Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Ritual Among Tebal untuk Keseimbangan Semesta

Oleh: Susi Ivvaty
14/3/2020 23:00
Ritual Among Tebal untuk Keseimbangan Semesta
Ritual among tebal di ladang milik Pak Rame.(DOK SUSI IVVATY)

TAHUN 2020 telah dua bulan ditapaki. Saatnya para petani mempersiapkan ladang. Bi­bit-bibit tembakau yang hijau segar telah menunggu untuk disemai. Ritual among tebal atau wiwit nandur tembakau di dusun-dusun di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, segera digelar. Bucu robyong, ayam ingkung, beras kapuroto, cambah pethek, gula-kelapa, dan beragam sesaji menanti dijampi.

Sutopo, 47, petani yang juga tokoh masyarakat Dusun Lamok Legok, Desa Legoksari, masih bersantai. Meski ladangnya telah dicangkulkan, diratakan, dan digemburkan, lelaki itu belum beranjak untuk among tebal karena hitungan tanggalnya belum pas. “Among tebal harus disesuaikan tanggalnya dengan weton, jadi tidak bareng-bareng semua petani. Hitung­an saya April,” kata pria paruh baya tersebut. Weton ialah hari kelahiran yang merujuk pada hari pasaran dalam penanggalan Jawa, seperti Senin Pahing, Selasa Pon, atau Rabu Wage.

Among tebal atau wiwit mbako merupakan ritual tahunan untuk memulai proses bertani tembakau, ditandai dengan menancapkan bibit pertama di ladang, menjelang musim kemarau. Among berarti memomong/merawat, tebal berarti menanam (tembakau). Mayoritas petani melakukan dua kali among tebal, personal/individual dan massal sedusun/sedesa. Proses dan aneka sesajinya sama, tapi magnitude-nya berbeda. Pemassalan ritual mungkin mengurangi kesakralan, meski tidak meluruhkan kehikmatan. Itulah sebabnya ritual massal sebagai ‘selebrasi’ komunalitas dan indentitas tidak menghapuskan ritual individual yang sakral, sebentuk cara berkomunikasi dengan alam dan Tuhan.
 
Di banyak negara, laku ritual sama belaka, seperti kata Monica Wilson yang dikutip Jack Goody dalam Myth, Ritual, and the Oral (2010) bahwa ritual merupakan laku religius untuk mengamankan berkat dari kekuatan mistis yang di dalamnya terdapat simbol dan konsep.

Tidak seperti ritual personal yang dilakukan sendiri ‘dalam diam’, among tebal massal justru diumumkan waktunya, termasuk jumlah rupiah untuk iuran per kepala keluarga, sesuai hasil kesepatan rapat panitia.

Masyarakat di sejumlah desa di Temanggung, seperti di Legoksari, Bansari, dan Mranggen menyiapkan panggung di balai desa, ladang untuk proses ritual, dapur umum, dan pertunjukan wayang. Namanya juga selebrasi, ajang unjuk diri.

Dalam beberapa perayaan di Le­gok­sari yang saya ikuti, among tebal digabung dengan nyadran atau mertidusun di mata air Sungai Pontong. Karena diikuti warga sedusun bahkan dua dusun, suasananya semeriah Lebaran. “Ini memang Lebaran kami,” tandas Parmudi, 53, petani dari Lamok Gunung.

Warga desa sudah bersolek. Gamelan ditabuh. Lima puluh bergodo Kasepuhan Kejawen duduk hikmat. Bucu robyong atau gunungan hasil bumi besar diletakkan di tengah aula balai desa. Pejabat pemerintahan menyambut acara sebelum sesepuh desa berdoa. Berikutnya, para penampil unjuk kebolehan, seperti ‘sepasukan’ kuda lumping Gagak Mataram dan Wahyu Turonggo, kelompok jathilan, salawatgedhek, topeng ireng, rebana, kelompok tari Hokya, dan drum band taman kanak-kanak.

Prosesi dimulai. Bucu robyong di­­arak melewati jalan yang terjal men­daki, sebelum turun menuju mata air. Maklum, Dusun Lamok Gunung ini berada di ketinggian 1.000-an meter di atas permukaan laut, jalannya pun naik-turun. Seusai membaca doa di mata air, among tebal digelar.

Beberapa petani lelaki dan perempuan memasuki ladang, membawa rupa-rupa sesaji.

Pak Rame memimpin ritual. Setelah membakar kemenyan, ia mene­barkan beras kapuroto (campuran beras dan kunyit) ke empat penjuru mata angin untuk menolak bala. Sepenggal batang kayu dadap serep yang ujungnya sudah diruncingi dan diolesi kunir (kunyit) ditancapkan guna melubangi tanah yang akan ditanami bibit. Fungsi kunir ini untuk tolak bala, (ku)nir ing sambikolo (tanpa mara bahaya).

Ritual dan sesaji ini disebut Mohamad Sobary dalam bukunya Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Kabupaten Temanggung (2016) sebagai ritus yang menyajikan suasana kudus. Sajen (sesaji) menghubungkan dunia ini dan dunia sana, yang menciptakan keyakinan bahwa apa yang manusiawi juga sekaligus bersifat ilahi.

Ritual bertani tembakau biasanya menghindari empat situasi, yakni hari nahas atau meninggalnya orang tua, sanger tahun, puput puser, dan apes weton. Sanger tahun merujuk pada tanggal satu di awal tahun dalam penanggalan penganut Islam Aboge (Alip Rebo Wage). Puput puser ialah hari saat tali pusar lepas sewaktu bayi. Adapun apes weton ialah beberapa hari setelah tanggal kelahiran (ada rumusnya).

Bagi awam, hitungan seperti itu memang cukup rumit, tapi tidak bagi para petani, terutama penghayat Islam Aboge, yang dalam laku kese­harian menggunakan penanggalan Jawa. Terlebih, mereka telah melakukan ritual ini sejak masa kolonial Belanda ketika Nicotiana tabacum yang berasal dari Benua Amerika itu dibudidayakan di wilayah Kare­sidenan Kedu, merujuk pada Teks Memorie van Overgave 1921—1930 yang telah diterjemahkan menjadi Serah Terima Jabatan 1921—1930 (Arsip Nasional RI, 1977).

Mbah Yasto, 94, sesepuh Desa Legok­sari, masih mengingat dengan cermat ritual yang ia lakukan saban tahun sejak kecil bersama orangtua­nya. Tradisi itu diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. “Among tebal wiwit mbako itu ya berdoa pada Gusti Kang Murbeng Dumadi, supaya alam tidak marah,” kata Mbah Yasto.

Festival ritual

Ritual among tebal untuk pertama kali digelar secara festif pada April 2019, melibatkan 20 kecamatan di Temanggung dengan tajuk Festival Wiwit Mbako Merti Bhumipala. Festival yang digagas Bupati Temanggung Muhammad Al Khadziq (2018—2023) itu dimeriahkan dengan arak-arakan 1.000 tumpeng dan 1.000 ayam ing­kung.

Suasana di seputaran alun-alun Temanggung riuh, tumplek blek oleh ribuan petani. Mereka berpuisi. Mereka menembangkan nyanyian Srinthil (jenis tembakau termahal dengan kadar nikotin sangat tinggi). Doa dan tausiah dilantangkan para ulama, berharap Tuhan YME selalu memberkati semua ikhtiar makhluk-Nya. Inilah harmoni antara agama dan tradisi. “Festival serupa akan digelar lagi pada April 2020. Kami jamin meriah dan lebih kreatif,” kata Andy Yoes, panitia festival.

Begitulah wiwit mbako dikemas menjadi pertunjukan ritual, tanpa menghilangkan ritual personal. Pemassalan ritual menjadi sebentuk keberpihakan pemerintah daerah kepada petani tembakau. Posisi tawar petani pun makin besar. Persoalan kesehatan dan keberadaan organisasi antitembakau/antirokok memang menjadi tantangan tersendiri sehingga tentu tidak dapat diabaikan.

Semua pihak berkepentingan, juga berkesadaran, tapi alam memiliki bahasanya sendiri. “Ini (alam, tembakau, ritual) adalah hidup kami sehingga harus kami rawat. Kami tidak menggunakan plastik, tidak mengenakan alas kaki saat masuk ladang, kami menjaga mata air,” kata Parmudi.

Ada masanya ladang ditanami sayur-mayur juga, tidak tembakau melulu. Namun, tembakau paling mahal harganya. “Uangnya untuk menyekolahkan anak dan memberi kita semua makan. Tembakau jadi pelantar rezeki, maka kami harus mengimbangi,” lanjut Parmudi.

Melakukan ritual ialah cara mereka untuk mengimbangi, menyeimbangkan diri dengan semesta. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya