Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Terpapar Radikalisme

Wartawan Media Indonesia Ono Sarwono
16/2/2020 01:10
Terpapar Radikalisme
Wartawan Media Indonesia Ono Sarwono(Ebet)

RADIKALISME di negeri ini semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya warga biasa yang terpapar, melainkan juga telah menjangkiti aparat negara, baik sipil maupun nonsipil. Menggiriskan, di antara mereka sudah ada yang menjelma menjadi teroris di dalam dan luar negeri.  

Ratusan warga telah meninggalkan negara ini dan bergabung dengan kelompok teroris Islamic State (IS/Negara Islam) di Irak dan Suriah. Mereka melepaskan kewarganegaraannya. Belakangan isunya, mereka akan pulang ke Tanah Air setelah IS hancur. Namun, pemerintah dengan tegas menolak kedatangan atau memulangkan mereka.

Hal yang harus digarisbawahi pada masalah ini ialah terkait dengan ideologi. Mereka menganggap negara ini tagut. Karena itu, sangat membahayakan bangsa dan negara bila mereka kembali.

Mendarat di Alengka

Dalam konteks terpapar ‘ideologi’ radikalisme, ada cerita wayang yang menarik. Senapati wanara Goakiskenda bernama Jaya Anggada pernah terpengaruh ‘paham sesat’ dari sang angkara murka Rahwana alias Dasamuka, penguasa tunggal Negara Alengka.

Alkisah, Rama Regawa dan adiknya, Leksmana Widagdo, bersama ribuan wanara prajurit Goakiskenda yang dipimpin Narpati Sugriwa baru saja mendarat di Suwelagiri, Alengka. Di tempat itu mereka beristirahat setelah melewati tambak (jembatan) raksasa yang membelah Laut Hindi.

Karena letaknya strategis, Rama kemudian memerintahkan seluruh prajurit membuat pesanggrahan sekaligus benteng pertahanan Pancawati. Tempat itu dijadikan pula pusat komando penggempuran Alengka dalam misi merebut kembali Dewi Sinta yang sebelumnya diculik, lalu disembunyikan Dasamuka di Taman Argasonya.

Rama tidak buru-buru menyerbu Alengka meski semua kelengkapan pertempuran telah siap siaga. Ia terlebih dahulu mengutus Jaya Anggada, kera berbulu merah kecokelatan, sebagai duta menemui Dasamuka. Pesannya, apakah Dasamuka akan mengembalikan Sinta dengan baik-baik atau menolak sehingga akan direbut dengan peperangan.

Anggada merasa bangga dan terhormat menjadi utusan Rama. Itulah tugas yang ia tunggu-tunggu. Sebelumnya, ia pernah marah dan bersitegang dengan kakak sepupunya, Anoman, yang dipilih menjadi duta untuk memastikan Sinta benar-benar berada di Alengka ketika itu.

Langkah Anggada terhenti ketika ia baru saja akan memasuki alun-alun Alengka. Ratusan prajurit yaksa (raksasa) pilihan mencegatnya. Sejak Anoman berhasil menyusup ke jantung Alengka, Dasamuka memperketat penjagaan di seluruh jalur menuju istana.

Bahkan, dalam beberapa hari terakhir, pengamanan lebih ditingkatkan lagi. Itu terjadi setelah Dasamuka mendengar laporan telik sandi bahwa Rama dan prajurit wanara berada di wilayah Alengka.

Di depan para yaksa yang menghadang, Anggada berterus terang bermaksud bertemu Dasamuka, tapi keinginannya itu ditolak sehingga terjadilah peperangan. Semula satu lawan satu, tetapi kemudian berubah keroyokan. Puluhan raksasa bersama-sama menyerang Anggada.

Tiba-tiba datanglah Dasamuka didampingi putranya, Indrajit. Peperangan terhenti. Raja Alengka itu melangkah mendekati Anggada. Matanya menelisik dari kepala hingga kaki kera yang tidak gentar tersebut.

Dasamuka bertanya nama, dari mana, dan apa urusannya datang membuat geger Alengka. Namun, belum sempat menjawab, Anggada sudah diajak penguasa Alengka itu ke sitinggil.

Bertemu Dasamuka

Di tempat terhormat tersebut Anggada dijamu. Ia baru kemudian diminta menjelaskan jati dirinya. Anggada menjelaskan bahwa dirinya ialah putra Subali dan datang ke Alengka diutus Rama untuk memberikan opsi kepada Dasamuka, apakah akan mengembalikan Sinta atau tidak.  

Dasamuka tidak menanggapinya. Namun, ia malah menangis sesenggukan. Di tengah kesedihannya yang sebenarnya dibuat-buat itu, Dasamuka berulang kali meratapi kematian Subali. Anggada terbengong-bengong melihat Raja Alengka yang dikenal bengis itu bisa menangis dan meratap.

Sesaat kemudian, ketika air matanya pun belum kering, Dasamuka dengan terbata-bata mengatakan bahwa Anggada ialah keponakannya sendiri. Ia menjelaskan bahwa Dewi Tara, ibunda Anggada, ialah adik Dewi Tari, istrinya. Jadi, dirinya ini uaknya Anggada.

Sementara itu, Subali ialah gurunya. Dijelaskan, Subali dibunuh oleh Rama yang bersekutu dengan Sugriwa. Itulah mengapa ia sangat terpukul dengan kepergian Subali yang ia kagumi.

Oleh karena itu, Dasamuka menyayangkan Anggada yang malah mengabdi kepada Rama, yang jelas-jelas telah menghabisi ayah kandungnya. Sebagai anak yang baik, bakti apa yang harus dipersembahkan kepada bapaknya.

Dasamuka juga menyesalkan sikap Anggada yang juga manut dan tunduk kepada Sugriwa, yang terbukti bersekongkol dengan Rama. Padahal, karena rajukan Sugriwa itulah, Rama menjemparing Anggada hingga tewas.

Anggada tercenung. Terjadi pergulatan batin antara kebenaran yang diucapkan Dasamuka dan misi yang sedang ia emban ke Alengka. Belum siuman dari kebingungannya, Dasamuka mengajaknya bersatu dengannya untuk membalaskan dendam kepada Rama dan Sugriwa.

Tanpa banyak bicara, Anggada buru-buru pamit. Ia kembali ke Suwelagiri dengan memendam amarah yang meluap. Ia langsung menghampiri Sugriwa dan dipukulnya sang pamannya itu hingga pingsan. Kejadian itu membuat Anoman dan sejumlah wanara lainnya terperanjat.

Tidak berhenti di situ. Anggada dengan lantang menyampaikan tantangan perang kepada Rama. Ia ingin membalaskan dendam kematian ayahnya. Secepat kilat Anoman membungkam Anggada. Anila dan sejumlah senapati ikut membantu meringkus Anggada hingga tidak berkutik.

Mudah dihasut

Sugriwa, yang pulih dari pingsan, mendatangi Anggada. Ia jelaskan secara gamblang kenapa Rama harus membunuh Subali. Rama hanya menjalankan perintah dewa setelah Subali divonis bersalah karena memberikan aji pancasona kepada Dasamuka.

Kesaktian ajian ini bagi yang menguasainya tidak bisa mati, jika tubuhnya masih menyentuh bumi serta terpapar angin. Ajian ini kemudian disalahgunakan Dasamuka untuk memuaskan nafsu angkara murkanya.

Setelah mendapatkan pencerahan (deradikalisasi) dari Sugriwa, Anggada terdiam dan tenang. Satu-satunya putra Subali itu akhirnya insaf dan sadar bahwa dirinya dimanfaatkan Dasamuka. Ia meminta maaf kepada Rama karena telah berbuat lancang.

Poin dari kisah ini bahwa Anggada ialah contoh pemuda yang rapuh dan gampang terpapar pikiran atau paham sesat (radikalisme). Dia mudah dipengaruhi dan dihasut serta diadu domba sehingga membahayakan bangsanya sendiri. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik