Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SETIAP tahun berganti, tren fesyen juga mengalami pergantian. Para pakar fesyen menerjemahkan berbagai fenomena yang ada di masyarakat ke dalam potongan, warna, hingga motif pada busana.
Tahun ini, sejumlah pakar fesyen Indonesia memilih mengambil inspirasi dari isu kemanusiaan. Dewan Penasihat Indonesia Fashion Chamber (IFC) sekaligus peneliti fesyen Indonesia Trend Fashion (ITF) 2021/2022, Dina Midiani, mengungkapkan jika sisi kemanusiaan menjadi pendorong utama untuk tren fesyen mendatang yang menggambarkan definisi cinta, kepedulian dalam perspektif yang lebih global, yaitu kepada lingkungan dan sosial.
Berbicara dalam bincang-bincang Trend Forecasting di hari pertama ajang Muslim Fashion Festival (Muffest) 2020 di Jakarta, Kamis (20/2), Dina menjelaskan jika dari isu besar itu lahir empat konsep besar tren fesyen. Mereka ialah essentiality untuk kelompok orang-orang yang peduli, spirituality untuk kelompok yang sejak dulu peduli karena telah menjadi bagian budaya mereka, exploitation untuk mereka yang sebatas ikut-ikutan, dan exploration yang menggambarkan orang yang memanfaatkan teknologi untuk kelangsungan hidup ke depan.
Secara perinci, tema essentiality menunjukkan gaya yang minimalis atas dasar kesadaran untuk tidak berlebihan. Tampilan busana yang tampak, yaitu bersih, tenang, terkendali, dan simpel ala anak urban, retro, dan autentik. Potongan pakaiannya akan longgar dengan warna terang, lembut, segar, pucat, dan natural. “Disertai dengan motif yang naive atau apa adanya,” kata Dina.
Konsep kedua berasal dari kelompok orang yang telah sejak dahulu melakukan kepedulian terhadap lingkungan dan sosial. Dalam lingkup Indonesia, dia merujuk kepada suku Asmat dan lainnya yang sejak dahulu telah menjalani kehidupan sadar lingkungan.
Karena mengacu pada kearifan lokal, pakaian mereka akan mencirikan budaya. Namun, dalam tren ini, terjemahan gaya itu bisa berwujud gaya klasik, gaya irregular karena alami, dan juga menggunakan bahan-bahan alam tanpa banyak proses pengolahan. “Dari motifnya banyak unsur etnik dan pekerjaan tangan, di antaranya rajutan,” kata lanjut Dina.
Sementara itu, gaya exploitation berwujud tampilan maksimal, hiperbolis, dan serbamenonjol. Warna-warna yang hadir dalam pakaian sangat berkilau dan mantap. Potongannya ada yang longgar dan kebesaran. Motifnya berupa bunga dan binatang dalam ukuran berlebihan.
Terakhir, kelompok konsumen exploration, mereka yang berpikir jauh ke depan. Mereka memanfaatkan teknologi untuk kelangsungan hidup ke depan. Gaya ini tergolong eksentrik, augmented, dan berbasis teknologi.
“Stylenya adalah pemimpi, beyond nature, paranoid, dan absurd. Bentuk-bentuknya akan multifungsi, warnanya hologram, kabur, dan banyak ornamen olah bahan dengan pemakaian teknologi,” tukas Dina. (Try/M-1)
Sapto Djojokartiko mengambil inspirasi dari kehidupan di Canggu dan Uluwatu, sementara label Biasa mengangkat konsep kain poleng Khas Bali.
Koleksi Dara Baro di JMFW 2025 menggunakan teknik boro (tambalan) Jepang dengan menggunakan kain-kain Nusantara sisa produksi mereka sebelumnya.
The Langham Fashion Soiree digelar oleh Ikatan Perancang Mode Indonesia dan diikuti sejumlah desainer, di antaranya Rama Dauhan, Ghea Panggabean, serta Andreas Odang.
Perusahaan perhiasan asal Bali, John Hardy, mengeluarkan koleksi bergaya maskulin yang dimaksudkan untuk menambah karisma pria, setara jas dan dasi.
Momen berpakaian terburu-buru diolah menjadi seni oleh label Sean Sheila dalam koleksi pakaian pria terbarunya. Ada aksen robek dan jahitan tidak kelar.
Pada 7 September di Paris, Prancis, desainer-desainer Indonesia menampilkan koleksi di dua ajang, yakni Front Row Paris dan Indonesia International Modest Fashion Festival (In2mf) 2024.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved