Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
KEPEMIMPINAN Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang tidak kompromistis kembali digugat sebagian orang. Ini terkait dengan ketegasannya menertibkan kawasan Kalijodo. Ahok berprinsip tidak ada dialog dengan penghuni karena mereka menduduki tanah milik negara.
Selama ini Ahok memang tidak pernah sepi dari kritik. Setiap gerak dan langkahnya yang dibarengi dengan cara bicaranya yang ‘keras’ tidak jarang direspons negatif, terutama dari mereka yang menjadi ‘musuh’. Ia, misalnya lagi-lagi dinilai tidak pantas sebagai pemimpin karena suka mentangmentang, arogan, kasar, dan lain-lain.
Namun, realitasnya sebagian besar warga menerima, permisif dengan apa yang dianggap sebagai kekurangan pada Ahok itu. Alasannya, sang pemimpin demikian itu karena yang dihadapi bandel atau berengsek. Fakta itu bisa dilihat pada sejumlah survei terhadap warga Ibu Kota. Selain dimaklumi, Ahok malah masih digandrungi untuk terus memimpin. Ia dibutuhkan guna membereskan keruwetan-keruwetan akut Jakarta.
Dalam perspektif dunia wayang, Ahok yang ‘garang’ itu seperti sedang memerankan karakter seorang pemimpin bernama Baladewa. Raja Mandura ini dikenal sebagai sosok keras, tegas, to the point, dan antibasabasi.
Ia juga resisten terhadap hal-hal yang bertele-tele dan semrawut. Dalam menuntaskan masalah, pun ia tak segan menggunakan otot.
Lahir kembar
Dalam sanggit pedalangan, Baladewa lahir sebagai anak kembar bersama Kresna dari rahim Dewi Mahindra. Ayah mereka ialah Raja Mandura Prabu Basudewa. Eloknya, walau kembar, keduanya memiliki warna kulit yang berbeda. Baladewa, yang nama kecilnya Kakrasana, kulitnya bule (albino), sedangkan Kresna alias Narayana, berkulit hitam cemani. Secara simbolis, perbedaan antarkeduanya sejak lahir itu sekaligus juga mencerminkan watak dan karakternya yang berlainan. Ini merupakan anomali dalam sejarah anak kembar. Biasanya kalau anak kembar kecenderungannya dalam berbagai hal sama atau mirip. Apalagi, bila jenis kelaminnya sama, baik perempuan maupun lakilaki, mereka akan memiliki kemiripan fisik maupun kepribadian.
Oleh orangtuanya, Kakrasana dan Narayana dipasrahkan kepada Antagopa, seorang demang di Dusun Widarakandang, untuk dididik. Selain alasan politis pada saat itu, keputusan tersebut diambil Basudewa agar keturunannya itu, sebagai calon pemimpin, lebih dekat dan memiliki kepekaan akan segala persoalan rakyat kecil.
Bersama adik perempuan mereka lain ibu, Lara Ireng, Kakrasana dan Narayana dididik ‘ilmu kampung’, di antaranya cara bertani, berkebun, dan beternak. Tidak kalah pentingnya, mereka juga diajari ilmu luhur dan budi pekerti guna membentuk karakter.
Selama sebagai anak dusun, kodrat bahwa Kakrasana dan Narayana berbeda semakin mencolok. Kakrasana menjadi orang rumahan, sedangkan Narayana menjadi anak yang suka dolan atau tidak betah di rumah.
Sehari-hari, di sela waktu bertani, berkebun, dan beternak, Kakrasana gemar menggeladi diri dengan tekun berlatih berkelahi (perang). Untuk mendukung kesenangannya itu, ia membuat alun-alun, tentu dalam ukuran kecil, di halaman rumah. Di tempat itu ia tanami dua pohon beringin. Kemudian, di sekeliling pekarangan dibangun semacam benteng yang terbuat dari batu bata. Jadi, tampak seperti keraton. Sedangkan Narayana lebih suka ngangsu kawruh, terutama ilmu-ilmu yang mempertajam mata batinnya. Karena keterbatasan orangtua angkatnya di Widarakandang dalam ilmu wingit tersebut, Narayana dari waktu ke waktu mencari begawan dan maharesi, dari pertapaan satu ke pertapaan lain hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Karena itu, Narayana jarang berada di rumah.
Hingga dewasa, ketika pada akhirnya sama-sama menjadi priyagung, keduanya memiliki karakter kepemimpinan yang berlainan satu sama lain. Kian menegaskan perbedaan mereka yang sudah tampak sejak lahir. Dalam kisahnya, Kakrasana menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Mandura dengan nama Prabu Baladewa, sedangkan Narayana menjadi penguasa di Dwarawati bergelar Prabu Sri Bathara Kresna.
Baladewa hadir sebagai pemimpin yang dominan keras dan tanpa pandang bulu. Dalam berbagai lakon yang melibatkannya, Baladewa sering disanggitkan gemar cengkiling (lewat kaki tangan) dalam menyelesaikan persoalan, misalnya tentang duduk persoalannya, itu menjadi urusan belakangan.
Namun, bila diselisik, Baladewa berkepribadian fair. Ia tidak sungkansungkan meminta maaf kepada pihak lain bila dirinya ternyata melakukan kekeliruan. Baladewa juga rela legawa mengoreksi diri bila ada sesuatu yang dirasa kurang pas pada dirinya. Hanya, sisi halusnya itu terkubur oleh karakternya yang keras.
Sebaliknya, kepemimpinan Kresna lebih dominan pada sisi eintelektualnya. Ia selalu mengedepankan pikiran dalam setiap menyelesaikan masalah. Ketajaman batinnya menjadi senjata utama mengurai setiap persoalan. Karena itu, Kresna nyaris tidak pernah menggunakan cara gada gitik, kekuatan fisik.
Namun, pada situasi tertentu, Kresna pernah menampakkan amarah besarnya. Misalnya, kala ia menjadi duta Pandawa ke Astina yang memaksanya harus bertiwikrama. Juga ada lakon Gojali Suta yang mengharuskannya tega menyirnakan anaknya sendiri, Sitija.
Perpaduan
Dari cerita singkat itu, Baladewa sebagai konsep kepemimpinan, fi lofosinya, sejatinya tidak tunggal atau berdiri sendiri. Baladewa bersaudara kembar dengan Kresna. Idealnya, pemimpin tidak hanya mewakili karakter Baladewa, tetapi juga kepemimpinan ala Kresna, yakni kombinasi antara kepemimpinan yang keras dan lembut, luar dan dalam. Seorang pemimpin yang demikian tinggal mengatur ritmenya, kapan mesti menggunakan cara-cara Baladewa dan bilamana bersikap seperti Kresna.
Di sinilah seninya. Penerapan gaya kepemimpinannya tergantung sikon. Dari cara Kresna, pemimpin belum bertindak tapi mereka yang menjadi persoalan itu sudah membereskan dirinya sendiri. Ibaratnya, dengan kekuatan batinnya, ia bisa mengendalikan orang lain sesuai dengan yang dikehendaki.
Ini akan lebih mulus lagi bila dengan menggunakan dialog karena lebih bernilai human dan wise. Namun, bila dengan cara alus tidak membuahkan hasil, cara Baladewa yang keras bisa diterapkan. Jadi, ini merupakan opsi lain bila upayaupaya bermartabat tidak bisa menyelesaikannya.
Konsep kepemimpinan Baladewa-Kresna ini hanya salah satu dari sekian banyak model kepemimpinan dalam dunia pakeliran. Contoh kepemimpinan lain dalam wayang melekat pada setiap tokohnya. (M-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved