Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
PAGI hari bukanlah waktu favorit untuk berwisata atau sekadar duduk-duduk santai di Kanal Banjir Timur (KBT), Jakarta Timur. Namun, beberapa warga negara asing bahkan sudah antusias turun ke kanal, Sabtu pagi (20/2) itu.
Linette Collins asal Australia dan Laurent Ho-Young dari Prancis ialah dua di antaranya. Mereka bergabung bersama sekitar 12 orang lainnya yang terdiri dari warga asing maupun Indonesia.
Berjalan beriringan sambil masing-masing memegang dayung, mereka meniti dermaga kecil, di sisinya bersandar perahu panjang berwarna biru. Dengan perahu naga latih itulah beberapa menit kemudian mereka melaju membelah KBT.
Pria dan wanita, dewasa maupun anak-anak, mendayung seirama. Walau otot dipacu, tetapi senyum mengembang di wajah mereka. Suasana di atas perahu itu memang jauh lebih hangat dan cerah jika dibandingkan dengan langit Jakarta yang mendung hari itu.
Suasana itu pula yang diakui Collins membuatnya bergabung. "Hanya dengan latihan dan pengalaman ini saja saya sudah bisa merasa energik dan hidup," tutur perempuan berusia 62 tahun ini.
Di bagian depan perahu ada satu pria yang tidak kalah bersemangat. Semenjak awal, pria berbaju hitam ini lantang memberi aba-aba.
"Paddles up!" teriaknya saat awal pendayung duduk di perahu. Ini berarti semua pendayung harus dalam posisi siap kayuh.
Pria berbaju hitam ini menjelaskan mereka akan mendayung seratus kali dengan hitungan per 20. Artinya, tiap 20 kali kayuhan, ritme dayung berubah.
Wijaya Surya, nama pria itu, memang pantas menjadi pemimpin karena dia ialah instruktur dayung sekaligus pendiri komunitas Jakarta Paddle Club tersebut. Terbentuk 31 Mei 2014, kini telah 45 orang bergabung dengan Wijaya.
Agar tidak elite
Wijaya memang bukan orang baru dalam olahraga mendayung. Selama tinggal di Hong Kong, pria berusia 47 tahun ini rutin berolahraga di atas perahu.
Saat pulang ke Indonesia, ia bingung mencari klub dayung yang terbuka untuk umum. Berpartisipasi di Festival Cisadane dirasanya tidak cukup karena hanya berlangsung setahun sekali. Bergabung dengan Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI) juga dirasa kurang pas karena kebanyakan anggota yang merupakan atlet.
"Saya lalu usul ke teman-teman kenapa enggak bentuk komunitas, untuk kegiatan dan juga mengenalkan dayung ke masyarakat agar olahraga dayung ini tidak elite hanya untuk atlet saja," tutur Wijaya.
Gayung bersambut, ide Wijaya bahkan juga menarik para orangtua untuk mengajak serta anak mereka. Maka tidak mengherankan, saat latihan banyak juga terlihat anak-anak bergabung. Seperti hari itu ada tiga pendayung belia, yakni Owen Angweita (15), M Veefe Wiradikusumah (15), dan Steffie Safiyya Sasikirana (11).
Seiring waktu anggota Jakarta Paddle Club kian bertambah lewat media sosial. Tidak hanya orang yang baru mengenal perahu naga, ada pula para ahli di bidang ini. Salah satunya ialah Decki Sumampouw yang merupakan pelatih tim perahu naga DKI Jakarta.
Selain berlatih di KBT, mereka juga kerap berperahu dari Ancol menuju laut lepas. Decki menjelaskan olahraga perahu naga memang dapat menjadi olahraga untuk masyarakat luas karena tidak ada teknik khusus.
"Tidak ada teknik baku dalam dragon boat. Kalau kita kayak alami. Yang penting dia (pendayung) mampu menguasai dan membawakan dayung dengan bagus," tegasnya.
Justru, kunci kayuhan yang baik lebih terletak pada kekompakan, "Satu saja pendayung tidak patuh pada selaras. Pendayung lain akan terpengaruh," tambah pria 57 tahun ini.
Tanda ketika irama dayung tidak selaras ialah ketika dayung salah satu menyentuh atau mengenai dayung yang lain. Pentingnya kekompakan ini pula yang membuat perahu naga cocok menjadi olahraga masyarakat umum. Maka tidak salah, olahraga ini bisa menularkan rasa energik. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved