Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Diwenehi Ati Ngrogoh Rempela

Wartawan Media Indonesia Ono Sarwono
23/2/2020 00:45
Diwenehi Ati Ngrogoh Rempela
Wartawan Media Indonesia Ono Sarwono(Ebet)

PEMERINTAH telah memutuskan tidak akan memulangkan anggota kelompok teroris Islamic State (Negara Islam) eks warga negara Indonesia (WNI). Namun, untuk anak-anak mereka yang usianya masih di bawah 10 tahun dan atau yatim piatu akan dipertimbangkan.

Alasan wacana menerima kembali anak-anak itu ialah kemanusiaan. Diasumsikan anak-anak itu sebagai korban. Namun, mereka akan diwajibkan mengikuti program kontraradikalisasi, yang konsepnya berbeda dengan deradikalisasi karena anak-anak dianggap belum terpapar radikalisme.

Bagaimanapun, rencana pemulangan anak-anak anggota teroris itu memang mesti dipikir masak-masak dan komprehensif. Itu karena secara langsung maupun tidak langsung mereka sudah terpengaruh, paling tidak setiap harinya telah melihat sekelilingnya (lingkungannya).

Menyamar Basudewa

Dalam cerita wayang, ada pemimpin negara yang berbaik hati dengan menerima anak teroris. Namun, apa yang terjadi, dewasanya anak itu mengobrak-abrik negara dan kemudian berusaha merebut kekuasaan lewat cara-cara intimidatif (meneror) serta kekerasan.    

Alkisah, Prabu Basudewa me­ninggalkan istana untuk blusukan. Kegiatan kerakyatan ini rutin ia lakukan sejak menjadi raja Negara Mandura menggantikan ayahnya, Prabu Basukunti. Basudewa beranjangsana kepada rakyat untuk mengetahui kondisi sekaligus menyerap aspirasi mereka.

Dalam rangkaian acara menyambangi rakyatnya, Basudewa juga gemar menyalurkan hobinya berburu di hutan. Kali ini, ia disertai tiga dari empat istrinya, yakni Badrahini, Rohini, dan Dewaki, sedangkan Mahira (Maerah) tinggal di istana. Ikut berburu dua adik Basudewa, Aryaprabu Rukma dan Ugrasena.

Sejumlah prajurit pilihan ikut mengawal Basudewa sekeluarga. Selain menjaga keamanan, mereka juga bertugas membawa seluruh keperluan atau alat berburu dan tentu saja urusan logistik untuk beberapa hari.

Ketika itu, keamanan istana dan negara diserahkan kepada Patih Arya Saragupita. Di ­keputren, ­Mahira hanya ditemani dua emban. Entah mengapa Basudewa meninggalkan Mahira atau mungkin Mahira sendiri yang menolak ikut. Hanya mereka berdua yang mengetahui kenapa demikian.

Pada suatu hari, pada saat istana ‘komplang’ (kosong), menyelinaplah penyusup. Tamu tidak diundang itu bernama Gorawangsa, penguasa Negara Guwabarong. Namun, ia datang tidak menampakkan diri wujud aslinya, raksasa, tetapi memba (beralih rupa) Basudewa.

Maka, Basudewa palsu ini mulus melenggang ke sudut-sudut istana. Ia kemudian masuk ke taman keputren dan bertemu Mahira. Berlagak rindu setelah lelah berburu, Basudewa palsu itu merayu Mahira hingga akhirnya melakukan saresmi (hubungan suami istri). Aktivitas yang dikesankan untuk melepaskan rasa kangen itu terjadi berulang kali hingga suatu ketika kedok Gorawangsa diketahui Aryaprabu.

Sebelumnya, Aryaprabu minta izin Basudewa untuk mendahului kembali ke istana karena merasa ada sesuatu. Instingnya benar. Ada ‘teroris’ yang masuk ke istana dan mengelabui Mahira. Tanpa membuang waktu, Aryaprabu meringkus dan menyirnakan berduwak (yaksa) itu.

Setelah Basudewa kembali ke istana, Aryaprabu melaporkan semua yang terjadi. Mahira sambil menangis tersedu-sedu meminta ampun karena merasa bersalah telah meladeni nafsu birahi Gorawangsa, yang semula ia kira sang suaminya sendiri.

Basudewa tidak memaafkan. Ia perintahkan Saragupita membuang Mahira, yang dianggap telah berlumur noda, ke tengah hutan. Bahkan, perintah rahasianya, Mahira harus disirnakan untuk menghilangkan aib istana.  

Menghasut rakyat

Saragupita selesai melaksanakan perintah sang raja. Namun, ia tidak tega membunuh Mahira. Di hutan, Mahira ditinggal sendirian hingga akhirnya ditemukan pendeta berwujud yaksa bernama Anggawangsa.

Anggawangsa kemudian meng­openi Mahira di rumahnya yang sederhana di tengah belantara. Seiring berjalannya waktu, janin dalam kandungan Mahira terus tumbuh dan membesar hingga akhirnya lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Kangsa alias Basuwara Kangsa. Saat melahirkan Kangsa, Mahira meninggal dunia.

Anggawangsa sendirian mem­besarkan dan menggulawentah Kangsa dengan berbagai ilmu, termasuk kanuragan. Ketika usianya menginjak dewasa, Anggawangsa memberi tahu Kangsa bahwa sesungguhnya ia bukan anaknya, melainkan putra Basudewa, raja Mandura, dari istrinya yang bernama Mahira. Berbekal keterangan itu, Kangsa meminta izin ayah angkatnya itu untuk sowan bapaknya di Mandura.

Di tengah perjalanan, ia bertemu Suratimantra yang merupakan pamannya. Suratimantra menemani keponakannya itu menuju Mandura. Di hadapan Basudewa, Kangsa menceritakan asal-usulnya. Karena dirinya lahir dari rahim Mahira, ia meminta Basudewa mengakuinya sebagai putranya, bahkan putra mahkota.

Basudewa merasa bersalah dan berdosa dengan keputusannya dulu membuang Mahira. Ia pun kecewa kepada Saragupita karena Mahira ternyata tetap hidup hingga melahirkan bayinya. Maka, dengan terpaksa, serta atas pertimbangan kemanusiaan, Basudewa menyatakan anak yatim piatu bernama Kangsa itu sebagai putranya. Malah, Kangsa diberi kekuasaan di Sengkapura, wilayah dalam kedaulatan Mandura.

Dalam perkembangannya, Kangsa tidak puas dengan hanya menjadi adipati di Sengkapura. Ia ingin menggenggam kekuasaan Mandura. Upaya yang dilakukan dengan menebar teror di seluruh negeri. Rakyat dibuat tercekam dan menghasutnya bahwa pemerintahan Basudewa tagut.

Puncaknya, ia terang-terangan menantang Basudewa adu jago untuk menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin Mandura. Siapa yang jagonya menang, dialah yang menjadi raja. Sebaliknya, siapa yang jagonya kalah, dia harus bur manuk, pergi tanpa membawa apa pun.
   
Mewarisi watak

Tidak ada pilihan lain, Basudewa hanya bisa manut (menuruti) mengingat Kangsa sangat sakti mandraguna. Dalam perkiraannya, tidak ada senapati Mandura yang mampu menghadapi Kangsa. Basudewa merasa kekuasaan serta nyawanya berada di ujung tanduk.

Di tengah kegalauannya, ia mendapatkan jago bernama Bratasena, anak Kunti. Pemuda tinggi besar dan berotot ini ialah keponakannya sendiri, sedangkan jago dari Sengkapura ialah Suratimantra.

Singkat cerita, Suratimantra mati konyol. Sementara itu, Kangsa tersungkur oleh dua putra Basudewa, yakni Kakrasana dan Narayana, yang sejak kecil hidup prihatin di Dusun Widarakandang.

Benang merah kisah ini ialah bahwa darah orangtua menurun kepada anaknya. Gorawangsa yang bejat menurunkan anak yang berwatak bejat pula. Malah keangka­ra­murkannya menggiriskan.

Dalam konteks wacana pemulangan para anak teroris, sekali lagi, pemerintah harus memastikan bahwa mereka tidak akan mewarisi ‘darah’ orangtuanya yang teroris. Jangan sampai diwenehi ati ngrogoh rempela, dikasih hati malah melonjak, seperti Kangsa. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya