang apa pun dengan mesin jahitnya. Serpihanserpihan kenangan, pemikiran, pemahaman, dan protes atas diri dijahit menjadi satu cerita panjang.

Dalam pementasan itu, perempuan Australia ini menawarkan gaya teatrikal dalam pertunjukan. Ia mampu menuangkan kegelisahan dirinya dalam menghadapi perbedaan budaya di Indonesia. Kerensa mengemas alur cerita dengan tetap mempertahankan jiwa cerita seperti naskah aslinya.

Setidaknya tampak pada latar panggung dengan bertulis ‘Liturgi Marat’. Ia mampu mengadaptasi naskah asli tanpa harus kehilangan ruang interpretasi dan eksplorasi. “Jadi, ini melihat hubungan saya dengan naskah yang sama selama lima tahun. Di dalamnya ada bentrok budaya dan masalah komunikasi,” terang Kerensa.

Pentas yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam itu hampir tak terasa. Kerensa seolah mampu menyihir penonton. Beberapa kali ia turun panggung dan mengajak beberapa penonton untuk turut bermain peran. Saat itu adegan semacam demonstrasi sedang berlangsung.

Penonton diajak untuk membawa beberapa poster yang bertuliskan’ Revolusi, Kami Lapar, Kami Marah, Monyet Gendut, Hidup Marat, dan Marat Kami Miskin’. Penonton diminta untuk membawa poster tersebut sembari menggoyang-goyang tubuh. Tentulah hal itu mengundang tawa dari seisi ruang pertunjukan.

Pada akhirnya, alur yang rancak dengan ucap kata menyentil yang bakal dimemori penonton. Selebihnya, tidak ada yang menduga latar panggung yang sedari awal tidak ada perubahan ialah rumah sakit jiwa.

Hal ini dibuktikan dengan masuknya perawat berbaju putih yang mencoba menyadarkan Kerensa bahwa tidak ada orang selain dirinya. Penonton yang tadinya diajak naik panggung hanya ada dalam bayang fantasi. Namun, saat pergulatan dialog dengan perawat itu, Kerensa berkata dengan lantang. “Everything is Exist,” ucapnya. Namun, perempuan itu tetap mengikat kedua tangan Kerensa.


Kritik Budaya

Banyak kritik budaya disentil dalam pentas ini. Beberapa dialog menyirat bentrok budaya yang dialami Kerensa. Sebagai contoh, beberapa ungkapan seperti ‘kurang tahu’ dan ‘lumayan’.

Kurang tahu ialah ungkapan kamufl ase yang sering dipakai untuk menutupi keengganan meneruskan pembicaraan terkait tema tertentu. Atau bisa jadi dipakai untuk pembenaran dari kesalahan yang telah terjadi. Kata ‘lumayan’ dipakai untuk menyembunyikan perkara sebenarnya ketika ditanya suatu hal. Kata itu sering kali dijadikan
tameng untuk mengomentari sesuatu yang sebenarnya jelek atau juga untuk mengatakan suatu yang sebenarnya bagus, tapi terlalu berat untuk mengakuinya.

“Kurang tahu dan lumayan. Dua kata ini harus dihapus dari ruang teater,” begitu salah satu cakap Kerensa dalam lakon. Selain dia, pentas ini dimainkan Estee Fuzianna, Yayan Khatho, dan Reggie Anderson. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya