Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
KETIKA sedang membaca berita di internet, saya tidak sengaja melihat foto yang dipublikasikan situs Merdeka.com. Pada foto itu terdapat sebuah istilah ‘tilang elektrik’ yang tertulis dalam kalimat: Petugas menunjukkan bukti pembayaran e-tilang saat peluncuran sistem tilang elektrik atau e-tilang bagi pelanggar lalu lintas di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (4/3).
Awalnya saya tidak menggubris tentang istilah ‘tilang elektrik’. Namun, perihal tersebut sempat menjadi bahan pembicaraan saya bersama teman-teman di sebuah warung kopi. Salah seorang teman saya bertanya mengapa disebut tilang elektrik? Bukankah selama ini disebut tilang elektronik? Manakah yang tepat penggunaannya?
Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata elektrik hanya memiliki satu definisi, yaitu listrik. Istilah di atas nyatanya tidak tepat bila disandingkan dengan kata ‘tilang’ karena dapat menjauh dari arti yang dimaksudkan.
Secara logika, kata ‘tilang’ harusnya bersanding dengan kata ‘elektronik’. Dalam KBBI disebutkan bahwa elektronik merupakan alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika. Jadi, ‘tilang elektronik’ berarti sistem penilangan yang diterapkan lewat alat elektronik, seperti kamera yang dipasang pada tiang lampu lalu lintas.
Kebingungan berbahasa yang dialami masyarakat tidak terjadi dalam padanan kata elektrik dan elektronik saja, tetapi juga sering kita jumpai pada kata syariah. Kata syariah di mesin pencari, yang kebanyakan muncul ialah nama-nama lembaga keuangan terkemuka, seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Permata Syariah, BCA Syariah, dan BNI Syariah. Ada juga hastag #bapersyariah yang saya temukan di Instagram.
Tentunya kita tahu bahwa nama-nama lembaga tersebut merupakan lembaga keuangan yang menjalankan metode perbankan berdasarkan syariat Islam. Selain itu, pada undang-undang juga terdapat Undang-Undang Perbankan Syariah. Namun, sudah benarkah pemakaian kata ‘syariah’ tersebut?
Di KBBI, syariah ialah bentuk tidak baku dari syariat. Kata ‘syariat’, menurut KBBI, merupakan hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah SWT dan sesama manusia berdasarkan Alquran dan hadis. Kata ‘syariat’ ialah integrasi bahasa yang diperoleh dari bahasa Arab, yaitu asy-syarii’atun.
Dalam bahasa Arab, bila kata tersebut tidak disambung dengan kata lain, penyebutannya menjadi asy-syarii’ah karena pada kata itu terdapat huruf ta marbutoh di belakangnya yang harus disukunkan.
Sementara itu, bagaimana dengan kata Jumat yang juga berasal dari bahasa Arab? Bukankah sama dengan kata ‘syariat’ yang memiliki huruf ta marbutoh di belakangnya? Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia disebut ‘Jumat’, bukan ‘jum’ah’ ataupun ‘jumah’.
Dari kasus di atas bisa dilihat bahwa antara kata baku dan tidak baku masih sering keliru. Akal pun menjadi tertipu. Tertukar dan terkadang menemui jalan buntu. Hal ini terjadi seperti jalan berliku karena berpanjang dari waktu ke waktu.
Karena itu, kemampuan memilih diksi pun menjadi harapan yang patut digugu dan ditunggu. Hal ini semata-mata agar diksi tidak tertukar dan ambigu. Setidaknya, dengan banyak tahu, menjadikan pengguna bahasa tidak akan ragu menggunakan diksi yang nyata-nyata dalam istilah dan makna bahasa yang sebenarnya. Semoga!
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved