Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Malam di Sapta Arga

Ono Sarwono Wartawan Media Indonesia
26/4/2020 01:00
Malam di Sapta Arga
Ono Sarwono Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

ANA kidung rumeksa ing wengi, teguh hayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jin setan datan purun, paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunaning wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah ing mami, guna duduk pan sirna (Ada tembang pada malam hari, kuat selamat terbebas dari penyakit, terbebas dari segala petaka, jin dan setan tidak mau, sihir tidak ada yang berani, apalagi
perbuatan jahat, guna-guna tersingkir, api menjadi air, pencuri menjauh dariku, segala bahaya lenyap).

Sebait Kidung Rumeksa ing Wengi yang dilantunkan cantrik terdengar lirih tapi jelas dari bilik rumah mungil di sisi kiri pendapa sederhana di Pertapaan Sapta Arga. Lampu-lampu senthir minyak klentik yang temaram di sejumlah titik kian menambah kesyahduan malam nan dingin.

Arjuna, yang duduk bersila di atas tikar pandan di ruang tengah pendapa, berusaha menikmatinya. Tidak jauh darinya, Semar Badranaya bersandar di salah satu pilar kayu jati. Sang pamong itu tampak hanyut dalam khidmatnya alunan ratri (malam). Sementara itu, Gareng, Petruk, dan Bagong bergumul dengan sarung masingmasing di pondok penginapan sebelah kanan pendapa.

Tiba-tiba keduanya terbangun dari ‘lamunan’ mereka ketika terdengar tapak langkah lembut Begawan Abiyasa yang muncul dari pintu tengah. Segera sang cucu yang tinggal di Kesatrian Madukara itu menghaturkan sembah sungkem kepada sang eyang (kakek). Semar pun kemudian menyampaikan salam taklim kepada tuan rumah.

Abiyasa memilih duduk bersila beberapa jengkal di depan Arjuna. Ini tidak biasanya. Setelah saling melepas rindu serta menyampaikan kabar keselamatan, Abiyasa bertanya kepada Arjuna, apakah kedatangannya ke Sapta Arga atas keinginan pribadi atau diutus Puntadewa, pemimpin Negara Amarta. Arjuna matur bahwa dirinya diperintah kakanda (Puntadewa).

Arjuna ialah salah satu keluarga Pandawa yang paling sering sowan ke Sapta Arga. Baik itu untuk  urusan pribadi terkait dengan kegemarannya ngangsu kawruh (menimba ilmu) maupun urusan negara. Sang kakek, selain dikenal sebagai begawan linuwih (hebat), ia juga mantan raja Astina bergelar Prabu Kresnadwipayana yang katam ilmu pemerintahan.

“Kanjeng eyang, Amarta sedang dilanda pageblug mayangkara (epidemi penyakit). Banyak warga yang pagi sakit, sorenya mati, dan sore menggigil, paginya meninggal,” kata Arjuna mengabarkan. Ia menambahkan bahwa para korban buka hanya golongan tertentu, melainkan semua kalangan.

Sebagai ’wong suci’,, Abiyasa sejatinya sudah mengerti dari pesan gaib yang ia terima jauh hari bahwa pageblug bakal mendera Amarta. Namun, pantangan membeberkan secara gamblang rahasia langit sebelum peristiwa (kodrat) itu benar-benar terjadi.

“Kanjeng Eyang, apakah ini hukuman dari Syanghyang Widhi kepada kami yang tidak tahu diri?” tanya Arjuna.

“Kakang Semar, apa sebenarnya yang sedang terjadi?” Abiyasa tidak langsung menjawab cucunda, tetapi malah bertanya kepada Semar.

“Ini lakonnya bukan Semar sang begawan. Silakan sampean (kamu) memberi pepadhang (pencerahan) kepada ndara (tuan) Arjuna. Saya hanya ingin menimbrung mendengarkannya,” jawab Semar.

“Cucuku, semua yang terjadi di dunia ini, bahkan di seluruh jagat raya adalah kebenaran belaka. Syanghyang Widhi tidak menghukum titahnya, bahkan sekadar menegur sekalipun. Dia adalah zat maha pengasih dan maha penyayang,” ujar Abiyasa.

“Kami merasakan penderitaan dan ketakutan yang luar biasa, Kanjeng Eyang.”

“Kita mesti menerima apa pun yang terjadi dengan rasa syukur,” kata Abiyasa. “Semuanya ini sesungguhnya merupakan berkah, tiada yang lain. Kewajiban kita sebagai titah-Nya, menemukan itu.”

Arjuna tercenung.

“Pandai-pandailah membaca kebenaran pesan-pesan dari semua peristiwa. Bacalah!”

“Mohon penjelasan, Kanjeng Eyang?” kata Arjuna.

“Senantiasalah merenung dan introspeksi diri. Kita ini tidak kuasa apa-apa. Hidup sekadar menjalani. Namun, kita wajib berikhtiar setiap dihadapkan pada peristiwa. Dari sana, selain ada solusi, juga akan menemukan berkah di balik peristiwa yang semula dirasakan melulu sebagai penderitaan.”


Arjuna terdiam. Ia berusaha  mencerna setiap tutur sang kakek.

“Manusia, karena nafsunya, sering bereaksi dengan keakuannya. Itu yang menghilangkan kawaskitan (ketajaman nurani) membaca setiap peristiwa. Menep (tenang) dan wening (jernih) adalah lambaran (dasar) perilaku menghadapi apa pun.”

Arjuna tampak berusaha mencamkannya.

“Jangan kagetan, grusan-grusu (tidak cermat) atau kalut.”

“Lalu, pageblug itu apa, Kanjeng Eyang?”

“Cucuku, jangan subjektif memandang setiap kejadian. Jangan memandang hanya berdasarkan kepentingan atau kebutuhan manusia yang sifatnya sesaat. Itu kesombongan. Yang menyengsarakan itu sejatinya belum tentu atau tidak demikian.

Kita meski tahu diri dan bijak menempatkan diri di tengah semua kodrat yang menjadi kehendak atau ciptaan-Nya.”

Arjuna mengerutkan dahi. Kemudian, ia lagi-lagi menghaturkan sembah sungkem kepada sang kakek.

“Senantiasalah rendah hati dan menyadari bahwa kita ini bukan siapa-siapa selain hanya ‘debu’ di antara makhluk-Nya yang tak terbatas. Gunakan akal budi dan nurani yang secara kodrati ada pada diri kita untuk selalu mencari keagungan-Nya. Itulah bagian cara kita manembah (bersujud) kepada Syanghyang Widhi.”

“Inggih (ya), Kanjeng Eyang.” 

Kali ini Arjuna merasakan ketenangan dan kedamaian dalam hatinya. Tak terasa malam telah lingsir (menjelang dini hari). Abiyasa menyilakan Arjuna dan Semar istirahat ke peraduan masingmasing.

Arjuna lalu menghaturkan sembah sungkem seraya menyampaikan banyak terima kasih kepada sang kakek atas wejangannya.

Suara salam burung ceguk (hantu) sayup-sayup terdengar dari atas dahan pohon randu yang menjulang di tepi hutan belakang pertapaan. Alunan burung di keheningan malam Jumat Kliwon itu membuat suasana semakin tintrim, sunyi yang membangkitkan bulu kuduk siapa pun yang mendengarkannya. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik